Saturday, January 31, 2015

faraidl part 6

Syarat-syarat pembagian warisan
1- kepastian akan kematian Al Muwarrits (orang yang memberikan warisan), atau dihukumi seperti orang mati dengan perkiraan. Hal itu seperti janin yang keluar dalam keadaan mati dari rahim ibu yang masih hidup, atau keluar dalam keadaan mati setelah kematian ibunya, karena disebabkan kejahatan terhadap ibunya, yang menyebabkan orang yang melakukan hal tersebut berkewajiban untuk membayar Ghurrah (budak laki-laki atau budak wanita). Maka diperkirakan bahwa janin tersebut masih dalam keadaan hidup sebelum kejahatan tersebut dilakukan, juga diperkirakan bahwa janin tersebut mati disebabkan kejahatan yang terjadi pada ibunya, sehingga Ghurrah tersebut diwarisi.
Atau Al Muwarrits (orang yang memberikan warisan) dihukumi telah mati, sebagaimana keputusan hakim yang menghukumi kematian orang yang hilang, sesuai dengan ijtihadnya.
2- dipastikan bahwa ahli waris masih hidup, setelah kematian orang yang memberikan warisan, meskipun hanya hidup sebentar.
3- mengetahui kedudukan hubungan ahli waris terhadap mayit, baik karena hubungan kekerabatan, pernikahan, atau karena Wala’ (kesetiaan seorang budak kepada tuan yang memerdekakannya).
4- kedudukan dia di dalam keluarga si mayit sehingga berhak menerima warisan, dengan terperinci. Hal ini khusus untuk seorang hakim, sehingga kesaksian di dalam warisan tidak diterima sama sekali, seperti ucapan seorang saksi kepada hakim, “Orang ini adalah termasuk ahli waris.” Tetapi dalam persaksiannya tersebut dia harus bisa menjelaskan hubungan kekerabatan orang tersebut dengan si mayit sehingga ia berhak untuk mewarisinya. Juga tidak cukup hanya dengan ucapan seorang saksi, “Orang ini adalah anak laki-laki dari paman si mayit,” tetapi harus diketahui hubungan kekerabatan diantara keduanya

Friday, January 30, 2015

faraidl part 5

Sumber ilmu faraid
Dasar-dasar Ilmu faraid, dalil dan hukumnya bersumber dari empat hal, Al Quran Al Karim, Al Sunah Al Nabawiyah, Al Ijma’, dan Ijtihad para sahabat.

Tujuan ilmu faraid
Tujuan dari ilmu faraid adalah untuk mengetahui bagian setiap ahli waris dari harta peninggalan.

objek pembahasan ilmu faraid
objek pembahasan ilmu faraid adalah Al Tarikah (harta peninggalan mayit).

Pengertian Al Tarikah
Al Tarikah adalah semua harta yang ditinggalkan oleh si mayit setelah kematiannya, baik berupa harta yang dapat dipindahkan, seperti emas, perak, uang, dan perabotan. Serta seluruh benda yang tidak dapat dipindahkan seperti tanah, bangunan, dan yang lainnya. Semua hal tersebut termasuk kedalam harta peninggalan yang wajib diberikan kepada yang berhak.

Kewajiban mengamalkan hukum-hukum warisan
Hukum waris adalah merupakan perundang-undangan syar’i yang ditetapkan di dalam Al Quran, Al Sunah, dan Ijma’, kedudukannya sama dengan hukum salat, zakat, Mua’malat, dan Hudud, sehingga wajib diterapkan dan diamalkan, dan tidak boleh dirubah atau keluar dari hukumnya, meskipun untuk waktu yang lama dan berhari-hari. Hukum waris adalah merupakan syariat dari Allah SWT. untuk menjaga kemaslahatan individu dan kemaslahatan umum. Bagaimanapun manusia menganggap pikiran mereka itu baik, tetapi sesungguhnya syariat Allah itu lebih baik dan lebih bermanfaat dari pikiran manusia tersebut.
Allah berfirman, “Itulah batas-batas (hukum) Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannnya kedalam syurga-syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang agung. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam api neraka, dia kekal di dalamnya, dan dia akan mendapat azab yang menghinakan.” (Al Nisa: 13-14).

Allah ta’ala juga berfirman, “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, aka nada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Al Ahzab: 36).

Thursday, January 29, 2015

faraidl part 4

Sumber ilmu faraid
Dasar-dasar Ilmu faraid, dalil dan hukumnya bersumber dari empat hal, Al Quran Al Karim, Al Sunah Al Nabawiyah, Al Ijma’, dan Ijtihad para sahabat.

Tujuan ilmu faraid
Tujuan dari ilmu faraid adalah untuk mengetahui bagian setiap ahli waris dari harta peninggalan.

objek pembahasan ilmu faraid
objek pembahasan ilmu faraid adalah Al Tarikah (harta peninggalan mayit).

Pengertian Al Tarikah
Al Tarikah adalah semua harta yang ditinggalkan oleh si mayit setelah kematiannya, baik berupa harta yang dapat dipindahkan, seperti emas, perak, uang, dan perabotan. Serta seluruh benda yang tidak dapat dipindahkan seperti tanah, bangunan, dan yang lainnya. Semua hal tersebut termasuk kedalam harta peninggalan yang wajib diberikan kepada yang berhak.

Kewajiban mengamalkan hukum-hukum warisan
Hukum waris adalah merupakan perundang-undangan syar’i yang ditetapkan di dalam Al Quran, Al Sunah, dan Ijma’, kedudukannya sama dengan hukum salat, zakat, Mua’malat, dan Hudud, sehingga wajib diterapkan dan diamalkan, dan tidak boleh dirubah atau keluar dari hukumnya, meskipun untuk waktu yang lama dan berhari-hari. Hukum waris adalah merupakan syariat dari Allah SWT. untuk menjaga kemaslahatan individu dan kemaslahatan umum. Bagaimanapun manusia menganggap pikiran mereka itu baik, tetapi sesungguhnya syariat Allah itu lebih baik dan lebih bermanfaat dari pikiran manusia tersebut.
Allah berfirman, “Itulah batas-batas (hukum) Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannnya kedalam syurga-syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang agung. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam api neraka, dia kekal di dalamnya, dan dia akan mendapat azab yang menghinakan.” (Al Nisa: 13-14).

Allah ta’ala juga berfirman, “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, aka nada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Al Ahzab: 36).

Wednesday, January 28, 2015

faraidl part 3

Hikmah disyariatkannya warisan
 Sesungguhnya disyariatkannya warisan dan perintah untuk membagikan harta peninggalan mayit memiliki hikmah yang sangat jelas dan nyata. diantaranya,
a. memberikan kepuasan kepada fitrah manusia.
Allah SWT. telah menciptakan manusia dan memberinya rasa cinta kepada anak sebagai perhiasan hidup, penyambung usia, dan sebagai penerusnya. Oleh karena itu kita melihat orang bekerja dan berlelah-lelah demi untuk anaknya, dan dengan usaha dan kerja keras ini maka hidup menjadi bergairah, dan penuh dengan kebaikan. Kalau seandainya agama melarang hak mewarisi, maka keinginan bekerja di dalam diri manusia akan hilang, jiwanya akan menjadi sempit, hidupnya akan menjadi gelap, dan dia melihat bahwa hasil jerih payahnya akan sia-sia, dan hasil dari amalnya barangkali akan diambil oleh orang yang tidak dia sukai. Hal ini bertentangan dengan fitrah manusia dan menghilangkan kebahagiaannya.
  Allah ta’ala berfirman, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia,” (Al Kahfi: 46), Allah juga berfirman, “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan dan anak-anak,” (Ali Imran: 14).
b. mewujudkan solidaritas kemasyarakatan di dalam lingkungan keluarga, hal itu dengan memberikan harta kepada mereka dengan cara mewarisi, dan terdapat kemaslahatan di dalam hal tersebut.
c. menyambung tali silaturahim setelah terputus dengan meninggalnya si mayit, hal itu dengan memberikan bagian harta warisan kepada saudara laki-lakinya, saudara perempuannya, dan selain keduanya.

Tuesday, January 27, 2015

faraidl part 2

Kedudukan ilmu faraid di dalam agama islam
Hukum waris di dalam agama islam menempati tempat yang utama, karena hukum waris adalah merupakan bagian besar dari perundang-undangan islam dalam hal harta, dan sebagian besar hukum waris disebutkan di dalam Al Quran. Sehingga ada yang mengatakan bahwa ilmu faraid adalah ilmu yang paling utama, setelah ilmu Tauhid dan ilmu yang berkaitan dengannya seperti pengetahuan akidah islam.

Dorongan untuk mempelajari ilmu faraid dan mengajarkannya
Nabi saw. telah mendorong umat islam untuk belajar ilmu faraid, dan memperingatkan umat islam dari mengabaikan dan menjauhi ilmu faraid.
Al Hakim meriwayatkan sebuah hadits dan mensahihkannya, di dalam kitab Al Faraid, bab Ta’allamu Al Faraidla Wa ‘Allimuhu Al Nasa: 4/333, dari Ibnu Mas’ud ra. Bahwa Nabi saw. bersabda, “Pelajarilah ilmu faraid dan ajarkanlah ilmu faraid kepada manusia, sesungguhnya aku akan meninggal (pada suatu saat), ilmu faraid juga akan dicabut, dan akan muncul fitnah, sehingga ada dua orang laki-laki yang berselisih tentang bagian harta warisan, dan mereka tidak mendapat seseorang yang dapat memberikan keputusan kepada mereka berdua.”
Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad Hasan di dalam kitab Al Faraid, bab Al Hatsu ‘Ala Ta’allumi Al Faraid: 2719, dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Pelajarilah ilmu faraid, karena ilmu faraid adalah bagian dari agamamu, dan ia adalah separuh ilmu, dan ilmu yang akan dicabut dari umatku.”
Dikatakan bahwa maksud dari ungkapan bahwa ilmu faraid adalah separuh ilmu, adalah karena manusia memiliki dua keadaan, Saat masih hidup, dan saat telah meninggal.
Keadaan hidup berhubungan dengan shalat, zakat, dan lainnya, sementara keadaan manusia setelah meninggal berhubungan dengan pembagian harta warisan, wasiat, dan lain-lain.

Perhatian para ulama dan fuqaha terhadap ilmu waris
Para sahabat sangat memperhatikan ilmu faraid, baik dengan mempelajari dan mengajarkannya. Sehingga Umar bin Al Khattab ra. Berkata, “Pelajarilah ilmu faraid, karena dia adalah bagian dari agamamu.”
Dan di antara para sahabat yang terkenal mahir dan mengungguli sahabat lain di dalam ilmu faraid adalah Ali Bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan Zaid bin Tsabit ra., Rasulullah saw juga telah mengakui bahwa Zaid adalah orang yang paling mengetahui tentang ilmu faraid, Beliau bersabda, “Orang yang paling mengetahui tentang ilmu faraid di antara kalian adalah Zaid bin Tsabit,” hal ini diriwayatkan oleh Al Tirmidzi di dalam Al Manaqib: 3794, dan Ibnu Majah di dalam Al Muqaddimah, bab Fadlail Ashabi Rasulillah saw.: 154, dan Imam Ahmad di dalam Musnadnya: 3/281.
Umar bin Al Khattab berkata, “Barang siapa bertanya tentang ilmu faraid, maka hendaklah ia datang kepada Zaid bin Tsabit.”
Abdullah bin Umar ra. Berkata saat kematian Zaid, “Pada hari ini telah meninggal orang alim di Madinah.”
Para Tabi’in juga mengikuti jejak para sahabat di dalam mengagungkan ilmu faraid, menerima, mempelajari, dan mengajarkannya. Dan di antara mereka ada tujuh ulama yang terkenal , yaitu Sa’id bin Al Musayyib, ‘Urwah bin Al Zubair, Al Qasim bin Muhammad, Kharijah bin Zaid, Abu Bakar bin Harits bin Hisyam, Sulaiman bin Yasar, dan Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud.

Dan setelah mereka ada ulama dari Tabi’u Al Taabi’in. mudah-mudahan Allah merahmati mereka dan menempatkan mereka di dalam syurganya, dan mudah-mudahan Allah memberikan taufik kepada kita sehingga kita dapat mengikuti jalan dan petunjuk mereka.

Sunday, January 25, 2015

faraidl part 1

Ilmu faraid (ilmu waris)
Pengertian ilmu faraid
Ilmu adalah memahami sesuatu sesuai dengan kenyataan
Ilmu juga dapat berarti hukum pasti yang ada di dalam pikiran yang sesuai dengan kenyataan, sebagaimana ilmu juga dapat berarti kaidah-kaidah yang tersusun, atau ilmu-ilmu yang jelas.
Al Faraid adalah bentuk jamak dari Faridlah yang bermakna Mafrudlah, yaitu sesuatu yang ditentukan, hal itu karena bagian-bagian dari ahli waris telah ditentukan secara syar’i di dalam ilmu faraid.
Al Faraid secara bahasa berarti Al Taqdir (yang ditentukan), seperti firman Allah ta’ala, “Maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan.” (Al Baqarah: 237).
Al Fard secara syar’i adalah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris di dalam syariat.
Ilmu Faraid secara istilah adalah Fiqh Al Mawarits atau ilmu hitungan untuk mengetahui hak masing-masing dari ahli waris dari harta peninggalan, atau ilmu faraid adalah ilmu dengan kaidah-kaidah fikih dan hitung-hitungan, untuk mengetahui bagian setiap ahli waris dari harta peninggalan.
Ilmu faraid disebut juga ilmu Al Mawarits. Mawarits adalah bentuk jamak dari Miirats, dan dikatakan Turats, dan irts, yaitu sesuatu yang diwarisi dari mayit.

Disyariatkannya Al Irts (pembagian warisan)
Tidak diragukan lagi bahwa pembagian warisan disyariatkan didalam agama islam, dan dinyatakan di dalam Al Quran, Al Sunah, dan ijma’. Dan juga tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengingkari disyariatkannya pembagian warisan adalah kafir dan murtad dari agama islam.
 Allah ta’ala berfirman, “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (Al Nisa: 7).
Ayat-ayat tentang hukum warits sudah dikenal dan jelas mensyariatkan pembagian harta waris.
Adapun hadits Nabi saw. yang menjelaskan tentang warisan, diantaranya adalah sabda Rasulullah saw. “Berikanlah warisan kepada yang berhak, apapun yang tersisa (dari harta warisan) maka diberikan kepada ahli waris laki-laki yang paling dekat.” Hadits ini diriwayatkan oleh imam Al Bukhari di dalam Al Faraid, bab Miratsu Al Walad Min Abihi Wa Ummihi: 6351, dan imam Muslim di dalam Al Faraid, bab Alhiqu Al Faraidla Biahliha: 1615.
Rasulullah saw. juga bersabda, “Belajarlah kalian ilmu faraid, dan ajarkanlah ilmu faraid kepada manusia.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al Hakim di dalam kitab Al Faraid, bab Ta’allamu Al Faraidla Wa ‘Allimuhu Al Nasa: 4/333.

Demikian juga seluruh umat islam telah berijma’ akan disyariatkannya pembagian harta warisan, dan tidak ada seorangpun dari umat islam yang menyelisihi hal itu.

Tuesday, January 13, 2015

kaffarat part 5

10- kafarat berupa hukuman had
Barang siapa melakukan suatu dosa yang telah ditentukan had dan hukumannya di dalam agama, seperti membunuh, mencuri, menuduh orang lain berzina, berzina, dan minum khamr, lalu dikenakan hukuman had padanya di dunia, maka pelaksanaan hukuman had tersebut adalah sebagai kafarat dari dosanya tersebut, meskipun dia belum bertobat, dan di akhirat dia tidak dicela di sisi Allah azza wa jalla.
Dalil hukuman had sebagai kafarat:
Dalil yang menunjukkan bahwa ditegakkannya hukuman had kepada orang yang melakukan dosa sebagai kafarat baginya adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Al Bukhari di dalam Al Iman, bab Alamat Al Iman Hubbu Al Anshar: 18, dan imam Muslim di dalam Al Hudud bab Al Hudud Kaffaratun Liahliha: 1709, dari Ubadah bin Shamit ra. Bahwa Rasulullah saw. bersabda ketika beliau berada ditengah-tengah para sahabat, “Berbaiatlah kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak membuat kebohongan antara tangan dan kaki kalian, tidak bermaksiat dalam perkara yang makruf, barang siapa di antara kalian yang memenuhinya, maka pahalanya ada pada Allah, dan barang siapa melanggar dari hal tersebut lalu dia dihukum didunia, maka itu sebagai kafarat baginya, dan barang siapa melanggar dari hal tersebut, kemudian Allah menutupinya, maka urusannya dikembalikan kepada Allah. Jika Allah berkehendak, maka Dia akan memaafkannya atau akan menyiksanya, lalu kami membaiat beliau untuk perkara-perkara tersebut.”
Al Tirmidzi meriwayatkan di dalam Al Iman, bab Ma Ja’a La Yazni Al Zani Wa Huwa Mukmin: 2628, dari Ali ra., dari Nabi saw. beliau bersabda, “Barang siapa terkena hukum had lalu hukumannya tersebut disegerakan di dunia, maka Allah lebih adil daripada mengulangi dua kali siksanya di akhirat kepada hambanya, dan barang siapa terkena hukum had, kemudian Allah menutupinya dan mengampuninya, maka Allah lebih mulia daripada mengulangi sesuatu yang telah Dia maafkan.”

Wallahu a’lam.

kaffarat part 5

7- kafarat nazar
Nazar yang wajib untuk membayarnya adalah apabila nazar tersebut berupa Nazar Al Lajaj, yaitu nazar yang terjadi karena permusuhan, seperti seseorang berkata dengan maksud untuk tidak berbicara dengan salah seorang, ketika terjadi perselisihan diantara keduanya.
Ia berkata, “Jika saya berbicara dengan dia, maka demi Allah wajib bagi saya untuk berhaji,”
Hukum nazar yang seperti ini adalah apabila hal itu benar-benar terjadi (ia berbicara dengan orang tersebut setelah bernazar untuk tidak berbicara lagi dengannya), maka wajib bagi orang yang bernazar untuk melaksanakan nazarnya, yaitu berhaji misalnya. Atau membayar kafarat sumpah, dia boleh memilih diantara keduanya.
Kafarat sumpah adalah memerdekakan seorang budak yang mukmin, atau memberi makan  sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka. Jika dia tidak mendapatkan hal tersebut, maka wajib berpuasa tiga hari dan tidak harus dilakukan secara berurutan, dalilnya adalah seperti dalil kafarat sumpah yang telah lalu.
Adapun jenis nazar yang lain, maka wajib bagi orang yang bernazar untuk mewujudkan nazarnya, dan tidak boleh diganti dengan yang lain.
Dalil Nazar Al Lajaj adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim di dalam Al Nazar, bab Kafarat Al Nazar: 1645, dari Uqbah bin Amir ra. Dari Rasulullah saw. bersabda, “Kafarat nazar adalah (seperti) kafarat sumpah.”
8- kafarat zihar
Zihar secara bahasa diambil dari kata Al Zuhr.
Secara istilah Zihar adalah seorang suami yang mengumpamakan istrinya dalam hal keharaman (untuk di gauli) seperti salah satu dari mahramnya, misalnya ibu, atau saudara perempuannya.  
Seperti ucapan seorang suami kepada istrinya, “Kamu itu seperti punggung ibuku.”
Orang arab jahiliyah menganggap zihar sebagai salah satu cara untuk mencerai istri. Akan tetapi di dalam syariat islam, zihar memiliki hukum tersendiri tidak sama dengan hukum thalak.
Yang akan kami jelaskan disini adalah mengenai kafarat zihar, adapun hukum-hukum zihar yang lain, maka akan anda temukan pada pembahasan tentang zihar, pada bab Thalak.
Hal-hal yang mewajibkan kafarat zihar
Apabila seorang suami mengucapkan kata-kata zihar, yaitu menyerupakan istrinya dengan salah satu dari mahramnya, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut:
Jika dia mengucapkan kata thalak setelah zihar, maka hukumnya adalah hukum Thalak. Dan zihar yang Ia ucapkan tidak berpengaruh apa-apa.
Adapun jika zihar yang diucapkan tersebut tidak diikuti dengan kata Thalak, tetapi dia tidak ingin memutuskan ikatan pernikahannya, maka dia dianggap telah mencabut kata-katanya, dan telah melanggarnya. Sehingga wajib untuk membayar kafarat yang harus segera ia bayarkan.
Kafarat Zihar:
a. Memerdekakan budak yang mukmin, yang bebas dari cacat yang dapat mencegahnya dari bekerja.
b. Berpuasa dua bulan berturut-turut, hal ini dilakukan jika dia tidak menemukan budak seperti zaman kita sekarang, atau dia dapat menemukan budak, tetapi tidak mampu membelinya.
c. Memberi makan enam puluh orang miskin, hal ini dilakukan jika dia tidak mampu berpuasa , atau tidak kuat untuk berpuasa selama dua bulan berturut-turut karena sudah tua atau sakit.
Tiga hal ini dilakukan berurutan sesuai dengan yang telah kami sebutkan, kita tidak dapat beralih dari satu kepada yang lain kecuali jika kita tidak mampu untuk melaksanakan kafarat yang sebelumnya.
Maksud dari kewajiban untuk membayar kafarat Zihar dengan segera adalah dia tidak boleh menggauli istrinya yang dizihar tersebut, sebelum membayar kafarat berupa salah satu dari tiga hal yang telah disebutkan diatas.
Dalil wajibnya membayar kafarat Zihar
Dalil kafarat zihar adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam Kitab Al Thalak, bab Fi Al Zihar, dan Ibnu Majah di dalam Kitab Al Thalak, bab Al Zihar, bahwa istri Aus bin Al Shamit ra. Datang kepada Nabi saw. untuk mengadukan suaminya yang telah menziharnya. Lalu Rasulullah saw. berkata, “Saya tidak melihatmu, kecuali kamu telah dicerai olehnya,” lalu wanita tersebut berkata, “Wahai Rasulullah! Saya memiliki anak darinya (suami yang menzihar), jika anak-anak tersebut hidup bersamaku, maka mereka kelaparan. Dan jika aku meninggalkan mereka bersama ayahnya, maka mereka tidak ada yang memperhatikan,” wanita tersebut terus berbicara kepada Nabi saw. tetapi jawaban beliau tidak lebih dari ucapan, “Saya tidak melihatmu, kecuali kamu telah dicerai olehnya,” maka Allah SWT. menurunkan ayat-ayat awal dari surat Al Mujadalah:
“Sungguh Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. Orang-orang di antara kamu yang menzihar istrinya (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibunya, ibu-ibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkannya. Dan sesungguhnya mereka benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun. Dan mereka yang menzihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu , dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan. Maka barang siapa tidak dapat (memerdekakan hamba sahaya), maka (dia wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Tetapi barang siapa tidak mampu, maka (wajib) member makan enam puluh orang miskin. Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat azab yang sangat pedih.” (Al Mujadalah: 1-4).
9- kafarat orang yang membunuh
Wajib bagi orang yang membunuh satu nyawa yang diharamkan, untuk membayar kafarat. baik itu membunuh yang disengaja, seperti yang disengaja, atau membunuh karena keliru. Juga sama saja hukumnya baik ahli waris orang yang dibunuh membebaskannya dari membayar diyat ataupun tidak, atau orang yang membunuh tersebut orang yang waras, anak kecil, atau orang gila.
Kafarat ini adalah:
1) Membebaskan seorang budak yang mukmin, dan bebas dari cacat yang mempengaruhi kerjanya.
2) Jika tidak mampu untuk membebaskan budak, karena sudah tidak ada budak atau karena tidak mampu membeli budak, maka dia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut.
Dan jika dia tidak mampu untuk berpuasa, maka tidak wajib baginya untuk memberi makan orang miskin karena tidak ada dalil yang menjelaskannya. Tetapi dia masih menanggung kafarat tersebut sehingga dia mampu untuk melaksanakannya.
Dalil wajibnya membayar kafarat karena membunuh:
Dalil kafarat ini adalah firman Allah ta’ala, “Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barang siapa membunuh seorang yang beriman Karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa tidak mendapatkan (hamba sahaya) maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.” (Al Nisa: 92).
Kalau membayar kafarat hukumnya wajib bagi seseorang yang membunuh karena keliru (tidak sengaja), maka lebih-lebih bagi orang yang membunuh karena sengaja atau seperti disengaja.
Abu Daud meriwayatkan di dalam Kitab Al ‘Itq, bab Tsawab Al ‘Itq: 3964, dari Watsilah bin Al Asqa’ ra. Ia berkata, “Kami datang kepada Rasulullah saw. menanyakan perihal sahabat kami yang divonis masuk neraka karena membunuh, beliau kemudian bersabda, “Bebaskanlah budak untuknya, maka Allah akan membebaskan dengan setiap anggota badan budak tersebut satu anggota badannya dari neraka.”

Monday, January 12, 2015

kaffarat part 4

5- kafarat orang yang berhaji
Kafarat di dalam ibadah haji ada lima macam. Kafarat disini maksudnya adalah darah yang wajib dialirkan atau sesuatu yang dapat menggantinya.
Macam-macam kafarat di dalam ibadah haji:
1-  Al Dam Al Murattab Al Muqaddar
Dam jenis ini wajib dibayarkan jika seseorang meninggalkan salah satu kewajiban haji, seperti ihram dari miqat, melempar jumrah, dan yang lainnya yang merupakan kewajiban-kewajiban haji yang sudah ma’ruf.
Jika seseorang meninggalkan salah satu dari kewajiban haji yang telah disebutkan, maka wajib baginya untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, menyembelih kambing yang cukup untuk dijadikan kurban, atau menyembelih sapi atau unta (setiap satu sapi atau unta untuk tujuh orang).
Jika dia tidak menemukan itu semua, maka wajib baginya untuk berpuasa sepuluh hari, tiga hari dilaksanakan ketika berhaji, dan tujuh hari dilaksanakan ketika sudah pulang kekeluarganya.
Termasuk kedalam jenis Dam ini adalah Dam Al Tamattu’, yaitu dam yang wajib dibayar karena tidak berwukuf di Arafah, setelah bertahallul dari ibadah umrah.
Allah ta’ala berfirman, “Maka barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) Hadyu yang mudah didapat, tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji, dan tujuh hari setelah kamu kembali.” (Al Baqarah: 196).
Tamattu’ adalah seseorang melakukan ibadah umrah terlebih dahulu, kemudian bertahallul, lalu ketika ingin melakukan ibadah haji, maka dia memulai ihramnya dari Makkah.
2- Al Dam Al Mukhayyar Al Muqaddar
Dam jenis ini wajib dibayarkan ketika seseorang melakukan salah satu dari larangan-larangan haji, seperti memotong rambut, memotong kuku, memakai pakaian yang ada jaitannya, dan lain sebagainya yang termasuk larangan-larangan bagi orang yang sedang berihram.
Orang yang melakukan hal-hal seperti ini, maka wajib baginya untuk menyembelih kambing, atau berpuasa tiga hari, atau bersedekah tiga Sha’ untuk enam orang miskin di tanah haram, masing-masing satu orang miskin mendapat setengah Sha’ gandum atau jerawut.
Cukup untuk menjadikan kafarat ini menjadi wajib adalah jika seseorang mencabut tiga helai rambutnya, atau memotong tiga kukunya.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum Hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan dikepalanya (lalu dia bercukur), maka dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban.” (Al Baqarah: 196).
Ayat diatas turun berkaitan dengan Ka’ab bin Ujrah ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. melihatku di Hudaibiyah, sementara kutu-kutu (di kepalaku) telah berjatuhan di wajahku, lalu beliau bertanya, “Apakah kutu-kutu dikepalamu itu mengganggumu?” Ka’ab menjawab, “Ya,” Rasulullah saw. lalu berkata, “Cukurlah kepalamu, dan menyembelihlah satu ekor kambing, atau puasa tiga hari, atau member makan satu faraq (tiga sha’) untuk enam orang miskin.”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Al Bukhari di dalam Al Ihshar Wa Jaza’I Al Shaid, bab Qauluhu Ta’ala, “Faman Kana Minkum Maridlan: 1719, dan imam Muslim di dalam Al Haj, bab Jawaz Halq Al Ra’s Li Al Muhrim In Kana Bihi Adza: 1201.
Satu faraq sama dengan tiga Sha’. Dan satu Sha’ kira-kira sama dengan dua ribu empat ratus gram.
3- Al Dam Al Mukhayyar Al Mu’addal
Yaitu Dam yang wajib dibayarkan karena membunuh binatang buruan ketika dalam keadaan sedang berihram saat berhaji atau umrah, atau membunuh binatang buruan di tanah haram, meskipun dia tidak sedang dalam kondisi berihram.
Orang yang melakukan hal-hal tersebut, maka wajib baginya untuk menyembelih binatang yang sepadan dengan hewan yang dibunuh di tanah haram, atau membeli makanan pokok seharga hewan tersebut dan dibagikan kepada orang-orang fakir yang berada di tanah haram tersebut, atau berpuasa untuk tiap satu mud satu hari (puasa).
Jika dia tidak menemukan hewan yang sepadan dengan hewan buruan yang dibunuh, maka dia boleh memilih satu diantara dua hal. Yaitu memberi makan orang miskin atau berpuasa. kecuali jika hewan yang dibunuh tersebut berupa burung merpati, maka wajib baginya untuk menyembelih satu ekor kambing.
Dalil hal ini adalah firman Allah ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu membunuh hewan buruan, ketika kamu sedang ihram (haji atau umrah). Barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan hewan ternak yang sepadan dengan hewan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai Hadyu yang dibawa ke ka’bah, atau kafarat (membayar tebusan dengan) memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa, seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, agar dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Dan Allah Mahaperkasa, memiliki (kekuasaan untuk) menyiksa.” (Al Maidah: 95).
4- Al Dam Al Murattab Al Mua’ddal
Yaitu Dam yang wajib dibayarkan karena pengepungan, barang siapa yang dilarang melakukan ibadah haji setelah berihram, maka dia bertahallul dengan menyembelih kambing di tempat dia dikepung sambil berniat untuk bertahallul, kemudian mencukur rambutnya, atau memendekkan rambutnya.
Jika dia tidak mampu melakukannya, maka hendaknya dia memberi makan orang miskin seharga Dam yang harus dia bayarkan. Dan jika dia tidak mampu memberi makan orang miskin, maka berpuasa satu hari untuk setiap satu mud.
Allah ta’ala berfirman, “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah, tetapi jika kamu terkepung (oleh musuh), maka (sembelihlah) Hadyu yang mudah di dapat,” (Al Baqarah: 196).
Di dalam sahih Al Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa “Rasulullah saw. bertahallul saat perjanjian Hudaibiyah, ketika dihalang-halangi oleh orang musyrik Quraisy, dan pada waktu itu beliau sedang berihram untuk melaksanakan umrah.” Diriwayatkan oleh imam Al Bukhari di dalam Kitab Al Haj, bab Thawaf Al Qarin: 1558, dan imam Muslim di dalam Al Haj, bab Bayanu Jawazi Al Tahallul Bi Al Ihshar: 1230.
Menyembelih Hadyu harus didahulukan sebelum mencukur rambut, karena Allah azza wa jalla berfirman, “Dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum Hadyu sampai di tempat penyembelihannya.” (Al Baqarah: 196). Akan tetapi dia tidak menunggu sampai selesai berpuasa (jika dia tidak mampu menyembelih kambing atau memberi makan orang miskin.)
5- Al Dam Al Murattab Al Mua’ddal
Yaitu Dam atau denda yang diwajib dibayarkan oleh seseorang yang melakukan jimak sebelum tahallul yang pertama, maka yang harus dia lakukan adalah menyembelih unta, jika tidak mampu maka menyembelih sapi, jika tidak mampu, maka menyembelih tujuh ekor kambing. Dan jika dia tidak mempu melakukan itu semua, maka dia membeli makanan sesuai dengan harga unta dan membagikannya untuk orang-orang fakir di tanah haram.
Jika dia tidak mampu memberi makan, maka berpuasa satu hari untuk setiap mud dari makanan terebut.
Menyembelih binatang atau memberi makan harus dilakukan ditanah haram, kecuali puasa, maka boleh dilakukan dimana saja.
Maksud dari Murattab atau Tartib adalah tidak boleh beralih kepada menyembelih hewan jenis kedua, kecuali jika dia tidak mampu untuk menyembelih hewan jenis pertama (misalnya dia tidak boleh menyembelih sapi, kecuali jika dia tidak mampu untuk menyembelih unta). Tartib adalah lawan dari Takhyir,  dimana seseorang diperbolehkan untuk memilih salah satu.
Dan yang dimaksud dengan Al Taqdir adalah bahwa syariat telah menentukan pengganti yang dapat menggantikan baik Dam tersebut bersifat Tartib atupun Takhyir.
Al Ta’diil adalah seseorang diperintahkan untuk mengira-ngira harga yang sesuai dengan hewan yang akan disembelih, dan menggantinya dengan hewan lain sesuai dengan harga yang telah dikira-kira tersebut.
6- Kafarat sumpah
Barang siapa melanggar sumpah, baik itu sumpah palsu ataupun tidak, maka wajib untuk membayar kafarat. Dan dia diperbolehkan untuk melakukan salah satu dari tiga hal berikut:
1) membebaskan seorang budak yang mukmin, jika masih ada budak.
2) memberi makan yang mengenyangkan kepada sepuluh orang miskin, berupa makanan yang biasa dimakan oleh keluarganya.
3) memberi pakaian sepuluh orang miskin, pakaian disini adalah semua hal yang menurut kebiasaan ditempat tersebut dianggap sebagai pakaian. Sarung, kaoskaki, dan penutup kepala dengan bentuk bagaimanapun, semuanya disebut pakaian.
Jika dia tidak mampu untuk melaksanakan salah satu dari tiga pilihan diatas, maka wajib baginya untuk berpuasa tiga hari, dan tidak harus dilaksanakan secara berurutan.

Dalil dari kafarat ini adalah firman Allah ta’ala, “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau member mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barang siapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukumnya agar kamu bersyukur (kepadanya).” (Al Maidah: 89).

Sunday, January 11, 2015

kaffarat part 3

2- kafarat bagi musafir dan orang sakit yang tidak mengqadla shaumnya pada tahun itu pula.
Orang yang tidak berpuasa karena bepergian atau karena sakit, maka wajib untuk mengqadlanya pada tahun itu juga sebelum masuk bulan Ramadlan pada tahun berikutnya.
Allah ta’ala berfirman, “Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.” (Al Baqarah: 184).
Jika dia tidak mengqadlanya karena menyepelekan, sehingga masuk pada bulan Ramdlan yang berikutnya, maka dia berdosa dan wajib membayar kafarat selain juga harus mengqadlanya. Kafarat ini adalah berupa memberi makan orang fakir sejumlah satu mud dari makanan pokok tempat tersebut.
Kafarat ini terus bertambah sesuai dengan jumlah tahunnya, jika dia terlambat untuk menqadla sehingga masuk pada bulan Ramadlan pada tahun yang kedua, maka wajib untuk membayar dua mud untuk setiap satu hari, dan tetap berkewajiban mengqadlanya, demikian seterusnya.
Akan tetapi jika dia terus berhalangan sampai hari Ramadlan terakhir, maka tidak wajib baginya kecuali mengqadla.
Dan jika dia mati sebelum memiliki kesempatan untuk mengqadla, maka dia tidak berkewajiban untuk melakukan apapun.
Akan tetapi jika dia mati setelah memiliki kesempatan untuk mengqadla tetapi ia tidak melaksanakannya, maka disunahkan bagi ahli warisnya untuk menggantikan berpuasa sesuai dengan jumlah hari yang ditanggungnya. Dan jika ahli warisnya tidak menggantikannya berpuasa, maka wajib memberi makan sejumlah satu mud setiap harinya berupa makanan pokok di tempat tersebut,sehingga ia terbebas dari tanggungan di sisi Allah azza wa jalla. dan makanan tersebut diambil dari harta peninggalannya.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Tirmidzi di dalam Abwabu Al Zakah, bab Ma Ja’a Fi Al Kaffarah:  718, dari Ibnu Umar ra. Ia berkata, “Barang siapa yang meninggal dan masih memiliki tanggungan puasa, maka hendaklah ia memberi makan satu orang miskin setiap harinya, sebagai gantinya.”
Dari Aisyah ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa meninggal dan masih memiliki tanggungan puasa, maka hendaklah ahli warisnya berpuasa untuk menggantikannya.” Hadits ini diriwayatkan oleh imam Al Bukhari di dalam Al Shaum, bab Man Maata Wa ‘Alaihi Shaumun: 1851, dan imam Muslim di dalam Al Shiyam, bab Qadla’u Al Shaum ‘An Al Mayyit: 1147.
3- kafarah bagi orang yang sudah tua yang sudah tidak mampu berpuasa
Orang tua yang sudah tidak mampu lagi berpuasa, maka wajib baginya untuk bersedekah satu mud setiap harinya, berupa makanan pokok tempat tersebut. dan tidak wajib baginya atau ahli warisnya selain hal tersebut.
Dalil hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Al Bukhari di dalam Tafsir Shurah Al Baqarah, bab Qauluhu Ayyaman Ma’dudaat :4235, dari Atha’, bahwa ia mendengar Ibnu Abbas ra. Membaca, “Dan bagi orang yang berat menjalankannya wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin.” (Al Baqarah: 184). Ibnu Abbas ra. berkata, “Ayat ini tidak dinaskh (dihapus), yang dimaksud adalah orang laki-laki atau wanita yang sudah sangat tua, yang tidak mampu lagi untuk berpuasa, maka dia memberi makan satu orang miskin setiap harinya.”
4- kaffarah bagi orang yang hamil atau menyusui  yang tidak berpuasa karena takut akan kondisi anaknya.
Apabila orang hamil atau menyusui tidak berpuasa karena khawatir akan kesehatan anaknya (jika dipaksakan untuk berpuasa), seperti orang hamil yang takut keguguran jika dia berpuasa, atau orang yang menyusui takut air susunya akan berkurang, sehingga anak yang disusuinya akan mati jika dia berpuasa, maka wajib bagi keduanya untuk mengqadla dan membayar kafarat.
Kafarat yang dibayarkan adalah berupa satu mud makanan pokok daerah tersebut setiap harinya, dan diberikan kepada orang-orang fakir.

Adapun jika dia tidak berpuasa karena khawatir akan kondisi dirinya, baik bersamaan dengan hal itu dia juga mengkhawatirkan kondisi anaknya ataupun tidak, maka wajib baginya untuk mengqadla saja, dan tidak wajib membayar kafarat.

Saturday, January 10, 2015

kaffarat part 2

Macam-macam kafarat:
Kafarat jenisnya bermacam-macam, yang akan kami jelaskan disini secara terperinci, meskipun sebagian telah dijelaskan pada babnya tersendiri, dan sebagian yang lain juga akan dijelaskan pada babnya nanti.
Kami berpendapat untuk mengumpulkan macam-macam kafarat di dalam bab tersendiri, dengan judul Al Kaffaraat, untuk memudahkan para pembaca apabila mereka ingin mengetahui tentang hal tersebut, dan mempelajari hukum-hukumnya di dalam satu bahasan.
1- kafarat orang yang melakukan hubungan suami istri di siang hari pada bulan Ramadlan.
Kafarat bagi orang yang melanggar puasa dengan melakukan hubungan suami istri pada siang hari di bulan Ramadlan adalah:
1) membebaskan seorang budak yang beriman, baik budak laki-laki ataupun budak perempuan. Hal ini dapat dilakukan jika masih ada perbudakan.
Syarat-syarat budak yang dibebaskan:
a. Budak tersebut seorang mukmin.
b. Budak tersebut terbebas dari cacat, seperti buta, lumpuh, dan yang semisalnya.
2) Berpuasa dua bulan berturut-turut. hal ini dilakukan jika ia tidak menemukan budak, atau tidak mampu membeli budak karena kemiskinannya.
3) Jika tidak mampu berpuasa, maka memberi makan enam puluh orang miskin, setiap satu orang miskin diberi satu mud dari bahan makanan pokok tempat tersebut.
Kafarat ini dilakukan berurutan sesuai dengan yang telah kami sebutkan, dan tidak boleh memilih salah satu darinya, kecuali karena ia tidak mampu melakukan jenis kafarat yang sebelumnya.
Jika ia tidak mampu melaksanakan semuanya, maka kafarat tersebut masih berada dalam tanggungannya, yang wajib dibayar kemudian, ketika dia telah mampu melaksanakan salah satu dari jenis kafarat tersebut.
Siapa saja yang berkewajiban untuk membayar kafarat karena berhubungan suami istri pada siang hari di bulan Ramadlan:
Kafarat bagi orang yang melakukan jimak pada siang hari di bulan Ramadlan wajib dibayarkan oleh suami, dan tidak wajib bagi si istri meskipun waktu hal itu terjadi saat dia sedang berpuasa. karena kesalahan suami (sebagai orang yang mengawali untuk berjimak) itu lebih besar, maka sangat sesuai jika suamilah yang berkewajiban untuk membayar kafarat.
Syarat- syarat orang yang berkewajiban membayar kafat ini:
Syarat-syarat agar seseorang berkewajiban untuk membayar kafarat karena melakukan jimak pada siang hari di bulan Ramadlan adalah sebagai berikut:
a. Orang tersebut ingat bahwa ia sedang berpuasa.
b. Orang tersebut mengetahui akan haramnya melakukan jimak pada siang hari di bulan Ramadlan.
c. Orang tersebut tidak sedang bepergian atau sakit.
Maka barangsiapa yang melakukan jimak pada siang hari di bulan Ramadlan karena lupa, atau tidak tahu hukumnya, atau bukan puasa Ramadlan, atau sengaja berbuka tetapi dengan selain jimak, atau dia sedang bepergian yang membolehkan untuk tidak berpuasa, maka ia tidak berkewajiban untuk membayar kafarat, akan tetapi hanya wajib mengqadla’nya.
Niat ketika membayar kafarat:
Niat menjadi syarat ketika seseorang membayar kafarat, yaitu dengan berniat untuk membebaskan budak, berniat untuk berpuasa, atau berniat untuk memberi makan ketika membayar kafarat. Karena kafarat adalah hak harta dan raga yang wajib ditunaikan untuk mensucikan dirinya, seperti zakat dan shaum, maka agar amal tersebut sah harus disertai dengan niat, karena setiap amal tergantung niatnya.
Dan tidak cukup bagi seseorang yang membayar kafarat, hanya berniat membebaskan budak, puasa, atau memberi makan orang miskin dengan niat secara mutlak, Tetapi harus ditentukan.
Kewajiban mengqadla’ selain membayar kafarat:
Perlu diketahui bahwa orang yang melakukan hubungan suami istri pada siang hari di bulan Ramadlan, wajib untuk mengqadla’nya selain membayar kafarat.
Demikian juga wajib bagi si istri untuk mengqadla’ hari tersebut, meskipun ia tidak berkewajiban untuk membayar kafarat.
Akumulasi kafarat:
Perlu diketahui bahwa kafarat dibayar sesuai dengan jumlah hari yang dilanggar. Jika dia melakukan jimak pada dua hari di bulan Ramadlan, maka selain mengqadla dua hari tersebut, ia juga wajib membayar dua kali kafarat. Jika dia melakukannya pada tiga hari di bulan Ramadlan, maka selain mengqadla dia juga berkewajiban untuk membayar tiga kali kafarat, demikian seterusnya.
Dalil yang mewajibkan bagi orang yang melakukan jimak pada siang hari dibulan Ramadlan untuk membayar kafarat:
Dalil yang mewajibkan untuk membayar kafarat adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim di dalam Al Shiyam, bab Taghlidz Tahrimi Al Jima’ Fi Nahari Ramadlan: 1111, dan imam Al Bukhari di dalam Al Shaum, bab Idza Jaama’a Fi Ramadlan Wa Lam Yakun Lahu Syai’un: 1834, dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, “Ketika kami sedang duduk di sisi Rasulullah saw., datanglah seorang laki-laki. Ia berkata, “Wahai Rasulullah! Aku telah binasa,” Nabi saw. bertanya, “Ada apa?” lelaki tersebut menjawab, “Aku telah berjimak dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa (di dalam riwayat yang lain disebutkan: di bulan Ramadlan).”
Rasulullah saw. lalu bertanya, “Apakah kamu memiliki budak untuk kamu merdekakan?” ia menjawab, “Tidak,” Rasulullah bertanya, “Apakah kamu sanggup untuk berpuasa dua bulan berturut-turut?” lelaki itu menjawab, “Tidak,” Rasulullah saw. kembali bertanya, “Apakah kamu mampu memberi makan enam puluh orang miskin?” ia menjawab, “Tidak,” lalu Rasulullah saw. terdiam sejenak, dan ketika kami masih dalam keadaan seperti itu, Nabi saw. diberi satu wadah yang berisi kurma. Beliau lalu bertanya, “Siapa tadi orang yang bertanya?” lelaki tersebut menjawab, “Saya,” Rasulullah saw. lalu berkata, “Ambillah ini dan sedekahkanlah!” lelaki tersebut berkata, “Apakah aku harus mensedekahkan kurma tersebut kepada orang yang lebih fakir dariku wahai Rasulullah? Demi Allah tidak ada keluarga yang lebih fakir dari pada keluargaku.” Rasulullah saw. lalu tertawa sehingga terlihat gigi taring beliau, lalu berkata, “Berikanlah (kurma itu) kepada keluargamu.”

Para ulama berkata, “Tidak boleh bagi orang miskin yang mampu untuk memberikan makanan, lalu ia berikan makanan itu kepada keluarganya. Demikian juga kafarat-kafarat yang lain. Adapun yang dijelaskan oleh hadits ini, maka itu adalah kekhususan bagi laki-laki tersebut.”

Friday, January 9, 2015

kaffarat part 1

Kaffaraat
Pengertian kaffaraat: secara bahasa kaffaraat adalah bentuk jamak dari kaffarah, Al Kaffarah diambil dari kata Al Kafr yang berarti Al Satr (tutup), dinamakan kaffarah karena dia dapat menutup dosa, sebagai keringanan dari Allah SWT.
Dalil disyariatkannya kafarat:
Kafarat adalah sesuatu yang disyariatkan, berdasarkan dalil dari Al Quran dan Al Sunnah, Allah ta’ala berfirman tentang kafarat orang yang melanggar sumpahnya, “Maka kafaratnya (denda melanggar sumpah) adalah memberi makan sepuluh orang miskin.” (Al Maidah: 89).
Allah juga berfirman tentang orang –orang yang dikepung oleh musuh ketika melaksanakan haji, “Tetapi jika kamu terkepung (oleh musuh), maka sembelihlah Hadyu yang mudah didapat.” (Al Baqarah: 196).
Dan tentang orang yang membunuh karena keliru (tidak sengaja), Allah berfirman, “Barangsiapa membunuh orang yang beriman karena tersalah, (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman,” (Al Nisa: 92).
Allah juga berfirman tentang kafarat zihar (orang yang berkata kepada istrinya, “Anti ‘alayya kadhahri ummi,” yang artinya: bagiku, engkau adalah seperti punggung ibuku), “Dan mereka yang menzihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak,” (Al Mujadalah: 3).
Adapun dalil dari sunnah tentang disyariatkannya kafarat adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim di dalam Al Nadzar, bab Fi Kaffarah Al Nadzar: 1645, dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra. Dari Nabi saw. ia bersabda, “Kafarat nazar adalah seperti kafarat sumpah.”
Rasulullah saw. jga bersabda, “Barangsiapa bersumpah, lalu ia melihat yang lebih baik dari sumpahnya, maka hendaklah ia melakukan sesuatu yang lebih baik tersebut, dan membayar kafarat untuk sumpahnya.” Hadits ini diriwayatkan oleh imam Muslim di dalam Al Aiman, bab Man Halafa Yaminan: 165, dari Abu Hurairah ra.
Dalil-dalil yang lain akan kami sebutkan ketika membahas tentang kafarat, insyallah.
Hikmah disyariatkannya kafarat:
Kafarat secara syar’i adalah usaha untuk memperbaiki kesalahan yang telah ia perbuat, dan menghapus akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya tersebut.
Misalnya kafarat bagi orang yang membunuh karena keliru dan tidak sengaja, maka dia mengganti nyawa yang terbunuh dengan menghidupkan nyawa yang lain, yaitu dengan membebaskan seorang budak. Karena budak secara hukum seperti orang mati.
Kafarat yang berupa memberikan makanan adalah merupakan upaya untuk membebaskan manusia dari kelaparan, kemiskinan, dan kesusahan.
Kafarat berupa puasa, adalah upaya untuk terbebas dari kotoran kejelekan, sehingga ia mencapai derajat takwa, dan jauh dari kemungkaran.
Kafarat zihar adalah upaya untuk menggugurkan kepalsuan yang dilakukan oleh orang yang melakukan zihar, ketika dia meyerupakan istrinya dengan ibunya, dan melanggar kehormatannya.
Kafarat yamin dapat menghapus dosa karena sumpah yang dilanggar.       

Demikian seterusnya, kita menjumpai bahwa kafarat adalah upaya mengganti yang telah lewat, memperbaiki yang telah rusak, dan membuka pintu ibadah kepada Allah SWT. wallahu a’lam.

Thursday, January 8, 2015

gambar

Pengharaman gambar
Menggambar manusia, hewan, dan semua yang bernyawa hukumnya haram, dan termasuk dosa besar. Pelakunya diancam dengan ancaman yang keras sebagaimana disebutkan di dalam hadits.
Tidak ada perbedaan antara gambar-gambar tersebut, semuanya haram. Baik gambar tersebut termasuk gambar yang disepelekan atau gambar yang diagungkan dan dimuliakan.
 Juga tidak ada beda antara gambar yang ada di lantai, baju, dirham, dinar, uang, bejana, dinding, atau yang lainnya.
Demikian juga tidak ada beda antara lukisan yang memiliki bayangan (tiga dimensi), ataupun tidak. Menggambar semua mahluk yang bernyawa hukumnya haram, bagaimanapun cara menggambarnya dan dilukis diatas media apapun.
 Pelukis dan orang yang minta dilukiskan semuanya berdosa, karena dia telah membantu orang untuk bermaksiat, meskipun azab bagi orang yang melukis lebih berat, dan dosanya lebih besar.
Adapun melukis sesuatu yang tidak bernyawa, maka hukumnya tidak haram, dan pelakunya tidak berdosa.
Adapun mengambil satu lukisan yang di dalamnya ada lukisan hewan dan manusia, maka jika lukisan ini digantung di dinding, atau disablon di atas pakaian, dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang sepele, maka hukumnya haram dan tidak boleh membiarkan lukisan tersebut, tetapi wajib dicopot dan dihilangkan dari tempat tersebut. dan jika gambar tersebut berada di lantai yang diinjak, atau bantal yang dijadikan sandaran dan alas tempat duduk, dan yang semisalnya dari gambar-gambar yang dianggap sepele, maka hukumnya tidak haram.
Hal-hal yang dikecualikan dari pengharaman penggunaan gambar
Pertama: Boleh menggunakan gambar atau boneka untuk mainan anak-anak.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim di dalam kitab Fadlail Al Shahabah, bab Fi Fadl Aisyah ra.: 2440, dari Aisyah ra. Bahwasannya ia sedang bermain boneka disisi Rasulullah saw. Aisyah berkata, “Teman-temanku datang, lalu mereka bersembunyi karena malu dan sungkan kepada Rasulullah saw. lalu beliau menyuruh mereka untuk pergi menemuiku.”
Maksudnya adalah, suatu ketika Aisyah ra. Sedang bermain boneka bersama teman-temannya. Ketika Rasulullah saw. masuk, mereka lalu bersembunyi karena malu dan sungkan kepada beliau. Lalu beliau memerintahkan mereka untuk pergi menemui Aisyah dan bermain bersamanya.
Kedua: Dalam keadaan darurat.
Apabila dalam kondisi darurat dan sangat dibutuhkan untuk mengambil gambar, maka dibolehkan, dengan syarat benar-benar darurat dan hanya sebatas kebutuhan.
Dalil diharamkannya menggambar:
Dalil diharamkannya menggambar hewan adalah hadits-hadits sebagai berikut:
Al Tirmidzi meriwayatkan di dalam Al Libas, bab Ma Ja’a Fi Al Shurah:1749, dari Jabir ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. melarang (memajang) gambar di dalam rumah, dan melarang membuatnya.”
Imam Al Bukhari meriwayatkan di dalam Al Libas, bab ‘Azab Al Mushawirin Yauma Al Qiyamah: 5606, dan imam Muslim di dalam Al Libas Wa Al Zinah, bab La Tadhul Al Malaikah Baitan Fihi Kalb Wa La Shurah: 2109, dari Abdullah bin Mas’ud ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah para pelukis.”
Rasulullah saw. juga bersabda, “Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar ini, mereka akan disiksa pada hari kiamat, lalu dikatakan kepada mereka, “Hidupkanlah apa yang telah kamu buat.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di dalam Al Libas, bab ‘Azab Al Mushawirin Yauma Al Qiyamah: 5607, dan imam Muslim di dalam Al Libas Wa Al Zinah, bab La Tadhul Al Malaikah Baitan Fi Kalb Wa La Shurah: 2108, dari Ibnu Umar ra.
Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata, “Aku mendengar Nabi Muhammad saw. bersabda, “Barangsiapa menggambar satu lukisan ketika di dunia, maka pada hari kiamat akan dibebankan kepadanya untuk meniupkan ruh, padahal dia tidak mampu meniupkan ruh.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhari di dalam kitab Al Libas, bab Man Shawwara Shuratan Kullifa Yauma Al Qiyamah An Yanfukha Fiha Al Ruh: 5618, dan imam Muslim di dalam kitab Al Libas Wa Al Zinah, bab La Tadhulu Al Malaikah Baitan Fihi Kalbun Wa La Shurah: 2110.
Pada bab yang sama imam Al Bukhari dan imam Muslim meriwayatkan dari Sa’id bin Abi Al Hasan, ia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Ibnu Abbas ra. Ia berkata, “Saya orang yang menggambar ini semua, maka berilah fatwa kepadaku tentang hal tersebut.” Ibnu Abbas berkata, “Mendekatlah kepadaku!” lalu laki-laki tersebut mendekat kepadanya. Ibnu Abbas berkata, “Mendekatlah kepadaku!” lalu dia mendekat lagi kepadanya sehingga Ibnu Abbas meletakkan tangannya diatas kepala orang tersebut. lalu Ibnu Abbas berkata, “Aku akan menceritakan kepadamu tentang yang aku dengar dari Rasulullah saw. aku pernah mendengar beliau bersabda, “Semua orang yang suka menggambar itu akan masuk neraka, dan setiap yang dia gambar akan menjadi satu makhluk yang akan menyiksanya di dalam neraka jahanam.” Lalu Ibnu Abbas berkata, “Jika kamu tetap ingin menggambar, maka buatlah gambar pohon, atau gambar lain yang tidak bernyawa.”
Dari Abu Thalhah ra. (salah seorang sahabat Rasulullah saw.) ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang didalamnya ada anjing, gambar, dan patung.” Hadits ini diriwayatkan oleh imam Al Bukhari di dalam Bad’u Al Khalq, bab Idza Qala Ahadukum Amin: 3053, dan imam Muslim di dalam Al Libas  Wa Al Zinah, bab La Tadhulu Al Malaikatu Baitan Fihi Kalbun Wa La Shurah: 2106.
Hikmah diharamkannya gambar:
Sesungguhnya diharamkannya menggambar dan larangan melakukannya adalah karena dalam rangka ibadah, maka tidak ada alasan bagi seorang hamba kecuali hanya mengatakan, “Kami dengar dan kami ta’at, wahai Tuhan kami mudah-mudahan Engkau mengampuni kami, dan hanya kepada-Mu kami kembali.”
Dan bersamaan dengan hal itu, terkadang kita menemukan hikmah-hikmah lain dari pengharaman ini:
a. Nabi saw. menyebutkan bahwa hikmah dari larangan menggambar adalah karena dengan perbuatan tersebut dia menandingi ciptaan Allah dari sisi bentuk dan rupa. oleh karena itu, kemudian akan dikatakan kepada mereka, “Hidupkanlah apa yang telah kamu buat! Dan dia tidak mampu melakukannya.”
b. Sesungguhnya gambar dan patung-patung ini, dulunya disembah disamping Allah SWT. ketika islam datang dengan membawa tauhid, mengharamkan kesyirikan dan memeranginya, maka islam menutup semua pintu kesyirikan dan pengagungan kepada selain Allah SWT. diantaranya adalah menggambar, sebagai antisipasi dan kehati-hatian.
c. Malaikat Allah SWT. tidak akan masuk kedalam rumah yang didalamnya terdapat gambar dan patung, oleh karena itu, orang yang di dalam rumahnya terdapat gambar atau patung, maka ia akan terhalang dari berkah, doa, permohonan ampun, dan shalawat para malaikat kepadanya.
Cukuplah kerugian ini menjadi hikmah diharamkannya gambar dan menggunakannya.
Kerugian dan penyesalan:
Setelah yang kami sebutkan semua diatas, dan juga kami sebutkan hadits-hadits Nabi saw. tentang haramnya menggambar dan larangan menggunakan gambar, tetapi kita masih menjumpai sebagian kaum muslimin masih tenggelam di dalam hal yang diharamkan ini, mereka masih melanjutkan kemungkaran ini, mereka tidak mempedulikan nasihat agama, dan tidak memperhatikan ancaman yang keras sekalipun.
Ketika kita masuk ke dalam suatu rumah atau toko, maka kita akan menemukan didalamnya, patung yang dihias, gambar yang dipajang, baik gambar sang ayah, kakek, atau gambar teman yang digantung ruang depan atau di atas dinding.
 Kita menemukan ini semua dilakukan oleh semua orang, baik laki-laki atau wanita, kaya atau miskin, kecuali orang yang dirahmati Tuhannya.
Mereka membenarkan tindakan mereka dengan mencomot fatwa dari sana dan sini, dan dengan alasan yang dibuat-buat, atas nama seni, kenang-kenangan, dan terkadang atas nama cinta dan penghormatan. Seolah-olah ketika agama islam mengharamkan hal tersebut , Allah lupa dengan alasan-alasan tersebut.
Mudah-mudahan Allah memberikan kepada kita kelembutan dan keselamatan, dan tidak ada daya dan upaya kecuali Allah SWT.