Wednesday, December 31, 2014

pakaian dan perhiasan part 1

Pakaian dan perhiasan
Hukum asal tentang pakaian dan perhiasan adalah halal:
Hukum asal tentang pakaian dan perhiasan, baik yang dilekatkan di badan, pakaian, atau di tempat tertentu, adalah halal dan boleh.
Hal itu berdasarkan ayat yang menjelaskan bahwa semua yang diciptakan oleh Allah untuk makhluknya, adalah agar mereka memanfaatkan nikmat Allah tersebut di dalam kehidupannya, baik untuk dijadikan pakaian, perhiasan, atau digunakan untuk yang lainnya.
Allah ta’ala berfirman, “Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu semuanya.” (Al Baqarah: 29).
Juga firman-Nya, “Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya, dan jika menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (Ibrahim: 34).
Serta firman-Nya, “Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik?” katakanlah, “Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari kiamat. Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui.” (Al A’raf: 32).
Allah juga berfirman, “Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat.” (Al A’raf: 26).
“Dan Allah menjadikan rumah-rumah bagimu sebagai tempat tinggal, dan Dia menjadikan bagimu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit hewan ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya pada waktu kamu bepergian dan pada waktu kamu bermukim, dan (dijadikannya pula) dari bulu domba, bulu unta, dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan kesenangan sampai waktu (tertentu). Dan Allah menjadikan tempat bernaung bagimu dari apa yang telah Dia ciptakan, Dia menjadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia menjadikan pakaian bagimu yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikanlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu agar kamu berserah diri (kepada-Nya). (Al Nahl: 80-81).
Dari dalil-dalil ini, kita dapat mengetahui bahwa hukum asal dari semua jenis pakaian dan perhiasan adalah halal dan mubah. Kecuali hal-hal yang dikecualikan oleh dalil khusus.
Pakaian dan perhiasan yang diharamkan:
Diantara pakaian dan perhiasan tersebut ada yang diharamkan dan dilarang memakainya. Kami akan menjelaskan sebagian dari hal-hal tersebut:
1- Haramnya emas dan perak kecuali untuk jual beli dan semacamnya.
Emas dan perak tidak boleh digunakan untuk segala jenis keperluan kecuali untuk jual beli dan yang sejenisnya. Maka tidak boleh menggunakan bejana yang terbuat dari emas atau perak, untuk makan atau minum. emas dan perak juga tidak boleh dijadikan alat menulis, bercelak, atau digunakan untuk menghias rumah, tempat duduk, masjid, toko, dan yang lainnya. Baik emas atau perak yang digunakan tersebut sedikit atau banyak.
Sebagaimana diharamkan menggunakan emas dan perak dalam hal-hal diatas, demikian juga diharamkan membuatnya meskipun tidak digunakan. Karena sesuatu yang haram digunakan, haram untuk membuatnya.
Dalil haramnya menggunakan emas dan perak.
Hadits sahih yang menjelaskan haramnya tersebut sangat banyak, diantaranya:
Hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim di dalam Al Libas Wa Al Zinah, bab Tahrimu Isti’mal Awani Al Dzahab: 2065, dari Ummu Salamah ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa minum dengan bejana emas atau perak, maka ia mendidihkan api neraka jahanam di dalam perutnya.”
Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam Al Libas Wa Al Zinah, bab Tahrim Isti’mal Ina’i Al Dzahab : 2067, dari Hudzaifah ra. Ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian minum dengan bejana emas dan perak, dan jangan makan dari piring yang terbuat dari keduanya, karena sesungguhnya barang-barang tersebut untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia.”
Hukum menggunakan bejana yang disambung atau ditambal dengan emas atau perak:
Haram menggunakan bejana yang disambung dengan emas secara mutlak, baik sambungannya tersebut besar atau kecil, juga sama saja baik yang disambung tersebut adalah bagian yang digunakan, atau tidak.
Adapun bejana yang disambung dengan perak, apabila sambungannya tersebut besar dan tidak diperlukan, maka haram hukumnya. Dan jika sambungan tersebut kecil, atau besar tetapi memang dibutuhkan, maka hukumnya boleh, baik sambungan tersebut berada pada bagian yang digunakan ataupun tidak.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari di dalam Al Asyribah, bab Al Syurbu Min Qadah Al Nabi saw. Wa Aniyatihi, dari Ashim Al Ahwal ia berkata, “Aku melihat gelas Nabi saw. ada pada Anas bin Malik ra., gelas tersebut telah retak, lalu dia menyambungnya dengan perak, Anas berkata, “Gelas tersebut adalah gelas yang sangat bagus yang terbuat dari kayu pilihan, Ashim melanjutkan, “Anas berkata, “Sungguh aku telah menuangkan (minuman) kepada Rasulullah saw. dengan gelas tersebut lebih dari sekian kali.”
Hukum menggunakan bejana yang disepuh dengan emas:
Bejana yang disepuh dengan sedikit emas (yaitu apabila dibakar emas tersebut tidak terkumpul), maka halal. Dan jika emas yang digunakan untuk menyepuh tersebut jumlahnya banyak (yaitu jika dibakar emas tersebut berkumpul), maka hukumnya haram dan tidak boleh menggunakan atau membuatnya.
Dan juga diharamkan menyepuh atap rumah dan dindingnya dengan emas atau perak, meskipun sedikit.
Hukum menggunakan bejana yang dibuat dari bahan tambang yang berharga:  
Boleh menggunakan bejana yang terbuat dari bahan tambang yang berharga selain emas dan perak, seperti berlian, mutiara, yaqut (sejenis batu permata), zamrud, kaca, dan yang lainnya, karena tidak ada dalil yang melarangnya. dan hukum asal ini semua adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, dan mengkiaskan barang-barang tersebut dengan emas dan perak juga tidak tepat.

Tuesday, December 23, 2014

wasiat part 6

Wasiat yang diberikan kepada ahli waris
a. hukum asal wasiat adalah diberikan kepada selain ahli waris, karena tujuan dari wasiat adalah ibadah, memperoleh pahala, dan mengganti sesuatu yang belum dia kerjakan saat masih hidup. sementara ahli waris dia telah mengambil bagiannya dari harta peninggalannya.
Akan tetapi orang yang berwasiat terkadang menyelisihi hukum asal tersebut, sehingga dia berwasiat untuk ahli warisnya sendiri. Lalu apakah hukum wasiat tersebut?
Menurut madzhab Syafi’I wasiat seperti ini boleh, akan tetapi wasiat tersebut tidak diberikan kepada ahli waris itu, kecuali jika ahli waris yang lain membolehkannya, maka wasiat tersebut boleh dilaksanakan.
Hukum ini berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah telah memberikan orang yang berhak akan haknya masing-masing, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al Tirmidzi di dalam kitab Al Washaya, bab Ma Ja’a La Washiyata Liwaritsin: 2141, dan Abu Daud: 2870,semuanya meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Umamah ra.
Al Daraqutni (4/ 152) meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Wasiat kepada ahli waris tidak boleh, kecuali jika ahli waris yang lain mengijinkannya.”
Mereka juga mengkiaskan wasiat untuk ahli waris dengan wasiat untuk orang lain yang melebihi sepertiga dari hartanya. Sebagaimana yang telah kami jelaskan, bahwa lebihan sepertiga dari harta keseluruhan, hukumnya tergantung ijin dari ahli waris, demikian juga disini.
b. ucapan menerima atau menolak wasiat oleh ahli waris tidak dianggap, selama orang yang berwasiat masih hidup. Karena ahli waris tidak berhak untuk mendapatkan apapun dari harta peninggalan selama orang yang berwasiat masih hidup. Sebagaimana orang yang diberi wasiat juga tidak berhak mendapat apapun selama orang yang berwasiat masih hidup.
Bagi ahli waris yang menerima wasiat ketika orang yang berwasiat masih hidup, boleh untuk menolak wasiat tersebut (setelah orang yang berwasiat meninggal), dan bagi ahli waris yang menolak wasiat ketika orang yang berwasiat masih hidup, maka dia boleh menerimanya setelah orang berwasiat meninggal.
c. seseorang yang diberi wasiat dianggap sebagai ahli waris saat kematian orang yang memberi wasiat, bukan saat berwasiat. Kalau misalnya seseorang berwasiat untuk saudaranya, dan ketika itu dia belum memiliki anak, kemudian dia memiliki anak sebelum dia meninggal, maka wasiat tersebut sah dan harus dilaksanakan, karena kemudian menjadi jelas bahwa wasiat tersebut bukan untuk ahli warisnya, karena adanya anak laki-laki dari orang yang berwasiat saat dia meninggal, dan sebagaimana yang diketahui, anak laki-laki menghalangi saudara laki-laki dari menerima warisan.
d. apabila sebagian dari ahli waris mengijinkan wasiat yang diberikan kepada salah satu ahli waris, dan sebagian ahli waris yang lain menolak wasiat tersebut setelah kematian orang yang berwasiat, maka masing-masing memiliki hukum tersendiri. Yaitu wasiat yang diambil dari bagian orang yang menolak dikembalikan, dan wasiat yang diambil dari bagian ahli waris yang mengijinkan dilaksanakan. Hal itu dilakukan sesuai dengan prosentase masing-masing dari harta peninggalan.
e. diantara hal yang serupa dengan wasiat kepada ahli waris adalah wakaf atau hibah yang diberikan kepada ahli waris, atau membebaskan hutang ahli waris kepada orang yang mewariskan, semua hal tersebut (dapat dilaksanakan tetapi) membutuhkan ijin dari ahli waris yang lain setelah kematian orang yang memberi warisan.

Membatalkan wasiat
Wasiat termasuk akad yang boleh dilaksanakan (tetapi mungkin untuk dibatalkan), dan bukan termasuk akad yang harus dilaksanakan (tidak boleh dibatalkan), seperti akad jual beli, atau akad nikah. Berdasarkan hal ini, maka dibolehkan bagi orang yang berwasiat untuk membatalkan wasiatnya, baik keseluruhan ataupun hanya sebagian dari wasiat tersebut. dan orang yang berwasiat juga boleh mengubah wasiatnya dan memasukkan syarat-syarat atau batasan-batasan terhadap wasiat itu, karena harta yang ia wasiatkan tersebut masih menjadi hak miliknya selama dia masih hidup,sehingga dia bebas untuk memperlakukan hartanya sesuai yang dia inginkan.
Bagaimana cara membatalkan wasiat?
Membatalkan wasiat dapat dilakukan dengan mengucapkan lafal yang menunjukkan hal tersebut, seperti ucapan, “Aku mencabut wasiat itu,” atau “Aku membatalkan wasiat itu,” atau “Aku menarik kembali wasiat itu,” atau “Aku menghapus wasiat itu,” atau Wasiat itu untuk ahli warisku.”
Digunakannya harta wasiat oleh orang yang berwasiat juga merupakan isyarat bahwa dia telah membatalkan dan menarik kembali wasiatnya. Seperti jika ia menjual harta yang diwasiatkan, atau menjadikannya mahar, atau menghibahkannya dan memberikannya kepada orang lain, atau menggadaikan dan menyerahkannya kepada penggadai, semua perlakuan ini adalah dimaksudkan untuk membatalkan atau menarik kembali wasiat. Hal itu dikarenakan dia sudah tidak memiliki hak kepemilikan terhadap harta wasiat tersebut, dan juga karena harta wasiat itu telah ditawarkan untuk diperjualbelikan dengan sesuatu yang lain, seperti digadaikan. Berdasarkan hal ini, maka kami berpendapat,
1- kalau seseorang berwasiat berupa gandum tertentu, kemudian dia mencampurnya dengan gandum yang lain, maka hal ini dianggap sebagai pembatalan wasiat, karena tidak mungkin lagi untuk menyerahkan harta yang diwasiatkan (gandum tertentu) setelah dicampur.
2- apabila seseorang wasiat berupa satu Sha’ gandum dari kantong, kemudian dia mencampurnya dengan gandum yang lebih bagus, maka hal ini dianggap sebagai pembatalan wasiat, karena dengan mencampurnya berarti telah terjadi penambahan, yang tidak mungkin untuk diserahkan semuanya, dan juga tidak mungkin untuk menyerahkannya tanpa tambahan tersebut (tidak mungkin memisahkannya setelah terjadi penyampuran).
3. apabila seseorang wasiat berupa satu Sha’ gandum dari kantong, kemudian dia mencampurnya dengan gandum yang semisalnya, maka hal ini tidak dianggap sebagai pembatalan wasiat, karena tidak terjadi perubahan pada gandum tersebut. demikian juga jika dia mencampurnya dengan gandum yang lebih jelek kualitasnya, karena hal ini seperti terjadinya cacat pada harta wasiat, sehingga tidak berpengaruh apa-apa terhadap harta wasiat tersebut.
4- apabila seseorang wasiat berupa gandum kemudian dia menggiling atau menaburnya, atau seseorang wasiat berupa tepung lalu ia mengadoninya, atau seseorang wasiat berupa kapas kemudian ia memintalnya, atau wasiat berupa benang yang sudah dipintal lalu ia menenunnya, atau wasiat berupa kain lalu ia menjahitnya, atau ia wasiat berupa lahan pekarangan lalu ia membangun atau menanaminya, maka semua hal tersebut dianggap sebagai penarikan kembali harta wasiat, karena dua hal:
Pertama, nama harta yang diwasiatkan telah hilang sebelum orang yang diberi wasiat tersebut memiliki hak akan harta wasiat, hal ini seperti harta wasiat yang rusak.

Kedua, hal-hal seperti diatas mengisyaratkan bahwa orang yang berwasiat telah berpaling dari wasiatnya.

Monday, December 22, 2014

MAKANAN DAN MINUMAN PART 4

Narkotika dan macam-macamnya
Makna Al Takhdir(pembiusan)
Al Takhdir atau Al Khadar berasal dari kata Al Khidr yang berarti penutup seperti rumah dan yang semisalnya.
Yang dimaksud dengan Al Takhdir disini adalah suatu keadaan tertutupnya akal dan pikiran seseorang, berupa rasa malas, berat, atau lesu.
Al Mukhaddirat (narkotika) adalah semua yang menyebabkan tertutupnya akal seseorang, baik itu obat bius, opium, ganja, dan yang semisalnya.   
Hukum narkotika:
Haram hukumnya mengkonsumsi narkotika dengan segala jenisnya, dan bagaimanapun cara mengkonsumsinya. karena zat-zat tersebut berbahaya bagi akal, dan tubuh, dan mengakibatkan penyakit-penyakit serta efek negatif yang bermacam-macam, yang sudah bukan rahasia lagi. Hukum narkotika (dari sisi keharamannya) masuk kedalam hukum minuman yang memabukkan, yang telah kami jelaskan.
Abu Daud meriwayatkan di dalam Al Asyribah, bab Al Nahyu ‘An Al Muskir: 3686,juz:6, hal: 309, dari Ummu Salamah ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. melarang (mengkonsumsi) semua yang memabukkan dan melemahkan.”   
Hukuman orang yang mengkonsumsi narkotika:
Hukuman bagi orang yang mengkonsumsi narkotika adalah Ta’zir. Jenis dan berat hukuman Ta’zir tersebut diserahkan kepada ijtihad hakim muslim yang adil, baik berupa hukuman penjara, pukulan, teguran, atau yang semisalnya. Dengan syarat jika hukumannya berupa pukulan, maka tidak boleh mencapai jumlah minimal dari hukum had.
Pengecualian-pengecualian:
Ada keadaan tertentu yang dikecualikan dari keumuman hukum khamr dan narkotika, yaitu sebagai berikut:
Keadaan pertama: dalam kondisi darurat
Seseorang yang tercekik karena kehausan, dan tidak ada sesuatu yang dapat diminum di sekitarnya kecuali khamr atau yang semisalnya, maka boleh baginya untuk meminum sedikit dari khamr tersebut agar terhidar dari kematian.
Allah ta’ala berfirman, “Tetapi barang siapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Al Maidah:145).
Keadaan kedua: untuk berobat
Jika dokter mengobati orang sakit dengan menggunakan obat-obatan yang dicampur dengan sesuatu yang memabukkan, sehingga dengan mencampurnya maka hilanglah sifat memabukkan yang ada pada zat tersebut, dan tidak ada obat lain sebagai gantinya, maka boleh mengobati orang sakit dengan obat tersebut karena darurat dan karena kebutuhan yang mendesak.
Adapun jika zat memabukkan yang dicampur dengan obat-obat lain tersebut, tidak hilang sifat-sifatnya (sifat memabukkan), maka tidak boleh berobat dengannya, meskipun dianjurkan oleh dokter.
Suatu zat yang memabukkan  dan murni (tidak dicampur dengan zat lain), tidak mungkin menjadi obat yang tidak ada gantinya untuk penyakit apapun. Bahkan zat berbahaya yang terkandung di dalamnya, lebih berakibat buruk, dibanding manfaat yang ia sangka ada di dalam zat itu.
Ibnu Majah meriwayatkan di dalam Al Thib, bab Al Nahyu An Yatadawa Bi Al Khamr: 3500, dari Al Thariq bin Suwaid Al Khadrami ra. Ia berkata, “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, di negeri kami banyak perasan anggur, apakah boleh kami meminumnya?” Rasulullah menjawab, “Tidak,” aku lalu berkata, “Bolehkah kami memakainya untuk mengobati orang sakit?,” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya perasan anggur bukanlah penyembuh (obat), tetapi penyakit.” Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits ini didalam musnadnya (juz:4, hal: 311, atau juz:5, hal: 293).
Imam Al Bukhari meriwayatkan sebagi ulasan dari Ibnu Mas’ud ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan penyembuhmu (obat), didalam sesuatu yang diharamkan atasmu.” (Al Asribah, bab Syarab Al Khalwa Wa Al ‘Asal).
Keadaan ketiga: operasi
Seorang dokter terpaksa menggunakan obat bius untuk melakukan operasi bagi pasien, karena pasien tidak akan mampu untuk menahan rasa sakit karena operasi tanpa dibius. Maka tidak mengapa apabila dalam kondisi yang demikian untuk menggunakan obat bius, baik dengan cara disuntik, diminum, atau ditelan.
Wallahu ta’ala a’lam

AQIQAH PART 3

Perbedaan antara Aqiqah dan kurban:
Kalau kita mengatakan bahwa syarat-syarat Aqiqah seperti syarat-syarat kurban, bukan berarti Aqiqah menyerupai Kurban dari segala sisi, tetapi ada perbedaan-perbedaan diantara keduanya. Yaitu sebagai berikut:
1- Daging Aqiqah disunahkan untuk dimasak seperti daging walimah yang lain, dan disedekahkan dalam kondisi matang. daging Aqiqah tidak disedekahkan dalam kondisi mentah, berbeda dengan daging kurban.
Daging Aqiqah disunahkan untuk dimasak yang manis, sebagai harapan agar si anak memilliki akhlak yang baik. Yang lebih utama adalah mensedekahkan daging Aqiqah beserta kuahnya untuk orang-orang miskin, dengan mengirimkannya kepada mereka, sebagaimana juga disunahkan untuk memakan sebagian daging Aqiqah dan menghadiahkan sebagian yang lain.
2- Disunahkan untuk tidak memecah tulang hewan Aqiqah sebisa mungkin, akan tetapi setiap tulang dipotong pada persendiannya, sebagai harapan agar seluruh anggota tubuh si anak selamat (tidak cacat).   
3- Disunahkan untuk memberikan kaki hewan Aqiqah yang belum dimasak kepada bidan yang membantu persalinan, karena  Fatimah ra. melakukan hal tersebut atas perintah Nabi saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Al Hakim.
Memberi nama bagi sang bayi pada hari ketujuh setelah kelahiran, mencukur rambutnya, dan bersedekah berupa emas atau perak sesuai dengan berat timbangan rambut yang dicukur tersebut:
Disunahkan untuk memberi nama bagi sang bayi pada hari ketujuh setelah kelahirannya, sebagaimana juga disunahkan untuk memilih nama yang bagus untuknya.
Dalil hal tersebut adalah sabda Nabi saw., “Sesungguhnya kamu dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kamu dan nama –nama bapakmu, maka pilihlah nama yang bagus untuk namamu.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitab Al Adab, bab Fi Taghyiir Al Asma’:4948.
Imam Muslim meriwayatkan di dalam kitab Al Adab, bab Al Nahy ‘An Al Takanny Biabi Al Qasim Wa Bayanu Ma Yustahabbu Min Al Asma’:2132, dari Ibnu Umar ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya nama yang paling disukai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.”
Juga disunahkan untuk mencukur rambut bayi, baik laki-laki ataupun perempuan, pada hari ketujuh setelah menyembelih Aqiqah, dan bersedakah berupa emas atau perak seberat timbangan rambut yang dicukur.
Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al Tirmidzi di dalam Al Adlahi, bab Ma Ja’a Fi Al Aqiqah Bisyaah: 1519, dari Ali ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. menyembelih Aqiqah untuk Al Hasan berupa satu ekor kambing, lalu beliau bersabda, “Wahai Fatimah! Cukurlah rambutnya, dan bersedekahlah berupa perak seberat timbangan rambutnya.” Ali berkata, “Lalu Aisyah menimbangnya, dan timbangan rambutnya adalah seberat satu dirham atau beberapa dirham.”
Mengucapkan adzan di telinga sang bayi
Disunahkan untuk mengucapkan adzan seperti adzannya shalat pada telinga sebelah kanan sang bayi ketika dilahirkan, dan dibacakan iqamat pada telinga kirinya, agar kalimat pertama yang ia dengar saat kehadirannya didunia ini adalah kalimat tauhid.
Diriwayatkan oleh Al Tirmidzi didalam Al Adlahi, bab Al Adzan Fi Udzuni Al Maulud:1514, dari Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari Bapaknya, ia berkata, “Saya melihat Rasulullah saw. mengucapkan adzan di telinga Al Hasan bin Ali ketika ia dilahirkan oleh Aisyah seperti adzannya shalat.”
Melakukan Tahnik pada si bayi:
Disunahkan untuk melakukan Tahnik pada si bayi, baik laki-laki atau perempuan.
Al Tahnik adalah menyuapi bayi dengan kurma yang sudah dikunyah atau dilembutkan hingga masuk kedalam kerongkongan si bayi, dan jika tidak ada kurma, maka boleh mentahnik dengan seuatu yang manis.
Dalil disunahkannya mentahnik anak adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim di dalam Al Adab, bab Istihbab Tahniik Al Maulud ‘Inda Wiladatih: 2144, dari Anas bin Malik ra. Ia berkata, “Saya pergi bersama Abdullah bin Abi Thalhah Al Anshari menemui Rasulullah saw. ketika dia baru dilahirkan, saat itu Nabi saw. sedang bersiap memberi makan untanya, lalu Rasulullah bertanya, “Apakah kamu memiliki kurma?” aku menjawab, “Ya” lalu beliau mengambil beberapa buah kurma, lalu memasukkannya kedalam mulut beliau dan mengunyahnya, kemudian beliau membuka mulut si bayi dan menyuapinya. Lalu mulailah si bayi menggerak-gerakkan lidahnya (merasakan manisnya buah kurma), lalu Rasulullah saw. bersabda, “Kesukaan orang-orang Anshar adalah kurma.” Dan beliau memberinya nama Abdullah.”
Imam Muslim juga meriwayatkan pada bab yang sama :2145, dari Abu Musa ra. Ia berkata, “Anakku lahir, lalu aku membawanya kepada Rasulullah saw., lalu beliau memberinya nama Ibrahim, dan mentahniknya dengan buah kurma.”
Pada hadits yang lain pada bab yang sama :2147, imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah ra. Bahwa ada seorang bayi yang dibawa kepada Rasulullah saw. lalu beliau memberkatinya dan mentahniknya.”
Berdasarkan hadits-hadits yang kami sebutkan, maka para ulama berkata, “Disunahkan untuk membawa bayi yang baru dilahirkan kepada orang shalih dan taqwa, untuk mentahniknya dan mendoakannya dengan kebaikan dan keberkahan.
Mengkhitan anak:
Al Khitan adalah bentuk masdar dari khatana yang berarti qatha’a (memotong).
Khitan bagi anak laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi ujung kemaluannya.
Hukum berkhitan:
Menurut madzhab Al Syafi’i berkhitan wajib bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Khitan bagi anak laki-laki adalah dengan memotong kulit yang menutupi ujung kemaluannya. Sementara khitan bagi anak perempuan adalah dengan memotong sedikit kulit yang terdapat pada kemaluan wanita bagian atas.
Menurut pendapat yang lain, khitan wajib bagi laki-laki, tidak wajib bagi perempuan.

Dalil disyariatkannya khitan:

Dalil wajibnya khitan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Dari Nabi saw. beliau bersabda, “Fitrah ada lima, atau lima hal yang termasuk fitrah: khitan, istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencabut bulu ketiak, memotong kuku, mencukur kumis.” Hadits ini diriwayatkan oleh imam Al Bukhari di dalam kitab Al Libas, bab Taqlimu Al Adfar: 5552, dan imam Muslim di dalam kitab Al Thaharah, bab Khishal Al Fitrah: 257.
Waktu berkhitan:
Sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa hukum khitan adalah wajib, akan tetapi khitan tidak harus dilakukan saat masih kecil. tetapi boleh dilakukan saat masih kecil atau sudah besar.
Tetapi disunahkan bagi orang tua si anak untuk mengkhitannya pada hari ketujuh setelah kelahirannya, kalau menurut dokter anak tersebut kuat dan tidak sakit.
Orang-orang Arab terdahulu melakukan khitan karena mengikuti sunah bapak mereka yaitu nabi Ibrahim as.
Hikmah disyariatkannya berkhitan:
Hikmah disyariatkannya berkhitan adalah untuk lebih suci dan bersih, karena dengan menghilangkan kulit pada ujung kemaluan maka akan lebih terjaga kebersihannya.
Kebersihan dlahir seseorang mencerminkan kebersihan batinnya. Allah berfirman, “Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” (Al Baqarah :222).Tidak diragukan lagi bahwa tobat adalah syiar dari kesucian batin dari dosa-dosa dan aib.
Mengucapkan selamat bagi orang yang dikaruniai anak:
Disunahkan untuk mengucapkan selamat kepada orang yang dikaruniai anak, dengan mengucapkan, “Mudah-mudahan Allah memberkatimu dengan anak yang diberikan kepadamu, dan engkau bersyukur kepada Dzat yang memberi, dan mudah-mudahan dia tumbuh hingga dewasa, dan engkau mendapat kebaikannya.”

Juga disunahkan bagi orang tua si anak untuk menjawab dengan ucapan, “Mudah-mudahan Allah memberkatimu diwaktu senang dan susah, dan melipatkan pahalamu.” Wallahu a’lam.

wasiat part 5

Batasan-batasan wasiat
a. Orang yang berwasiat tidak boleh melebihi sepertiga dari hartanya, berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Al Waqas ra. Ia berkata, ““Rasulullah saw. mengunjungiku paada haji wada’, saat itu aku sedang sakit parah. Lalu aku berberkata, “Sakitku sudah parah, dan aku memiliki harta, sementara tidak ada yang mewarisiku kecuali seorang anak perempuan, bolehkah aku bersedekah dengan dua per tiga dari hartaku?” Rasulullah menjawab, “Tidak,” lalu aku bertanya, “Setengah?” beliau menjawab, “Tidak,” lalu Rasulullah melanjutkan sabdanya, “(bersedekahlah) sepertiga, dan sepertiga itu cukup banyak, sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik dari pada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada manusia, dan tidaklah kamu memberikan nafkah karena mencari ridla Allah kecuali kamu akan diberi pahala karena hal itu, bahkan sesuap makanan yang kamu berikan dimulut istrimu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh imam Muslim, di dalam kitab Al Washaya, bab Al Washiyah Bi Al Tsuluts: 1628, dan imam Al Bukhari juga meriwayatkan hadits yang serupa dengannya, di dalam Kitab Al Washaya, bab An Yatruka Waratsatahu Aghniya’ Khairun Min An Yatakaffafu Al Nas: 2591.

Hukum orang yang menyelisihi perintah Rasulullah saw. sehingga dia berwasiat lebih dari sepertiga
Al Syafi’iyah berpendapat bahwa wasiat yang melebihi sepertiga hukumnya makruh secara syar’i, akan tetapi wasiat tersebut tetap sah. Dan harta lebihan dari sepertiga tersebut  tidak diberikan, kecuali jika diijinkan oleh ahli waris (dari orang yang berwasiat). Dan jika mereka menolak kelebihan ini, maka tidak boleh dibagi. ini adalah pendapat yang sudah disepakati, karena harta lebihan dari sepertiga tersebut adalah hak mereka (ahli waris).
Adapun jika orang yang berwasiat tersebut tidak memiliki ahli waris, lalu dia berwasiat lebih dari sepertiga, maka lebihan harta dari sepertiga tersebut tidak dianggap, karena itu adalah hak kaum muslimin, sehingga harta lebihan dari sepertiga tersebut tidak boleh diberikan.
Oleh karena itu, ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa berwasiat kurang dari sepertiga adalah sunah, berdasarkan hadits Nabi saw. yang terdahulu, “(Bersedekahlah) Sepertiga, dan sepertiga itu banyak,” juga karena sebab dilarangnya wasiat lebih dari sepertiga, “Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada manusia.”
b. harta wasiat dianggap sah setelah kematian orang yang berwasiat, bukan ketika wasiat tersebut di ucapkan. Karena wasiat adalah memberikan hak kepemilikan setelah kematian (orang yang berwasiat).
Kalau seseorang wasiat berupa seribu pound, karena waktu itu dia memiliki tiga ribu pound, akan tetapi ketika dia meniggal hartanya tinggal tersisa dua ribu pound, maka harta wasiat yang diberikan adalah dua pertiga dari dua ribu pound, sementara sisanya diberikan sesuai dengan kesepakatan ahli waris, jika mereka membolehkan maka diberikan sisanya, tetapi jika mereka menolak, maka sisanya tersebut batal.
c. sepertiga dari harta yang boleh diwasiatkan adalah sepertiga dari semua harta setelah digunakan untuk membayar hutang, atau membayar tanggungan dari mayit (orang yang berwasiat).
Kalau seseorang berwasiat dengan sepertiga dari hartanya, maka yang diberikan adalah sepertiga dari hartanya yang tersisa setelah digunakan untuk membayar hutangnya.
Allah SWT. berfirman ketika menjelaskan tentang hukum warisan, “(Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya.” Dan membayar hutang lebih didahulukan daripada wasiat munurut ijmak. sehingga kalau hartanya habis digunakan untuk membayar hutang, maka tidak ada wasiat yang diberikan dari hartanya.
 Apabila seseorang yang sakit menjelang kematiannya, berwasiat dan memberikan sumbangan yang melebihi sepertiga dari hartanya, dan ahli waris orang tersebut tidak mengijinkan lebihan tersebut, maka dilakukan hal-hal berikut secara berurutan:
1- apabila sebagian dari harta yang disumbangkan tersebut Munjaz (harus segera dilaksanakan), dan sebagian yang lain Mu’allaq (digantung dengan sesuatu yang lain), maka lebih di dahulukan Al Munjaz daripada Al Mu’allaq, karena Al Munjaz harus segera dilaksanakan dan tidak boleh dibatalkan, berbeda dengan Al Mu’allaq.
Kalau seseorang mewakafkan rumah seharga seribu pound, dan ia juga wasiat untuk memberikan seribu pound setelah kematiannya, sementara harta peninggalannya ketika kematiannya berjumlah tiga ribu pound, maka lebih di dahulukan untuk membayar wakaf, dan wasiatnya dianggap batal. Kecuali jika ahli waris membolehkannya, karena harta yang ia sumbangkan menjelang kematiannya tersebut telah sepertiga dari harta peninggalannya.
2- apabila seluruh harta yang ia sumbangkan tersebut digantung (akan diberikan) setelah kematiannya, dan melebihi sepertiga dari jumlah harta, dan ahli waris tidak mengijinkan lebihan dari sepertiga tersebut, maka diberikan sepertiga dari seluruh harta peninggalan, dan dibagi kepada orang yang akan disumbang sesuai dengan ukurang masing-masing.
Kalau seseorang berwasiat, untuk Zaid seratus, untuk Khalid lima puluh, dan untuk Amr lima puluh, sementara jumlah sepertiga dari seluruh hartanya berjumlah seratus, maka Zaid akan mendapat lima puluh, Khalid mendapat dua puluh lima, demikian juga Amr akan mendapat dua puluh lima.
3- apabila menjelang kematiannya, seseorang berkewajiban untuk membayar sumbangan-sumbangan yang harus segera dia bayarkan, seperti wakaf, dan sedekah yang jumlah keseluruhannya melebihi sepertiga dari jumlah seluruh hartanya, maka didahulukan terlebih dahulu untuk membayar yang pertama, kemudian yang kedua, sehingga mencapai sepertiga dari jumlah keseluruhan harta yang ditinggalkan. Didahulukannya yang pertama dari yang kedua, adalah sebab kekuatannya, karena tidak membutuhkan ijin dari ahli waris.

4- apabila menjelang kematiannya, seseorang berkewajiban untuk membayar sumbangan yang harus dilaksanakan dengan segera dan dalam satu kali waktu, maka sepertiga dari harta warisan dibagi menurut prosentase bagian masing-masing. Karena dalam kondisi ini kita tidak dapat mendahulukan sebagian dari sebagian yang lain.

Sunday, December 21, 2014

MAKANAN DAN MINUMAN PART 3

Hukum-hukum yang berkaitan dengan orang yang meminum minuman yang memabukkan:
Setelah kita mengetahui makna yang dimaksud dengan minuman yang memabukkan, dan hukum-hukumnya dengan segala perbedaannya, dan juga dalil beserta hikmahnya, maka sekarang kita akan membahas tentang hukum–hukum yang berkaitan dengan orang yang meminum minuman yang memabukkan.
Hukum orang yang meminum minuman yang memabukkan ada dua:
1- Hukum Qadlai, yaitu hukum yang akibatnya langsung tampak ketika di dunia.
2- Hukum Diyani, yaitu hukum yang tidak tampak akibatnya kecuali nanti pada hari kiamat.
Pertama: hukum qadlai bagi orang yang meminum minuman yang memabukkan adalah pelaku tersebut berhak untuk dikenakan had.
Kedua: hukum diyani bagi orang yang meminum minuman yang memabukkan adalah ia berdosa karena perbuatannya tersebut.
Kita tidak akan memperpanjang pembahasan tentang hukum yang kedua, yaitu tentang dosa, karena masalah dosa dikembalikan antara dia dan Tuhannya, tidak berhubungan dengan keputusan hukum ketika di dunia, akan tetapi semuanya itu dikembalikan kepada qadla dan hukum Allah SWT. meskipun begitu, semua sepakat bahwa meminum minuman yang memabukkan dengan sengaja termasuk dosa besar, dan pelakunya disiksa dengan siksaan yang berat pada hari kiamat, selama dia tidak mendapatkan ampunan dari Allah SWT.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah menjanjikan kepada siapa saja yang minum minuman yang memabukkan, maka akan memberinya minuman Thinah Al Khabal.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu Thinah Al Khabal?” beliau menjawab, “Keringat penghuni neraka, atau perasaan (keringat) penghuni neraka.” Diriwayatkan oleh imam Muslim dari Jabir ra. Di dalam kitab Al Asyribah, bab Bayanu Anna Kulla Muskirin Khamrun Wa Anna Kulla Khamrin Haram: 2002.
Had (hukuman) bagi orang yang minum minuman yang memabukkan:
Had bagi orang yang minum khamr atau yang lainnya adalah empat puluh cambukan, dengan syarat-syarat yang akan kami sebutkan nanti. Dan dibolehkan bagi seorang pemimpin untuk menambah jumlah hukumannya hingga mencapai delapan puluh cambukan, jika dia melihat hal itu lebih maslahat. dan empat puluh cambukan tambahan tersebut dianggap sebagai ta’zir.
Dalil hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim di dalam Al Hudud, bab Had Al Khamr: 1706, dari Anas ra. Bahwa Nabi saw. mendera orang yang minum khamr dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak empat puluh kali.”
Imam Muslim juga meriwayatkan (pada bab yang sama) dari Anas ra. Bahwa Nabi saw. mendera orang yang minum khamr dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak empat puluh kali,dan (pada masa) Abu Bakar ra. juga menderanya empat puluh kali, lalu pada masa Umar ra. Orang-orang tinggal di dekat perkampungan dan desa-desa, Umar lalu bertanya, “Bagaimana pendapat kalian tentang hukuman dera bagi orang yang peminum khamr?” Abdurahman bin Auf menjawab, “Saya berpendapat bahwa seringan-ringannya hukuman adalah delapan puluh kali dera.” Anas berkata, “Umar lalu melaksanakan hukuman dera sebanyak delapan puluh kali.”
Ini adalah dalil bahwa menambah empat puluh kali dera adalah sebagai ta’zir, bukan had. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Muslim di dalam Al Asyribah, bab Had Al Khamr: 1707, bahwa Utsman ra. Memerintahkan untuk mendera Al Walid bin Uqbah bin Abi Mui’th, lalu Abdullah bin Ja’far ra. Menderanya, sementara Ali ra. Menghitungnya, sehingga ketika telah sampai pada hitungan ke empat puluh, Utsman berkata, “berhentilah!” lalu beliau berkata, “Nabi saw. mendera (peminum khamr) empat puluh kali, Abu Bakar juga menderanya emat puluh kali, sedang Umar menderanya delapan puluh kali, semuanya adalah sunah, dan inilah (mendera empat puluh kali) yang lebih aku sukai.” Karena itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan itu adalah perbuatan yang lebih berhati-hati dalam hal hukuman, siapa yang menambah dari yang seharusnya, maka ia telah dzalim.
Para fuqaha berkata, “Adapun empat puluh kali dera yang dilakukan oleh Nabi saw. adalah had (hukuman) dasar, dan berita yang menceritakan bahwa Umar mendera sebanyak delapan puluh kali, itu adalah ijtihad beliau sebagaimana ucapan Ali ra. Kepada Umar ra., “Kami berpendapat agar engkau mendera (peminum khamr) delapan puluh kali, karena ketika ia minum khamar, maka ia akan mabuk, ketika mabuk maka ia akan mengoceh, ketika mengoceh maka ia akan menuduh (orang lain berzina).” Diriwayatkan oleh Malik di dalam Al Muwattha’, kitab Al Asyribah, bab Al Had Fi Al Khamr.
Hukuman dera bagi orang yang menuduh orang lain berzina tanpa bukti adalah delapan puluh kali dera, hukuman seperti ini adalah sebagai Ta’zir.
Oleh karena itu, menurut madzhab Al Syafi’i, yang lebih utama adalah mendera peminum khamr sebanyak empat puluh kali, karena itulah yang dicontohkan oleh Nabi saw.
Hukuman dera bagi peminum khamr tidak dilaksanakan ketika dia masih dalam kondisi mabuk, karena orang yang mabuk tidak akan jera, akan tetapi ditunggu sampai dia sadar dari mabuknya, baru kemudian dihukum dera, agar dia jera dan tidak mengulanginya lagi.
Syarat-syarat ditetapkannya hukuman dera bagi peminum khamr:
Seseorang yang dituduh minum khamr tidak didera kecuali terpenuhi salah satu dari dua hal berikut:
Pertama: bukti yang cukup
Yaitu, kesaksian dua orang yang adil. hukuman dera tidak dapat dilaksanakan karena kesaksian satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, hukuman dera juga tidak dapat dilaksanakan hanya karena berdasar pengetahuan hakim (misalnya hakim melihat dengan matanya sendiri dia meminum khamr, hal itu tidak dapat dijadikan dasar bagi hakim tersebut untuk menjatuhkan hukuman dera. Pentj-).
Hukuman dera dapat dilaksanakan berdasarkan kesaksian dua orang saksi laki-laki yang adil.
Dalil hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim, yaitu kisah Utsman ra. Yang mendera Al Walid bin Uqbah, setelah ada kesaksian dua orang laki-laki.( Al Asyribah, bab Had Al Khamr: 1707).
Kedua: berdasarkan pengakuan
Hal itu seperti jika ia mengaku bahwa ia telah minum minuman yang memabukkan atau khamr. Pengakuan dari pelaku adalah merupakan bukti.
Pengakuan secara mutlak dianggap cukup, seperti ketika seseorang berkata, “Saya minum minuman yang memabukkan.” Demikian juga kesaksian secara mutlak dianggap cukup, seperti ketika dua orang saksi berkata, “Sesungguhnya dia (tertuduh) minum minuman yang memabukkan.”
Tidak disyaratkan bagi orang yang mengaku untuk mengatakan, “Saya meminumnya dengan sadar dan tanpa paksaan,” demikian juga tidak disyaratkan bagi dua orang saksi tersebut untuk mengatakan, “Dia meminumnya dengan sadar dan tanpa paksaan.”
 Karena pada asalnya ketika dia minum minuman keras, dia tau bahwa minuman tersebut memabukkan, dan dia tidak dipaksa. Apabila diketahui bahwa dia dipaksa untuk meminumnya dengan ancaman atau dengan dituangkan langsung ke kerongkongannya, atau dia tidak tahu bahwa yang diminum tersebut adalah khamr, maka dia tidak boleh dihukum dera.
Dalil hal tersebut adalah sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah menggugurkan dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa, dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah di dalam Al Thalak, bab Thalak Al Mukrah Wa Al Nasi:2045, dari Ibnu Abbas ra.
Muntah dan bau minuman keras dari mulut seseorang tidak dianggap sebagai bukti atau pengakuan, karena ada kemungkinan dia memiliki alasan seperti salah atau karena dipaksa, sehingga tidak bisa dilakukan hukuman dera.
Rasulullah saw. bersabda, “Hindarilah had dari kaum muslimin semampu kalian, jika ada jalan keluar baginya maka bebaskanlah dia, sesungguhnya ketika seorang imam salah didalam memaafkan, maka hal itu lebih baik dari pada salah dalam menghukum.” Diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam Al Hudud, bab Ma Ja’a Fi Dar’I Al Hudud: 1424.
Orang yang berhak melaksanakan hukuman had
Hukuman had bagi peminum khamr atau had-dad yang lain hanya boleh dilaksanakan oleh hakim.
Kalau seandainya hakim tidak mengetahui hal tersebut, atau menurut hakim tidak cukup bukti yang kuat untuk menjatuhkan hudud, maka hukuman had terebut tidak boleh dilakukan oleh orang lain, hal ini untuk menghindari fitnah.
Peminum khamr atau pelaku kejahatan yang berhak mendapatkan hukuman hudud tidak dibebani untuk mengakui perbuatannya didepan pengadilan. Tetapi cukup baginya untuk bertobat dengan tobat nasuha antara dirinya dan Allah SWT.
Imam Al Bukhari meriwayatkan di dalam Al Muharibin, bab Idza Aqarra Bi Al Had, Wa Lam Yubayin:6437, dan Imam Muslim di dalam Al Taubah, bab Qauluhu Inna Al Hasanat Yudzhibna Al Sayyiat: 2764, dari Anas ra. Ia berkata, “Aku sedang berada disisi Nabi saw. ketika datang seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku telah melanggar hukum had, maka tegakkanlah had kepadaku,” Anas berkata, “Nabi saw. tidak bertanya tentangnya,” hingga datang waktu salat, maka orang tersebut salat bersama Nabi saw.  ketika beliau selesai salat, laki-laki tersebut menemuinya sambil berkata, “Wahai Rasulullah! Aku telah melanggar had, maka tegakkanlah atasku sesuai kitabullah,” Anas berkata, “Rasulullah saw. bertanya, “Bukankah engkau ikut salat bersama kami?” ia menjawab, “Ya,” lalu Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosamu,” atau “Allah telah mengampuni had (yang menimpa)mu.”
Di dalam hadits serupa yang diriwayatkan oleh imam Muslim: 2763, Umar ra. Berkata kepada orang tersebut, “Sungguh Allah telah menutupi (aib)mu, seandainya engkau juga menutupi (aib)mu,” Umar mengatakan hal tersebut dan didengar oleh Nabi saw. dan beliau tidak mengingkarinya.

Hadits ini menunjukkan bahwa yang diinginkan oleh syariat adalah agar seseorang menutupi aibnya sendiri, dan bertobat kepada Allah SWT. 

AQIQAH PART 2

Hewan yang disembelih untuk Aqiqah
Aqiqah dapat dilakukan dengan menyembelih satu kambing untuk bayi laki-laki atau perempuan. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Tirmidzi di dalam Al Adlahi, bab Maa Ja’a Fi Al Aqiqah Bisyaah: 1519, dari Ali ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. menyembelih Aqiqah untuk Al Hasan berupa satu ekor kambing.”
Akan tetapi yang lebih utama adalah menyembelih dua kambing bagi bayi laki-laki, dan satu kambing bagi bayi perempuan. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al Tirmidzi di dalam Al Adlahi, bab Ma Ja’a Fi Al Aqiqah:1513, dari Aisyah ra. Bahwa Rasulullah saw. memerintahkan mereka (untuk menyembelih), “Bagi anak laki-laki dua ekor kambing yang sama, dan satu ekor kambing untuk anak perempuan.”
Jumlah binatang Aqiqah sesuai dengan jumlah anak
Agar sesuai dengan sunah, maka tidak cukup menyembelih satu ekor kambing untuk mengaqiqahi lebih dari satu anak. Akan tetapi jumlah hewan Aqiqah harus sesuai dengan jumlah anak, untuk satu anak adalah satu ekor kambing, dua anak dua ekor kambing, untuk tiga anak adalah tiga ekor kambing, demikian seterusnya.
Kalau dia memiliki anak kembar dua, maka wajib menyembelih dua hewan Aqiqah, tidak cukup hanya menyembelih satu Aqiqah untuk dua orang.
Abu Dawud meriwayatkan didalam kitab Al Adlahi, bab Fi Al Aqiqah :2841, dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah saw. menyembelih Aqiqah untuk Al Hasan dan Al Husain masing-masing satu kambing.”
Al Hakim juga meriwayatkan di dalam Al Mustadrak, kitab Al Dzabaih, bab ‘Aqqa Al Nabiyyu ‘An Al Hasan wa Al Husain, jilid:4, hal:237, bahwa Nabi saw. menyembelih Aqiqah untuk Hasan dan Husain masing-masing  dua kambing yang semisal dan sama.
Syarat-syarat hewan Aqiqah
Syarat-syarat hewan Aqiqah adalah seperti syarat-syarat berkurban, baik dari jenisnya, umurnya, dan bersih dari cacat yang mengurangi jumlah dagingnya, hal itu karena Aqiqah adalah sembelihan yang disunahkan, maka menyerupai hewan kurban.
Al Tirmidzi meriwayatkan di dalam kitab Al Adlahi , bab Ma La Yajuzu Fi Al Adlahi :1497, dan disahihkannya, juga Abu Dawud di dalam kitab Al Dlahaya, bab Ma Yukrah Min Al Dlahaya: 2802, dari Al Barra’ bin ‘Azib ra. Dari Nabi saw. beliau bersabda, “Empat hal yang tidak boleh ada dalam binatang kurban, buta sebelah yang jelas kebutaannya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangannya, dan binatang yang pecah tidak memiliki otak.”
semua cacat yang mengakibatkan binatang tersebut menjadi kurus dan kurang dagingnya, maka dikiaskan kepada empat cacat tersebut diatas.

wasiat part 4

Syarat Al Musha Bihi (harta yang diwasiatkan)
Harta yang diwasiatkan hukumnya sah, apabila memenuhi syarat-syarat berikut,
a. harta yang diwasiatkan adalah merupakan harta yang boleh dimanfaatkan, sehingga wasiat berupa harta yang haram untuk dimanfaatkan, seperti alat musik atau alat perjudian, adalah tidak sah.
b. harta yang diwasiatkan tersebut mungkin untuk dipindahkan,  sehingga wasiat berupa hak Qisas adalah tidak sah. demikian juga wasiat berupa hak Syuf’ah (hak pemilikan harta perserikatan yang telah dijual oleh salah satu pihak kepada pihak yang lain yang tidak termasuk di dalam persekutuan itu, serta tidak pula seizin anggota persekutuan dengan cara mengganti uang penjual ke pihak pembeli. Pentj-), karena keduanya tidak bisa dipindahkan kepada orang lain, dan orang yang menerima wasiat tersebut tidak mungkin untuk memindahkannya.
Berdasarkan dua syarat tersebut, maka wasiat di dalam hal-hal berikut adalah sah:
a. boleh berwasiat berupa harta yang belum diketahui, seperti wasiat berupa janin yang masih di dalam perut induknya, susu yang masih belum diperah, atau bulu yang ada di tubuh kambing. Karena ahli waris dapat menggantikan orang yang memberikan warisan di dalam hal tersebut, demikian juga orang yang diberi wasiat.
b. wasiat dengan sesuatu yang belum ada ketika wasiat tersebut diucapkan adalah sah, seperti orang yang wasiat berupa buah yang belum ada, atau janin yang belum ada. sebab wasiat ada kemungkinan mengandung bujukan karena rasa sayang kepada orang lain dan untuk memberikan kelapangan kepada mereka.
Berwasiat dengan sesuatu yang belum ada adalah sah, sebagaimana wasiat dengan sesuatu yang belum diketahui juga sah. Juga karena kepemilikan sesuatu yang belum ada, adalah sah dengan cara ‘Aqdu Al Salam (akad jual beli dimana barang yang diperjualbelikan masih belum ada dan akan diserahkan secara tangguh sementara pembayarannya dilakukan secara tunai di muka. Namun spesifikasi dan harga barang pesanan harus telah disepakati diawal akad. Pentj-), Al Musaaqah(pemilik kebun yang menyerahkan kebunnya kepada orang lain untuk dipeliharanya, dan hasil yang didapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut perjanjian antara keduanya sewaktu akad),dan ijarah (akad atas manfaat dengan imbalan atau tukaran dengan syarat-syarat tertentu), maka demikian juga wasiat.
c. wasiat dengan harta yang yang belum jelas adalah sah (Seperti seseorang yang berkata, “Aku berwasiat dengan salah satu dari dua pakaianku,”) karena di dalam wasiat, ada kemungkinan barang yang diwasiatkan tersebut belum diketahui. sehingga ketidakjelasan barang yang diwasiatkan tidak berpengaruh terhadap sahnya wasiat tersebut, dan ahli waris (dari orang yang berwasiat tersebut) yang kemudian menentukan barang yang di wasiatkan.
d. wasiat berupa hak untuk memanfaatkan barang dalam jangka waktu tertentu, adalah sah. Karena hak memanfaatkan barang adalah harta yang dapat diganti dengan yang lain, seperti dzat barang itu sendiri. Demikian juga wasiat berupa barang tanpa hak untuk memanfaatkan barang tersebut (secara langsung) adalah sah, karena orang yang diberi wasiat dapat memanfaatkannya (meskipun secara tidak langsung), seperti menyewakan, meminjamkan, atau yang semisalnya.
Oleh karena itu, wasiat berupa barang tertentu kepada seseorang, dan wasiat berupa hak memanfaatkan barang tersebut kepada orang lain adalah sah. Seperti seseorang yang mewasiatkan rumahnya untuk Zaid, tetapi hak memanfaatkan rumah tersebut diwasiatkan untuk Khalid.
e. boleh wasiat berupa sesuatu yang najis tetapi boleh dimanfaatkan. seperti anjing pemburu, pupuk, dan khamr untuk bahan cuka, karena hal-hal tersebut dikhususkan, dan boleh diwariskan.

Syarat-syarat Shighah (bentuk ucapan dari wasiat)
a. wasiat tersebut diucapkan dengan lafal sarih (jelas), atau kinayah (kiasan).
Lafal Sarih (jelas) adalah seperti ucapan, “Aku berwasiat seribu untuknya,” atau ucapan, “Berilah seribu untuknya setelah kematianku,” atau “Berikanlah hal itu setelah kematianku,” atau “Hal itu menjadi miliknya setelah kematianku.”wasiat dengan lafal sarih menjadi sah hanya dengan mengucapkannya. Sehingga bantahan seseorang (yang berwasiat dengan lafal sarih)bahwa lafal yang dia ucapkan tersebut tidak dimaksudkan untuk berwasiat, adalah tidak sah (tidak diterima).
Termasuk di dalam hal ini (lafal sarih), adalah bahasa isyarat yang dapat dimengerti dari seorang yang bisu.
Wasiat dengan lafal Kinayah (kiasan)harus disertai dengan niat (dari orang yang berwasiat), karena lafal kinayah ada kemungkinan bahwa lafal tersebut dimaksudkan untuk selain wasiat, sehingga maksud dari lafal tersebut dapat diketahui dari niat orang yang mengucapkannya. Diantara contoh kinayah adalah ucapan, “Bukuku ini untuk Zaid.”
Tulisan (wasiat yang ditulis) orang yang dapat berbicara juga termasuk kinayah, sehingga wasiat tersebut sah jika disertai dengan niat (dari orang menulis wasiat tersebut), sebagaimana juga dalam jual beli.
b. Qabul (ucapan menerima) dari orang yang diberi wasiat, jika wasiat tersebut diberikan kepada pihak yang sudah tertentu. akan tetapi jika wasiat tersebut diberikan untuk suatu kelompok secara umum, seperti orang-orang fakir atau para ulama, maka tidak disyaratkan adanya Qabul (ucapan menerima), karena hal itu tidak mungkin. Dan wasiat tersebut wajib dilaksanakan setelah kematian orang yang berwasiat.
c. Qabul (ucapan menerima) dari orang yang diberi wasiat diucapkan setelah kematian orang yang berwasiat. ucapan menerima atau menolak dari orang yang diberi wasiat tidak dianggap, jika hal itu diucapkan saat orang yang berwasiat masih hidup, karena dia (orang yang beri wasiat) tidak memiliki hak sebelum kematian orang yang berwasiat, hal menyerupai hak Syuf’ah sebelum terjadi jual beli.
Berdasarkan hal ini, maka dibolehkan bagi orang yang diberi wasiat untuk menolak wasiat tersebut setelah kematian orang yang berwasiat (meskipun ia pernah menerima wasiat itu disaat orang yang berwasiat masih hidup). Demikian juga sebaliknya, dia boleh menerima wasiat setelah kematian orang yang berwasiat, meskipun dia pernah menolaknya disaat orang yang berwasiat masih hidup. Karena sikap menerima atau menolak yang sah adalah jika dilakukan setelah kematian orang yang berwasiat, sebagaimana yang telah kami jelaskan.
Berdasarkan hal ini pula, apabila orang yang diberi wasiat meninggal sebelum kematian orang yang memberi wasiat, maka wasiat tersebut menjadi batal, karena wasiat tidak dilaksanakan sebelum kematian orang yang memberi wasiat.

Dan jika orang yang diberi wasiat tersebut meninggal setelah meninggalnya orang yang berwasiat, akan tetapi sebelum dia menerima wasiat tersebut, maka wasiat tersebut sah, dan ahli waris orang yang diberi wasiat tersebut menggantikannya untuk menerima atau menolak wasiat itu, karena ahli waris adalah merupakan cabang dari orang yang diberi wasiat, sehingga mereka berhak untuk menggantikannya di dalam permasalahan tersebut.

Saturday, December 20, 2014

MAKANAN DAN MINUMAN PART 2

Minuman yang diharamkan dan memabukkan
Pada asalnya semua minuman adalah halal:
Hal itu berdasarkan keumuman firman Allah ta’ala, “Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu semuanya,” (Al Baqarah: 29).
Maka semua yang turun dari langit, atau keluar dari dalam bumi, dan semua yang diperas dari buah-buahan dan bunga atau yang lainnya adalah halal.
Allah berfirman, “Dan Kami turunkan dari langit air yang bersih. Agar (dengan air itu) kami menghidupkan negeri yang mati (tandus), dan Kami memberi minum kepada sebagian yang telah Kami ciptakan, (berupa) hewan-hewan ternak dan manusia yang banyak,” (Al Furqan: 48-49).
Akan tetapi keumuman dalil-dalil tersebut dikecualikan dengan dalil-dalil yang mengharamkan minuman tertentu.
Minuman yang diharamkan:
1- Semua yang berbahaya. seperti minuman yang mengandung racun dan yang semisalnya, karena hal tersebut dapat merusak tubuh. Allah azza wa jalla berfirman, “Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) kedalam kebinasaan dengan tangan sendiri,” (Al Baqarah: 195).
Allah juga berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu,” (Al Nisa: 29).
2- Semua yang najis. seperti darah yang mengalir, air kencing, atau susu hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan, atau sesuatu yang menjadi najis seperti cairan yang tercampur dengan sesuatu yang najis, semua itu adalah karena hal-hal tersebut berbahaya bagi tubuh, dan termasuk hal yang menjijikkan.
ketika menjelaskan sesuatu yang diharamkan, Allah menyebutkan di dalam firman-Nya,  “Darah yang mengalir.”
Imam Al Bukhari meriwayatkan di dalam kitab Al Wudlu, bab Tarku Al Nabi wa Al Nasi Al A’rabiy Hatta Faragha Min Baulihi Fi Al Masjid: 216, dan imam Muslim di dalam kitab Al Thaharah, bab Wujubu Ghasli Al Bauli Wa Ghairihi Min Al Najasat Idza Hashalat Fi Al Masjid Wa Anna Al Ardla Tathuru Bilmaa’I Min Ghairi  Haajah Ila Hafriha: 484, dari Anas bin Malik ra. Bahwa Nabi saw. melihat seorang badui kencing di dalam masjid, lalu beliau berkata, “Biarkan dia, sehingga ketika orang itu telah selesai, beliau menyuruh untuk menyiramnya dengan air.”
Di dalam riwayat imam Muslim disebutkan, “Rasulullah memerintahkan untuk mengambil satu ember air dan menyiramkannya diatas bekas kencing tersebut.”
Perintah Rasulullah saw. untuk menyiramnya dengan air adalah dalil bahwa air kencing itu najis.
3- Minuman yang memabukkan. baik itu khamr (minuman yang terbuat dari anggur), atau yang lainnya. Hal itu berdasarkan dalil yang menegaskan tentang haramnya semua yang memabukkan.
Dalil haramnya sesuatu yang memabukkan:
Dasar dari pengharaman minuman yang memabukkan adalah firman Allah ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (Al Maidah: 90).
Perintah untuk menjauhi minuman yang memabukkan adalah lebih kuat pengharamannya daripada sekedar pernyataan akan haramnya minuman tersebut. karena sesuatu yang haram diminum, tidak berarti haram membawa, menjual, atau membelinya. Adapun perintah untuk menjauhi, maka meliputi larangan melakukan semua hal tersebut, termasuk juga meminumnya.
Semua yang memabukkan adalah haram:
Ayat Al Quran hanya menyebutkan khamr saja, khamr adalah minuman yang terbuat dari anggur, akan tetapi semua minuman yang terbuat dari bahan yang lain dan memabukkan juga termasuk yang diharamkan, dalilnya adalah sebagai berikut:
1- Sabda Nabi saw., “Semua minuman yang memabukkan hukumnya haram.”  Diriwayatkan oleh imam Al Bukhari di dalam kitab Al Asyribah, bab Al Khamr Min Al ‘Asl Wa Huwa Al Bit’u: 5263, dan imam Muslim di dalam kitab Al Asyribah, bab Bayan Anna Kulla Muskirin Khamrun: 2001.
2- Sabda Rasulullah saw. ketika menjelaskan makna khamr yang disebut di dalam Al Quran, “Semua yang memabukkan adalah khamr, dan semua khamr (hukumnya) haram.” Diriwayatkan oleh imam Muslim di dalam kitab Al Asyribah, bab Bayanu Anna Kulla Muskirin Khamrun.
Perbedaan nama tidak menjadikan sesuatu yang memabukkan tersebut keluar dari hukum khamar, yaitu haram.
3- karena menurut ijma’, makna yang terkandung didalam pengharaman khamr adalah karena sifat memabukkan yang terkandung didalamnya, maka semua yang memabukkan, apapun bahannya, hukumnya adalah haram tanpa ada perbedaan.
Abu Dawud meriwayatkan di dalam kitab Al Asyribah, bab Fi Al Dazy: 3688, dan Ibnu Majah di dalam Al Fitan, bab Al ‘Uqubat: 4020, dari Abu Malik Al Asy’ari ra. Dia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh, akan ada dari umatku yang meminum khamr, mereka menamakannya dengan nama selainnya.”
Batasan makna mabuk:
Mabuk adalah perasaan riang yang berlebihan, sehingga akalnya tidak berfungsi, yang berakibat tidak dapat mengontrol dirinya untuk bersikap waras dan sopan.
Yang dimaksud dengan memabukkan adalah semua yang dapat memabukkan tanpa melihat banyak atau sedikit jumlah yang diminum.
Sesuatu yang jika diminum dalam jumlah tertentu dapat memabukkan, maka tidak boleh meminumnya walau sedikit. Yakni, baik meminum jumlah tertentu yang dapat memabukkan, atau meminum lebih sedikit dari jumlah tersebut, maka hukumnya sama saja. Demikian juga kita tidak menilai dari orang yang meminumnya, baik dia mabuk karena minuman tersebut atau tidak.
Berkaitan dengan hal ini, para ulama menyimpulkannya di dalam satu kaidah yang sangat terkenal “Sesuatu yang memabukkan, maka banyak dan sedikitnya adalah haram” ini sesuai dengan bunyi hadits yang diriwayatkan  oleh Abu Daud di dalam Al Asyribah, bab Al Nahy ‘An Al Muskir: 3681, dan Al Tirmidzi di dalam Al Asyribah, bab Ma Askara Katsiruhu Faqaliluhu Haram: 1866, dan Ibnu Majah di dalam Al Asyribah, bab Ma Askara Katsiruhu Faqaliluhu Haram: 3393, dari Jabir ra.
Semua yang memabukkan najis:
Menurut madzhab Al Syafi’I, Khamr dan semua cairan yang memabukkan adalah najis.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (kotor),” (Al Maidah:90). Di dalam ayat ini Allah menggunakan kata rijsun, Al Rijs secara bahasa berarti kotor dan najis.   
Hikmah diharamkannya sesuatu yang memabukkan:
Allah SWT. Telah memberikan nikmat kepada manusia dengan nikmat yang sangat banyak, yang utama adalah nikmat akal yang menjadikan manusia berbeda dan lebih mulia di banding dengan makhluk yang lain. Kehidupan pribadi dan bermasyarakat seseorang akan lurus dengan perantaraan akal beserta kesempurnaan dan kemampuannya.
 Sebagaimana yang telah kita ketahui, minuman yang memabukkan dapat  mempengaruhi akal, sehingga seseorang kehilangan manfaat dan faidah dari akalnya tersebut.
Apabila akal telah hilang kesadarannya, maka setelahnya akan muncul kesembronoan, dan dipenuhi dangan hawa nafsu, sehingga ia akan dikuasai rasa dendam dan kebencian yang mengakibatkan permusuhan diantara umat islam, dan terputusnya hubungan persaudaraan dan kecintaan diantara mereka.
Sebagai tambahan, khamr juga menghalangi seseorang dari mengingat Allah ta’ala, dan menjauhkannya dari pintu rahmat dan anugerah Allah.
Allah SWT. telah mengisyaratkan hal ini  di dalam firman-Nya, “Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan kan kebencian diantara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?.” (Al Maidah: 91).
Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah saw., “Jauhilah khamr, karena sesungguhnya khamr adalah kunci semua kejelekan.” Diriwayatkan oleh Al Hakim di dalam Al Mustadrak, kitab Al Asyribah, bab Ijtanibu Al Khamra, juz:4, hal: 145.
Al Nasai meriwayatkan di dalam Al Asyribah, bab Dzikr Al Atsam Al Mutawallidah ‘An Syurb Al Khamr, juz: 8, hal: 315, dari Utsman ra. Diriwayatkan secara mauquf, “Jauhilah khamr, karena sesungguhnya khamr adalah ibu segala kejahatan.”
Inilah diantara beberapa hikmah diharamkannya khamr dan segala jenis minuman yang memabukkan