Sunday, February 22, 2015

faraid part 14

Orang-orang yang berhak mendapat seperempat dan syarat-syaratnya
Orang yang berhak mendapat seperempat ada dua, yaitu apabila mereka memenuhi syarat-syaratnya. Mereka adalah,
1- suami
Syarat suami mendapat seperempat dari harta peninggalan istrinya adalah apabila si istri memiliki anak, atau anak dari anak laki-laki, baik anak tersebut adalah anak dari suami itu, atau anak dari suami yang lain, dan sama saja apakah itu anak laki-laki, atau anak perempuan.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya.” (Al Nisa: 12).
Dan sebagaimana yang telah kemi jelaskan terdahulu, bahwa anak dari anak laki-laki adalah seperti kedudukan anak di dalam mewarisi, menghalangi (orang lain untuk mewarisi), dan ‘ashabah.
2- satu atau beberapa istri
Istri mendapat seperempat, apabila suami tidak memiliki anak, atau anak dari anak laki-laki, baik anak itu adalah anak hasil pernikahannya dengan istrinya tersebut, atau anak hasil pernikahan dengan istri yang lain.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.” (Al Nisa: 12).
Imam Al Rahabi berkata di dalam Rahabiyahnya,
Seperempat adalah bagian untuk suami                                                               Jika bersamanya ada anak dari istri yang menghalanginya

Dan Seperempat adalah bagian untuk satu istri atau lebih                                   Jika tidak anak seperti yang dikira-kira

Saturday, February 21, 2015

faraid part 13

orang yang berhak mendapat seperdua dan syarat-syaratnya
Orang yang berhak mewarisi bagian seperdua ada lima orang, dan masing-masing dari orang tersebut memiliki syarat-syarat tersendiri, orang-orang tersebut adalah,
1- suami
Suami mendapat setengah dari harta peninggalan istri dengan satu syarat , yaitu si istri tidak memiliki anak, atau anak dari anak laki-laki, baik anak tersebut adalah anak dari suami tersebut, atau dari orang lain, bahkan walau anaknya tersebut adalah anak dari hasil zina. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan bagimu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak,” (Al Nisa: 12).
anak dari anak laki-laki adalah seperti anak laki-laki secara ijma’. Dan kata Al Walad (anak) mencakup anak laki-laki dan anaknya sesuai penggunaan kata walad secara hakikat atau majaz.
2- anak perempuan
Anak perempuan mendapatkan seperdua dengan dua syarat,
a. sendiri
b. tidak ada saudara laki-lakinya yang menjadikan mereka mendapat ‘ashabah.
 Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan),” (Al Nisa: 11).
3- anak perempuan dari anak laki-laki
Dia mendapatkan setengah dengan tiga syarat,
a. sendiri
b. tidak ada saudara laki-lakinya yag menjadikan mereka mendapat ‘ashabah
c. tidak ada anak dari si mayit, baik anak laki-laki atau anak perempuan.
Dalilnya anak perempuan dari anak laki-laki mendapat setengah jika memenuhi syarat-syarat di atas adalah dalil ijma’. Semua sepakat bahwa anak (baik laki-laki atau perempuan) dari anak dari anak laki-laki menempati kedudukan anak di dalam warisan.
4- saudara perempuan yang sekandung
Dia mendapat setengah dengan empat syarat,
a- tidak ada Al Far’u Al Warits dari si mayit, seperti anak laki-laki, anak perempuan, anak laki-laki dari anak laki-laki, dan anak perempuan dari anak laki-laki.
b. tidak ada Al Ashlu Al Warits seperti bapak atau kakek.
c. sendiri.
d. tidak ada sudara laki-lakinya yang menjadikan mereka mendapatkan ‘ashabah.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuan itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya,” (Al Nisa: 176).
5- saudara perempuan seayah
Dia berhak mendapat seperdua dengan lima syarat, yaitu empat syarat yang merupakan syarat saudara perempuan sekandung yang terdahulu, ditambah satu syarat yaitu tidak ada saudara laki-laki atau saudara perempuan sekandung.

Dalil saudara perempuan seayah mendapat seperdua adalah ayat yang terdahulu (ayat yang menjelaskan tentang saudara perempuan sekandung mendapat seperdua), karena yang dimaksud dengan saudara perempuan di dalam ayat tersebut adalah saudara perempuan sekandung, atau saudara perempuan seayah seperti yang disepakati para ulama.

Thursday, February 19, 2015

faraid part 12

Macam-macam cara mewarisi
Cara mewarisi ada dua, yaitu mewarisi dengan cara Al Fard dan dengan cara Al Ta’shib.

Makna Al Fard secara bahasa dan istilah
Al fard secara bahasa memiliki beberapa arti, yaitu Al Haz (membentuk), Al Qat’u (memotong), Al Taqdiru (memperkirakan), sementara makna Al Fard secara istilah adalah bagian yang ditentukan secara syar’i untuk ahli waris, bagian tersebut tidak bertambah kecuali dengan cara Al Rad, dan tidak berkurang kecuali dengan cara Al ‘Aul.

Bagian-bagian yang ditentukan di dalam Al Quran
Al Furud (bagian-bagian yang telah ditentukan) di dalam Al Quran adalah satu perdua, satu perempat, satu perdelapan, dua pertiga, satu pertiga, dan satu perenam.

Al Fard (bagian) yang ditentukan dengan cara ijtihad
Para ulama telah berijtihad untuk menentukan bagian ketujuh, sebagai tambahan dari enam jenis bagian yang ada di dalam Al Quran, yaitu satu pertiga dari harta yang tersisa, hal itu terjadi jika ahli warisnya adalah kakek bersama saudara-saudara laki-laki, dan juga jika ahli warisnya adalah ibu bersama bapak dan salah satu dari suami atau istri. Hal itu akan dijelaskan pada babnya tersendiri insyallah

Makna Al Ta’shib
Al Ta’shib adalah bentuk masdar dari ‘Asshaba, Yu’asshibu, Ta’shiiban, isim fa’ilnya adalah ‘Ashib, dan bentuk jamak dari ‘Ashib adalah ‘Ashabah.
Al ‘Ashabah secara bahasa adalah kerabat seseorang dari pihak ayah, dinamakan dengan nama ini karena mereka senantiasa meliputinya.
Al ‘Ashabah secara istilah adalah orang yang mengambil semua harta warisan jika dia sendirian, atau jika dia tidak sendirian, maka ia akan mengambil semua yang tersisa setelah diberikannya bagian Ashabu Al Furud (ahli waris yang memiliki bagian tertentu). Dan dia tidak mendapatkan apa-apa jika harta tersebut habis dibagi untuk Ashabu Al Furud.

Wednesday, February 4, 2015

faraidl part 11

Ahli waris dari golongan laki-laki apabila mereka berkumpul semuanya
Apabila semua ahli waris laki-laki yang telah kami sebutkan diatas itu berkumpul (ada), saat kematian orang yang memberikan warisan, maka hanya tiga dari mereka yang akan mewarisi. Karena mereka bertiga tidak dapat terhalang dalam kondisi  apapun, sementara ahli waris yang lain tidak berhak mendapatkan warisan karena mereka terhalang. Mereka bertiga adalah ayah, anak laki-laki, dan suami.



Ahli waris dari golongan wanita apabila mereka berkumpul semuanya
Apabila semua ahli waris wanita berkumpul (ada), maka yang berhak mendapat warisan hanya lima. Mereka adalah anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, ibu, saudara perempuan yang sekandung, dan istri.

Berkumpulnya ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan
Apabila ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan berkumpul semuanya, maka hanya lima diantara mereka yang akan mewarisi. Sementara yang lainnya tidak berhak mewarisinya. Mereka adalah, anak laki-laki, anak perempuan, ayah, ibu, dan salah satu dari suami atau istri.

Catatan
Para fuqaha berkata, “Semua ahli waris laki-laki jika sendiri, maka dia akan memperoleh seluruh harta warisan kecuali suami dan saudara laki-laki seibu.”

Dan semua ahli waris wanita jika sendirian, maka dia tidak mengambil seluruh harta warisan kecuali Al Mu’tiqah (wanita yang membebaskan budak).

Tuesday, February 3, 2015

faraidl part 10

Ahli waris dari golongan wanita
Ahli waris dari golongan wanita karena sebab-sebab terdahulu (nasab, pernikahan, dan Al Wala’) ada tujuh (jika diringkas), dan sepuluh (jika dihitung dengan terperinci), mereka adalah,
1- anak perempuan.
2- anak perempuan dari anak laki-laki, dan yang setelahnya dari pihak ayah.
3- ibu.
4- nenek dari pihak ibu atau ayah, dan yang diatasnya.
5- saudara perempuan dari pihak manapun (baik saudara perempuan sekandung, seayah, atau seibu.
6- istri-istri
7- orang wanita yang memerdekakan budak.

Dikatakan di dalam Al Rahabiyah,
Ahli waris dari golongan wanita ada tujuh                                                                                                Syariat tidak memberikan apa-apa kepada selain mereka
(yaitu) anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, ibu                                           Istri, nenek dan Al Mu’tiqah (orang wanita yang memerdekakan                                                                                                                                                                                            budak)

Lalu saudara perempuan dari pihak manapun                                                                Inilah kami telah menghitungnya sehingga menjadi jelas

faraidl part 9

Ahli waris laki-laki
Ahli waris laki-laki Karena tiga sebab diatas (nasab, pernikahan, dan Al Wala’),
1- anak laki-laki
2- anak laki-laki dari anak laki-laki (dan yang di bawahnya)
3- bapak
4- kakek (bapaknya bapak), dan yang di atasnya
5- saudara laki-laki, baik itu saudara sekandung, saudara seayah, atau saudara seibu.
Al Quran telah menjelaskan hak waris saudara laki-laki secara mutlak, dan bagian masing-masing berbeda sesuai dengan perbedaan kedudukannya terhadap mayit.
6- anak laki-laki dari saudara sekandung,dan anak laki-laki dari saudara seayah. adapun anak laki-laki dari saudara seibu maka dia termasuk Dzawi Al Arham sehingga dia tidak mewarisi dengan cara Al Fard (bagian warisan yang sudah di tentukan di dalam hukum waris).
7- paman sekandung, dan paman seayah. Adapun paman dari pihak ibu maka termasuk Dzawi Al Arham.
8- anak laki-laki dari paman sekandung, dan anak laki-laki dari paman seayah. Adapun anak laki-laki paman dari pihak ibu maka tidak mewarisi dengan cara fard, akan tetapi dia termasuk Dzawi Al Arham.
9- suami.
10- orang laki-laki yang memerdekakan budak (Ashabah bi Al Nafs).
Dan sebagaimana yang sudah diketahui, bahwa jika kita ingin menghitung kelompok ahli waris tersebut dengan cara yang lebih luas, maka akan berjumlah lima belas.
Karena ahli waris yang kelima mencakup tiga kelompok, ahli waris yang keenam mencakup dua kelompok, ahli waris yang ke tujuh mencakup dua kelompok, dan ahli waris yang ke delapan juga mencakup dua kelompok.
Imam Al Rahabi berkata di dalam Rahabiyahnya,

 Ahli waris dari golongan laki-laki ada sepuluh                                     nama-nama mereka telah diketahui dan dikenal
anak laki-laki, dan anak laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya     ayah, kakeknya dan yang diatasnya
saudara laki-laki dari pihak manapun                                                    Allah telah menurunkannya di dalam Al Quran
Anak laki-laki dari saudara laki-laki dari pihak ayah                              Maka dengarkanlah ucapan yang tidak dusta
Paman dan anak laki-laki paman dari pihak ayah                                 Maka bersyukurlah kepada yang selalu meringkas dan                                                                                                                        mengingatkan

suami, dan Al Mu’tiq yang memiliki hak wala’                                     mereka semua adalah ahli waris laki-laki

Monday, February 2, 2015

faraidl part 8

Mawani’ (Yang menghalangi) dari mendapat warisan
Pengertian Al Maani’
Al Maani’ secara bahasa berarti Al Haail (yang menghalangi), dan secara istilah berarti sesuatu yang dengan adanya sesuatu tersebut mewajibkan tidak adanya hukum, dan tidak adanya sesuatu tersebut tidak mewajibkan ada atau tidak adanya suatu hukum karena dzat sesuatu itu sendiri.
Contohnya budak, adanya status budak pada diri seseorang mewajibkan baginya untuk tidak mendapatkan warisan, dan tidak adanya status budak pada diri seseorang tidak mewajibkan baginya untuk menerima atau tidak menerima warisan.

Hal-hal yang menghalangi seseorang dari menerima warisan ada tiga,
1- budak dengan segala jenisnya.
Budak menghalangi dari mendapatkan warisan dilihat dari dua sisi. Budak tidak mendapat warisan, karena kalau dia mendapatkan warisan maka harta tersebut akan diwarisi oleh tuannya, padahal tuan tersebut adalah bukan ahli waris dari orang yang memberikan warisan pertama kali.
Budak juga tidak dapat mewariskan, karena budak tidak memiliki hartanya, bahkan dia dan hartanya adalah milik dari tuannya.
Akan tetapi budak Al Muba’ad (orang yang separuh dari badannya telah merdeka, sementara separuh badannya yang lain masih budak), boleh mewariskan apa yang dimiliki oleh separuh badannya yang telah merdeka, dan hartanya tersebut untuk ahli warisnya.
2- membunuh
Seorang pembunuh tidak mewarisi apapun dari orang yang dibunuh, baik dia membunuhnya dengan sengaja atau tidak, baik membunuhnya karena benar ataupun tidak, atau dia orang yang menghukumi untuk membunuhnya, atau dia bersaksi bagi seseorang yang dengan persaksiannya itu, maka orang tersebut wajib untuk dibunuh, atau dia membenarkan orang yang bersaksi tersebut. karena membunuh adalah memutus hubungan Al Muwalah, dan Al Muwalah adalah sebab mendapat warisan.
Abu Daud meriwayatkan di dalam Al Diyat, bab Diyat Al A’dla’: 4564, dari Amr bin Syuaib, dar bapaknya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Pembunuh tidak mendapatkan apa-apa (dari harta warisan orang yang dibunuh).” Beliau juga bersabda, “Seorang pembunuh tidak mewarisi.”
Akan tetapi orang yang dibunuh mewarisi harta orang yang membunuhnya, seperti seorang anak yang melukai bapaknya dengan luka yang menyebabkan kematiannya, akan tetapi si anak tersebut mati sebelum bapaknya, maka si bapak tersebut berhak mewarisi harta anaknya yang membunuh tersebut, karena tidak ada yang menghalangi si bapak untuk mewarisi harta si anak.
3- berbeda agama (antara orang islam dan orang kafir)
Orang kafir tidak mewarisi harta orang islam, demikian juga orang islam tidak mewarisi harta orang kafir, karena terputusnya Al Muwalah di antara keduanya.
Imam Al Bukhari meriwayatkan di dalam Al Faraid, bab La Yaritsu Al Muslim Al Kafir Wa La Al Kafiru Al Muslima: 6383, dan imam Muslim di awal kitab Al Faraid, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang islam tidak mewarisi (harta) orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi (harta) orang islam.”
Orang yang murtad dari agama islam adalah kafir, sehingga dia tidak mewarisi atau mewariskan kepada seorangpun, tetapi hartanya adalah sebagai Fai’ (rampasan) bagi baitulmal kaum muslimin, baik orang tersebut mendapatkan hartanya itu ketika masih islam atau sudah murtad.
Adapun orang-orang kafir, maka mereka saling mewarisi meskipun agama mereka berbeda. Sehingga orang nashrani mewarisi orang Yahudi, orang Yahudi mewarisi orang Majusi, orang Majusi mewarisi orang Watsani (penyembah berhala), demikian juga sebaliknya. Karena kafir semuanya dianggap satu agama di dalam hukum waris.
Allah berfirman, “Maka tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan. Maka mengapa kamu berpaling (dari kebenaran).” (Yunus: 32).
Akan tetapi para fuqaha mengecualikan hal tersebut, yaitu tidak ada hak saling mewarisi antara kafir Dzimmi dan kafir Harbi, meskipun mereka berasal dari satu agama, seperti dua orang Yahudi misalnya, karena terputusnya Al Muwalah di antara mereka berdua.
Al Rahabi berkata di dalam Al Rahabiyah,
Salah satu dari tiga hal yang menghalangi seseorang dari warisan
Budak, membunuh, dan berbeda agama

Maka pahamilah, keraguan tidak seperti keyakinan

Sunday, February 1, 2015

faraidl part 7

Rukun-rukun warisan
Warisan memiliki tiga rukun,
1- Al Muwarrits, yaitu orang yang memberikan warisan (mayit)
2- Al Warits, yaitu orang yang masih memiliki hubungan dengan mayit, yang menyebabkan dia berhak untuk mewarisinya (ahli waris).
3- Al Mauruts, yaitu harta yang ditinggalkan oleh si mayit setelah kematiannya (harta yang diwariskan).

Sebab-sebab warisan
Pengertian sebab
Al Sabab (sebab) secara bahasa adalah sesuatu yang digunakan untuk menjadi perantara kepada sesuatu yang lain, dan secara istilah adalah sesuatu yang dengan adanya sesuatu tersebut mewajibkan adanya hukum, dan tidak adanya sesuatu tersebut mewajibkan tidak adanya hukum.

Pengertian Al Mirats
Al Mirats dan Al Irts bermakna sama, secara bahasa bermakna Al Baqa’ (tetap), dan berpindahnya sesuatu dari satu kaum kepada kaum yang lain, Mirats adalah bentuk masdar dari waratsa Al Syai’ wiraatsah, miirats, irts.
Al Irts bermakna Al Mauruts (warisan) dan Al Turats secara bahasa bermakna Al Aslu (asal) dan Al Baqiyah (sisa), seperti makna firman Allah ta’ala, “Sedangkan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang haram).” (Al Fajr: 19).
Juga sabda Rasulullah saw., “Tetaplah pada tempat-tempat ibadah kalian, karena kalian berada pada warisan di antara warisan bapak kalian Ibrahim as.” yakni berada pada asal dan sisa dari agama nabi Ibrahim as. hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam Al Manasik, bab Maudli’u Al Wukuf Bi’arafah: 1919, dan Al Tirmidzi di dalam Al Haj, bab Al Wukuf Bi’arafah Wa Al Du’a Biha: 883, dan Al Nasai di dalam Al Haj, , bab Raf’u Al Yadain Fi Al Du’a Bi’arafah: 5/255, dan Ibnu Majah di dalam Al Manasik, bab Al Mauqif Bi’arafah: 3011.
Al Irts secara istilah adalah hak yang mungkin dibagi-bagi, dan hak tersebut menjadi milik orang yang berhak setelah kematian si mayit, karena adanya hubungan kekerabatan antara keduanya, atau karena yang semisalnya, seperti hubungan pernikahan dan Wala’

Sebab menerima warisan ada empat,
1- nasab, yaitu hubungan kekerabatan.
Di antara orang yang berhak mendapat warisan karena nasab adalah kedua orang tua dan orang yang dibawah keduanya, seperti saudara laki-laki, saudara perempuan, anak dari saudara kandung laki-laki, atau anak dari saudara laki-laki seayah.
Juga anak si mayit dan orang-orang yang dibawahnya seperti anak laki-laki, anak perempuan, anak laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan dari anak laki-laki.
2- hubungan pernikahan, yaitu akad nikah yang sah, meskipun belum terjadi hubungan suami istri, atau berduaan di tempat yang sepi, dan kedua suami istri tersebut saling mewarisi.
Kedua suami istri juga saling mewarisi ketika masih dalam masa iddah dari talak Raj’i (talak yang pertama dan kedua).
Adapun jika akad nikah tersebut adalah fasid (tidak sah), maka keduanya tidak dapat saling mewarisi, meskipun telah terjadi hubungan suami istri di antara keduanya, atau keduanya pernah berduaan ditempat sepi. Di antara contoh nikah fasid adalah akad nikah tanpa wali atau tanpa saksi, demikian juga nikah mut’ah.
3- Al Wala’          
Al Wala’ secara bahasa berarti Al Qarabah (kekerabatan), akan tetapi yang dimaksud dengan Al Wala’ disini adalah Wala’ Al ‘Itaqah, yaitu orang yang berhak menerima warisan (dari mantan budaknya) yang telah ia bebaskan. Baik orang yang membebaskan budak tersebut adalah seorang laki-laki ataupun wanita. Al Mu’tiq (orang yang membebaskan budak) mendapatkan warisan dengan cara ‘Ashabah Bi Al Nafs.
Rasulullah saw. bersabda, “Al Wala’ adalah kerabat, seperti kerabat karena hubungan nasab.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad di dalam Al Musnad (1/191, 194). Sementara budak yang dimerdekakan tidak menerima warisan apapun dari orang yang memerdekakannya.
4- islam
Harta peninggalan seorang muslim diberikan sebagai warisan kepada Bait Al Mal kaum muslimin, apabila orang tersebut meninggal dan dan dia tidak memiliki ahli waris. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang sahih, di dalam Al Kharaj Wa Al Imarah, bab Fi Arzaqi Al Dzurriyah: 2956, dari Al Miqdad bin Ma’di yakrib ra. Ia berkata, “Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa meninggalkan keluarga maka menjadi tanggunganku, dan barang siapa meninggalkan harta, maka untuk ahli warisnya, dan aku adalah pewaris orang yang tidak memiliki ahli waris, Aku membayar diayatnya dan mewarisinya.”
Dan sebagaimana yang telah diketahui, bahwa bahwa Nabi saw. tidak mewarisi apapun untuk dirinya sendiri, akan tetapi beliau menggunakannya untuk kemaslahatan kaum muslimin, karena merekalah yang berkewajiban membayar diyat bagi si mayit, seperti Ashabah dari kerabat. Sehingga seorang imam dibolehkan untuk memberikan harta peninggalan orang yang tidak memiliki ahli waris, kepada Bait Al Mal kaum muslimin, atau memberikannya kepada orang yang dia inginkan. Berdasarkan hal ini, maka Baitulmal kaum muslimin, lebih didahulukan dari pada Rad (dikembalikannya sisa dari warisan kepada ahli waris yang ada sesuai dengan prosentase bagian masing-masing) dan Dzawi Al Arham (keluarga yang bukan termasuk ahli waris).

Pendapat ulama Syafi’iyah Al Mutaakhhirin tentang Bait Al Mal
para ulama Syafi’iyah Al Mutakhhirin berfatwa tentang tidak bolehnya memberikan warisan kepada Bait Al Mal, karena syarat diberikannya warisan kepada bait al mal adalah apabila baitulmal tersebut Muntadzim (tertata dan resmi dari pemerintahan islam), yaitu harta peninggalan tersebut dibagikan kepada pihak-pihak yang berhak secara syar’i.
mereka beralasan bahwa baitulmal sekarang bukan Muntadzim, dan sangat kecil harapannya untuk menjadi Muntadzim, sehingga turunnya nabi Isa as.
oleh karena itu mereka (para ulama syafi’iyah Al Mutakhhirun) menghukumi untuk mengembalikan harta peninggalan tersebut kepada Dzawi Al Furud (orang yang berhak menerima warisan sesuai yang telah ditentukan didalam syariat) selain suami atau istri, dan jika tidak ada Dzawi Al Furud, maka harta tersebut diberikan kepada Dzawi Al Arham (orang yang masih memiliki hubungan keluarga, tetapi tidak termasuk ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan di dalam syariat). Oleh karena itu banyak ulama faraid tidak menyebutkan baitulmal diantara sebab untuk mendapatkan warisan.
Al Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Husain Al Rahabi yang lebih dikenal dengan Ibnu Muwaffiq Al Din berkata di dalam Mandzumahnya yang disebut dengan Al Rahabiyah,
Sebab mendapatkan warisan ada tiga                                                           Tiap-tiap dari hal itu menyebabkan dia berhak mendapat warisan

Yaitu pernikahan, wala’, dan hubungan nasab                                        dan tidak ada setelahnya sebab untuk mendapat warisan