Konsekwensi dari nazar yang shahih
Apabila suatu nazar itu sah, yaitu dengan terpenuhinya
syarat-syarat yang telah kami sebutkan, maka wajib bagi yang bernazar untuk
mewujudkan apa yang telah ia nazarkan ketika tujuannya tercapai. Hal ini
dilakukan jika nazar yang diucapkan adalah jenis Al Nazar Al Mu’allaq. Adapun
Al Nazar Al Najiz (mutlak) maka wajib bagi orang yang bernazar untuk
melaksanakan nazar tersebut begitu ia mengucapkannya.
Dan wajib bagi orang yang bernazar untuk melaksanakan nazarnya
sesuai dengan maknanya secara syar’i, baik itu shalat, puasa, sedekah, atau
yang lainnya.
Kalau seseorang bernazar untuk melakukan shalat, tanpa menyebutkan
cara atau bilangan tertentu, maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat dua
raka’at yang dilakukan dengan berdiri jika dia mampu untuk berdiri. Hal itu
dilakukan sesuai dengan batas minimal makna shalat secara syar’i.
Adapun jika dia bernazar untuk melaksanakan shalat dengan jumlah
rakaat tertentu, atau bernazar untuk melakukan shalat dengan duduk, maka wajib
baginya untuk melaksanakan nazar tersebut sesuai jumlah dan tatacara yang telah
ditentukan, akan tetapi kalau dia melakukan shalat tersebut dengan berdiri,
maka itu lebih utama.
Kalau seseorang bernazar untuk berpuasa secara mutlak (tanpa
menyebutkan batasan-batasan tertentu), maka batas minimal makna puasa adalah
berpuasa satu hari.
Adapun jika dia bernazar untuk berpuasa beberapa hari tanpa
menyebutkan jumlah harinya, maka wajib baginya untuk melaksanakan puasa paling
tidak selama tiga hari, karena tiga adalah merupakan batas minimal kata jamak.
Apabila ia bernazar untuk bersedekah, maka wajib baginya untuk
bersedekah dengan jumlah batas minimal dari hartanya kepada orang-orang yang
berhak untuk menerima zakat seperti orang-orang fakir atau miskin.
Apabila ibadah yang dijadikan nazar dibatasi dengan sifat, waktu,
atau bilangan tertentu, maka wajib baginya untuk melaksanakan nazar tersebut
sesuai dengan batasan-batasan yang disebutkan.
Dan apabila ia bersumpah untuk bersedekah kepada penduduk tertentu,
maka wajib baginya untuk bersedekah kepada mereka, dan tidak boleh memberikan
sedekahnya tersebut kepada orang lain.
Bila seseorang bernazar untuk beri’tikaf di masjid tertentu, yaitu
masjid Al Haram, masjid Al Nabawi, dan masjid Al Aqsha, maka wajib baginya
untuk beri’tikaf di masjid yang telah ia tentukan diantara tiga masjid
tersebut. hal itu adalah karena keuatamaan masjid-masjid tersebut dibanding
masjid yang lain.
Dalil keutamaan ketiga masjid tersebut adalah sabda Rasulullah
saw., “Tidaklah ditekankan untuk
bepergian kecuali mengunjungi tiga masjid, masjid Al Haram, masjid Al
Rasul (masjid Al Nabawi), dan masjid Al Aqsha.” Hadits ini diriwayatkan oleh
imam Al Bukhari didalam kitab Abwabu Al Tathawu’, bab Fadlu Al Shalat fi Masjid
Makkah wa Al Madinah :1132, dan imam Muslim didalam kitab Al Haj, bab Fadlu
Shalat bi masjid Makkah wa Al Madinah: 1394.
Jika dia bernazar untuk beri’tikaf dimasjid tertentu selain ketiga masjid
tersebut, maka wajib baginya untuk beri’tikaf dimasjid manapun yang dia mau,
karena pahala I’tikaf dimasjid (selain ketiga masjid tersebut) itu sama.
Apabila seseorang bersumpah untuk berhaji atau umrah, maka ia wajib
untuk melaksanakannya sendiri jika dia mampu. Akan tetapi jika dia tidak mampu
untuk melaksanakannya sendiri, maka ia wajib mencari pengganti untuk
melaksanakan haji atau umrah atas namanya, meskipun dengan membayar.
Sebagaimana wajibnya hal tersebut bagi orang yang sudah berkewajiban untuk melaksanakan
ibadah haji, (yaitu apabila dia tidak mampu untuk melaksanakannya sendiri, maka
wajib untuk mencari pengganti orang yang berhaji untuk dirinya).
Dan disunahkan untuk bersegera didalam memenuhi nazar, pada
kesempatan pertama yang dia miliki agar segera terbebas dari tanggungan.
Apabila seseorang telah mampu untuk melaksanakan haji atau umrah
kemudian dia menundanya sehingga ia meninggal, maka dia dihajikan dan
diumrahkan oleh orang lain dengan menggunakan harta orang yang meninggal
tersebut. hal itu karena dia telah lalai untuk melaksanakannya padahal dia
telah mampu.
Adapun bagi orang yang meninggal sebelum dia memiliki kemampuan
untuk berhaji atau umrah, maka ia tidak terbebani dengan sesuatu apapun, karena
dia tidak melalaikan kewajibannya.
Dan apabila seseorang bersumpah untuk berhaji atau umrah dengan
berjalan kaki, maka wajib baginya untuk berjalan kaki jika dia mampu, karena
dia telah menjadikan berjalan kaki sebagai sifat dari nazarnya, seperti halnya
seseorang yang bernazar untuk berpuasa secara berturut-turut.
Adapun jika dia tidak mampu untuk berjalan kaki, maka tidak wajib
baginya untuk melaksanakan nazarnya dengan berjalan kaki, akan tetapi
dibolehkan baginya untuk menggunakan kendaraan.
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra. Ia berkata, “Saudara perempuanku bernazar
untuk berjalan kaki menuju Baitullah, lalu ia memerintahkanku untuk meminta
fatwa kepada Rasulullah saw. (tentang hal tersebut). lalu Rasulullah saw.
bersabda, “Hendaklah ia pergi berjalan kaki dan berkendara.” Hadits ini
diriwayatkan oleh imam Al Bukhari didalam kitab Al Ihshar wa Jazaa’a Al Shaid,
bab Man Nadzara Al Masyya ila Al Ka’bah : 1767, dan Imam Muslim didalam kitab
Al Nazar, bab Man Nazara an Yamsyiya ila Al Ka’bah :1644.
Kalau seseorang bernazar untuk memberikan hadiah binatang ternak,
berupa unta, sapi, domba, kambing, atau harta lain di Makkah, maka wajib untuk
membawanya kesana dan wajib mensedekahkannya kepada orang-orang fakir atau
miskin yang ada disana, baik itu penduduk asli Makkah atau pendatang yang ada
disana.
Kalau seseorang bernazar untuk menyembelih kambing ditempat
tertentu selain Makkah dan membagikannya disana, maka wajib baginya untuk
menyembelih ditempat tersebut dan membagikan dagingnya kepada orang-orang
miskin yang ada ditempat itu, selama dia berniat untuk menyembelih dan
membagikan dagingnya. Karena menyembelih adalah merupakan perantara untuk
membagikan dagingnya.
Kalau seseorang bernazar untuk menyalakan lampu untuk menyinari
bangunan diatas kuburan orang-orang shalih atau para wali, maka jika yang dia
maksud adalah karena ingin menerangi orang-orang yang tinggal disekitar kuburan
tersebut, atau karena ia sering pergi kesana, maka nazar tersebut sah dan wajib
untuk dipenuhi. Sedangkan kalau maksud dari hal itu adalah karena ingin
menyalakan lampu diatas kuburan maka nazar tersebut tidak sah meskipun dia juga
berniat menerangi orang-orang yang ada ditempat tersebut.
Jika seseorang bernazar untuk menyalakan lampu di atas kuburan
dengan maksud karena ingin mengagungkan tempat atau kuburan tersebut, atau
karena ingin bertaqarrub dengan orang yang dikubur ditempat itu, maka ini
adalah nazar yang batil dan tidak sah.
Al Nazar Al Mutlak tidak terbatas oleh waktu
Apabila nazar yang diucapkan adalah nazar secara mutlak, tidak
dibatasi oleh waktu, maka nazar tersebut seperti Al Wajib Al Muwassa’.
yakni dibolehkan bagi orang yang bernazar untuk mengakhirkan dalam memenuhi
nazarnya, selama masih ada kesempatan, dan dia yakin bahwa hal itu tidak akan
menghalanginya untuk memenuhi nazarnya tersebut.
Akan tetapi disunahkan untuk bersegera memenuhi nazarnya, meskipun
dia masih memiliki kesempatan yang banyak dan luas. Hal itu dilakukan agar dia
segera terlepas dari tanggungan nazarnya.
Adapun jika nazar yang diucapkan dibatasi dengan waktu tertentu, maka
wajib mengikuti batas waktu tersebut.dan apabila dia terlambat memenuhi
nazarnya dari waktu yang telah ditentukan tanpa ada uzur, maka ia berdosa dan
wajib untuk mengqadla. Akan tetapi jika dia terlambat memenuhi nazarnya karena
ada uzur, maka dia tidak berdosa dan wajib mengqadlanya pada kesempatan yang
lain.
Wallahu ta’ala a’lam