Rukun-rukun warisan
Warisan memiliki tiga rukun,
1- Al Muwarrits, yaitu
orang yang memberikan warisan (mayit)
2- Al Warits, yaitu orang
yang masih memiliki hubungan dengan mayit, yang menyebabkan dia berhak untuk
mewarisinya (ahli waris).
3- Al Mauruts, yaitu harta
yang ditinggalkan oleh si mayit setelah kematiannya (harta yang diwariskan).
Sebab-sebab warisan
Pengertian sebab
Al Sabab (sebab) secara
bahasa adalah sesuatu yang digunakan untuk menjadi perantara kepada sesuatu
yang lain, dan secara istilah adalah sesuatu yang dengan adanya sesuatu
tersebut mewajibkan adanya hukum, dan tidak adanya sesuatu tersebut mewajibkan
tidak adanya hukum.
Pengertian Al Mirats
Al Mirats dan Al Irts
bermakna sama, secara bahasa bermakna Al Baqa’ (tetap), dan berpindahnya
sesuatu dari satu kaum kepada kaum yang lain, Mirats adalah bentuk
masdar dari waratsa Al Syai’ wiraatsah, miirats, irts.
Al Irts bermakna Al
Mauruts (warisan) dan Al Turats secara bahasa bermakna Al Aslu
(asal) dan Al Baqiyah (sisa), seperti makna firman Allah ta’ala, “Sedangkan
kamu memakan harta warisan dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang
haram).” (Al Fajr: 19).
Juga sabda Rasulullah saw.,
“Tetaplah pada tempat-tempat ibadah kalian, karena kalian berada pada warisan
di antara warisan bapak kalian Ibrahim as.” yakni berada pada asal dan sisa
dari agama nabi Ibrahim as. hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam Al
Manasik, bab Maudli’u Al Wukuf Bi’arafah: 1919, dan Al Tirmidzi di dalam Al
Haj, bab Al Wukuf Bi’arafah Wa Al Du’a Biha: 883, dan Al Nasai di dalam Al Haj,
, bab Raf’u Al Yadain Fi Al Du’a Bi’arafah: 5/255, dan Ibnu Majah di dalam Al
Manasik, bab Al Mauqif Bi’arafah: 3011.
Al Irts secara istilah
adalah hak yang mungkin dibagi-bagi, dan hak tersebut menjadi milik orang yang
berhak setelah kematian si mayit, karena adanya hubungan kekerabatan antara
keduanya, atau karena yang semisalnya, seperti hubungan pernikahan dan Wala’
Sebab menerima warisan ada
empat,
1- nasab, yaitu hubungan
kekerabatan.
Di antara orang yang berhak
mendapat warisan karena nasab adalah kedua orang tua dan orang yang dibawah
keduanya, seperti saudara laki-laki, saudara perempuan, anak dari saudara
kandung laki-laki, atau anak dari saudara laki-laki seayah.
Juga anak si mayit dan
orang-orang yang dibawahnya seperti anak laki-laki, anak perempuan, anak
laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan dari anak laki-laki.
2- hubungan pernikahan, yaitu
akad nikah yang sah, meskipun belum terjadi hubungan suami istri, atau berduaan
di tempat yang sepi, dan kedua suami istri tersebut saling mewarisi.
Kedua suami istri juga saling
mewarisi ketika masih dalam masa iddah dari talak Raj’i (talak yang pertama dan
kedua).
Adapun jika akad nikah tersebut
adalah fasid (tidak sah), maka keduanya tidak dapat saling mewarisi, meskipun
telah terjadi hubungan suami istri di antara keduanya, atau keduanya pernah
berduaan ditempat sepi. Di antara contoh nikah fasid adalah akad nikah tanpa
wali atau tanpa saksi, demikian juga nikah mut’ah.
3- Al Wala’
Al Wala’ secara bahasa
berarti Al Qarabah (kekerabatan), akan tetapi yang dimaksud dengan Al
Wala’ disini adalah Wala’ Al ‘Itaqah, yaitu orang yang berhak
menerima warisan (dari mantan budaknya) yang telah ia bebaskan. Baik orang yang
membebaskan budak tersebut adalah seorang laki-laki ataupun wanita. Al
Mu’tiq (orang yang membebaskan budak) mendapatkan warisan dengan cara ‘Ashabah
Bi Al Nafs.
Rasulullah saw. bersabda, “Al
Wala’ adalah kerabat, seperti kerabat karena hubungan nasab.” Hadits ini diriwayatkan
oleh Ahmad di dalam Al Musnad (1/191, 194). Sementara budak yang dimerdekakan
tidak menerima warisan apapun dari orang yang memerdekakannya.
4- islam
Harta peninggalan seorang muslim
diberikan sebagai warisan kepada Bait Al Mal kaum muslimin, apabila orang
tersebut meninggal dan dan dia tidak memiliki ahli waris. Dalilnya adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang sahih, di dalam Al
Kharaj Wa Al Imarah, bab Fi Arzaqi Al Dzurriyah: 2956, dari Al Miqdad bin Ma’di
yakrib ra. Ia berkata, “Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa meninggalkan keluarga
maka menjadi tanggunganku, dan barang siapa meninggalkan harta, maka untuk ahli
warisnya, dan aku adalah pewaris orang yang tidak memiliki ahli waris, Aku
membayar diayatnya dan mewarisinya.”
Dan sebagaimana yang telah
diketahui, bahwa bahwa Nabi saw. tidak mewarisi apapun untuk dirinya sendiri,
akan tetapi beliau menggunakannya untuk kemaslahatan kaum muslimin, karena
merekalah yang berkewajiban membayar diyat bagi si mayit, seperti Ashabah dari
kerabat. Sehingga seorang imam dibolehkan untuk memberikan harta peninggalan
orang yang tidak memiliki ahli waris, kepada Bait Al Mal kaum muslimin, atau
memberikannya kepada orang yang dia inginkan. Berdasarkan hal ini, maka
Baitulmal kaum muslimin, lebih didahulukan dari pada Rad
(dikembalikannya sisa dari warisan kepada ahli waris yang ada sesuai dengan
prosentase bagian masing-masing) dan Dzawi Al Arham (keluarga yang bukan
termasuk ahli waris).
Pendapat ulama Syafi’iyah Al
Mutaakhhirin tentang Bait Al Mal
para ulama Syafi’iyah Al
Mutakhhirin berfatwa tentang tidak bolehnya memberikan warisan kepada Bait Al
Mal, karena syarat diberikannya warisan kepada bait al mal adalah apabila
baitulmal tersebut Muntadzim (tertata dan resmi dari pemerintahan islam),
yaitu harta peninggalan tersebut dibagikan kepada pihak-pihak yang berhak
secara syar’i.
mereka beralasan bahwa baitulmal
sekarang bukan Muntadzim, dan sangat kecil harapannya untuk menjadi Muntadzim,
sehingga turunnya nabi Isa as.
oleh karena itu mereka (para
ulama syafi’iyah Al Mutakhhirun) menghukumi untuk mengembalikan harta
peninggalan tersebut kepada Dzawi Al Furud (orang yang berhak menerima
warisan sesuai yang telah ditentukan didalam syariat) selain suami atau istri,
dan jika tidak ada Dzawi Al Furud, maka harta tersebut diberikan kepada Dzawi
Al Arham (orang yang masih memiliki hubungan keluarga, tetapi tidak
termasuk ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan di dalam syariat). Oleh
karena itu banyak ulama faraid tidak menyebutkan baitulmal diantara sebab untuk
mendapatkan warisan.
Al Imam Abu Abdullah Muhammad bin
Ali bin Muhammad bin Husain Al Rahabi yang lebih dikenal dengan Ibnu Muwaffiq
Al Din berkata di dalam Mandzumahnya yang disebut dengan Al Rahabiyah,
Sebab mendapatkan warisan ada tiga Tiap-tiap
dari hal itu menyebabkan dia berhak mendapat warisan
Yaitu pernikahan, wala’, dan hubungan nasab dan
tidak ada setelahnya sebab untuk mendapat warisan