Friday, November 21, 2014

nazar part 3

Konsekwensi dari nazar yang shahih
Apabila suatu nazar itu sah, yaitu dengan terpenuhinya syarat-syarat yang telah kami sebutkan, maka wajib bagi yang bernazar untuk mewujudkan apa yang telah ia nazarkan ketika tujuannya tercapai. Hal ini dilakukan jika nazar yang diucapkan adalah jenis Al Nazar Al Mu’allaq. Adapun Al Nazar Al Najiz (mutlak) maka wajib bagi orang yang bernazar untuk melaksanakan nazar tersebut begitu ia mengucapkannya.
Dan wajib bagi orang yang bernazar untuk melaksanakan nazarnya sesuai dengan maknanya secara syar’i, baik itu shalat, puasa, sedekah, atau yang lainnya.
Kalau seseorang bernazar untuk melakukan shalat, tanpa menyebutkan cara atau bilangan tertentu, maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat dua raka’at yang dilakukan dengan berdiri jika dia mampu untuk berdiri. Hal itu dilakukan sesuai dengan batas minimal makna shalat secara syar’i.
Adapun jika dia bernazar untuk melaksanakan shalat dengan jumlah rakaat tertentu, atau bernazar untuk melakukan shalat dengan duduk, maka wajib baginya untuk melaksanakan nazar tersebut sesuai jumlah dan tatacara yang telah ditentukan, akan tetapi kalau dia melakukan shalat tersebut dengan berdiri, maka itu lebih utama.
Kalau seseorang bernazar untuk berpuasa secara mutlak (tanpa menyebutkan batasan-batasan tertentu), maka batas minimal makna puasa adalah berpuasa satu hari.
Adapun jika dia bernazar untuk berpuasa beberapa hari tanpa menyebutkan jumlah harinya, maka wajib baginya untuk melaksanakan puasa paling tidak selama tiga hari, karena tiga adalah merupakan batas minimal kata jamak.
Apabila ia bernazar untuk bersedekah, maka wajib baginya untuk bersedekah dengan jumlah batas minimal dari hartanya kepada orang-orang yang berhak untuk menerima zakat seperti orang-orang fakir atau miskin.
Apabila ibadah yang dijadikan nazar dibatasi dengan sifat, waktu, atau bilangan tertentu, maka wajib baginya untuk melaksanakan nazar tersebut sesuai dengan batasan-batasan yang disebutkan.
Dan apabila ia bersumpah untuk bersedekah kepada penduduk tertentu, maka wajib baginya untuk bersedekah kepada mereka, dan tidak boleh memberikan sedekahnya tersebut kepada orang lain. 
Bila seseorang bernazar untuk beri’tikaf di masjid tertentu, yaitu masjid Al Haram, masjid Al Nabawi, dan masjid Al Aqsha, maka wajib baginya untuk beri’tikaf di masjid yang telah ia tentukan diantara tiga masjid tersebut. hal itu adalah karena keuatamaan masjid-masjid tersebut dibanding masjid yang lain.
Dalil keutamaan ketiga masjid tersebut adalah sabda Rasulullah saw., “Tidaklah ditekankan untuk  bepergian kecuali mengunjungi tiga masjid, masjid Al Haram, masjid Al Rasul (masjid Al Nabawi), dan masjid Al Aqsha.” Hadits ini diriwayatkan oleh imam Al Bukhari didalam kitab Abwabu Al Tathawu’, bab Fadlu Al Shalat fi Masjid Makkah wa Al Madinah :1132, dan imam Muslim didalam kitab Al Haj, bab Fadlu Shalat bi masjid Makkah wa Al Madinah: 1394.
Jika dia bernazar untuk beri’tikaf dimasjid tertentu selain ketiga masjid tersebut, maka wajib baginya untuk beri’tikaf dimasjid manapun yang dia mau, karena pahala I’tikaf dimasjid (selain ketiga masjid tersebut) itu sama.
Apabila seseorang bersumpah untuk berhaji atau umrah, maka ia wajib untuk melaksanakannya sendiri jika dia mampu. Akan tetapi jika dia tidak mampu untuk melaksanakannya sendiri, maka ia wajib mencari pengganti untuk melaksanakan haji atau umrah atas namanya, meskipun dengan membayar. Sebagaimana wajibnya hal tersebut bagi orang yang sudah berkewajiban untuk melaksanakan ibadah haji, (yaitu apabila dia tidak mampu untuk melaksanakannya sendiri, maka wajib untuk mencari pengganti orang yang berhaji untuk dirinya).
Dan disunahkan untuk bersegera didalam memenuhi nazar, pada kesempatan pertama yang dia miliki agar segera terbebas dari tanggungan.
Apabila seseorang telah mampu untuk melaksanakan haji atau umrah kemudian dia menundanya sehingga ia meninggal, maka dia dihajikan dan diumrahkan oleh orang lain dengan menggunakan harta orang yang meninggal tersebut. hal itu karena dia telah lalai untuk melaksanakannya padahal dia telah mampu.
Adapun bagi orang yang meninggal sebelum dia memiliki kemampuan untuk berhaji atau umrah, maka ia tidak terbebani dengan sesuatu apapun, karena dia tidak melalaikan kewajibannya.
Dan apabila seseorang bersumpah untuk berhaji atau umrah dengan berjalan kaki, maka wajib baginya untuk berjalan kaki jika dia mampu, karena dia telah menjadikan berjalan kaki sebagai sifat dari nazarnya, seperti halnya seseorang yang bernazar untuk berpuasa secara berturut-turut.
Adapun jika dia tidak mampu untuk berjalan kaki, maka tidak wajib baginya untuk melaksanakan nazarnya dengan berjalan kaki, akan tetapi dibolehkan baginya untuk menggunakan kendaraan.
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra. Ia berkata, “Saudara perempuanku bernazar untuk berjalan kaki menuju Baitullah, lalu ia memerintahkanku untuk meminta fatwa kepada Rasulullah saw. (tentang hal tersebut). lalu Rasulullah saw. bersabda, “Hendaklah ia pergi berjalan kaki dan berkendara.” Hadits ini diriwayatkan oleh imam Al Bukhari didalam kitab Al Ihshar wa Jazaa’a Al Shaid, bab Man Nadzara Al Masyya ila Al Ka’bah : 1767, dan Imam Muslim didalam kitab Al Nazar, bab Man Nazara an Yamsyiya ila Al Ka’bah :1644.
Kalau seseorang bernazar untuk memberikan hadiah binatang ternak, berupa unta, sapi, domba, kambing, atau harta lain di Makkah, maka wajib untuk membawanya kesana dan wajib mensedekahkannya kepada orang-orang fakir atau miskin yang ada disana, baik itu penduduk asli Makkah atau pendatang yang ada disana.
Kalau seseorang bernazar untuk menyembelih kambing ditempat tertentu selain Makkah dan membagikannya disana, maka wajib baginya untuk menyembelih ditempat tersebut dan membagikan dagingnya kepada orang-orang miskin yang ada ditempat itu, selama dia berniat untuk menyembelih dan membagikan dagingnya. Karena menyembelih adalah merupakan perantara untuk membagikan dagingnya.
Kalau seseorang bernazar untuk menyalakan lampu untuk menyinari bangunan diatas kuburan orang-orang shalih atau para wali, maka jika yang dia maksud adalah karena ingin menerangi orang-orang yang tinggal disekitar kuburan tersebut, atau karena ia sering pergi kesana, maka nazar tersebut sah dan wajib untuk dipenuhi. Sedangkan kalau maksud dari hal itu adalah karena ingin menyalakan lampu diatas kuburan maka nazar tersebut tidak sah meskipun dia juga berniat menerangi orang-orang yang ada ditempat tersebut.
Jika seseorang bernazar untuk menyalakan lampu di atas kuburan dengan maksud karena ingin mengagungkan tempat atau kuburan tersebut, atau karena ingin bertaqarrub dengan orang yang dikubur ditempat itu, maka ini adalah nazar yang batil dan tidak sah.
Al Nazar Al Mutlak tidak terbatas oleh waktu
Apabila nazar yang diucapkan adalah nazar secara mutlak, tidak dibatasi oleh waktu, maka nazar tersebut seperti Al Wajib Al Muwassa’. yakni dibolehkan bagi orang yang bernazar untuk mengakhirkan dalam memenuhi nazarnya, selama masih ada kesempatan, dan dia yakin bahwa hal itu tidak akan menghalanginya untuk memenuhi nazarnya tersebut.
Akan tetapi disunahkan untuk bersegera memenuhi nazarnya, meskipun dia masih memiliki kesempatan yang banyak dan luas. Hal itu dilakukan agar dia segera terlepas dari tanggungan nazarnya.
Adapun jika nazar yang diucapkan dibatasi dengan waktu tertentu, maka wajib mengikuti batas waktu tersebut.dan apabila dia terlambat memenuhi nazarnya dari waktu yang telah ditentukan tanpa ada uzur, maka ia berdosa dan wajib untuk mengqadla. Akan tetapi jika dia terlambat memenuhi nazarnya karena ada uzur, maka dia tidak berdosa dan wajib mengqadlanya pada kesempatan yang lain.

Wallahu ta’ala a’lam

Thursday, November 20, 2014

nazar part 2

Macam-macam nazar
Nazar terbagi menjadi menjadi tiga macam:
1- Nazar Al Lajaj
Yaitu nazar yang terjadi karena permusuhan, atau disebabkan karena rasa marah. seperti ucapan seseorang ditengah-tengah pertikaiannya, “Kalau saya berbicara dengan fulan, maka wajib bagi saya untuk berpuasa satu bulan.”
2- Nazar Al Mujazat (Al Mukafaat)
Yaitu bernazar untuk melakukan suatu ibadah jika tujuannya tercapai, nazar ini tanpa didasari rasa permusuhan. Seperti seseorang yang berkata, “Jika Allah menyembuhkan penyakitku, maka wajib bagiku untuk bersedekah satu ekor kambing.”
3- Al Nazar Al Mutlak
Yaitu bernazar untuk melakukan suatu ibadah, tanpa digantungkan dengan tujuan tertentu dari orang yang bernazar, dan bukan didasari karena rasa permusuhan atau marah. Seperti seseorang yang berkata, “ Wajib bagi saya puasa hari kamis.”
Nazar jenis kedua dan ketiga disebut juga Nazar Al Tabarrur, disebut begitu karena dia bersumpah untuk melakukan satu kebaikan (Al Bir), atau karena ingin bertaqarrub kepada Allah ta’ala.
Hukum setiap jenis nazar
Hukum nazar jenis pertama yaitu nazar Al Lajaj adalah wajib bagi orang yang bernazar untuk menunaikan nazarnya atau membayar kafarat seperti kafarat sumpah. ia diperbolehkan untuk memilih satu diantara dua hal tersebut, karena nazar jenis ini menyerupai nazar dari satu sisi (yaitu karena dia mewajibkan sesuatu kepada dirinya sendiri), dan menyerupai sumpah dari sisi yang lain, yaitu karena dia mengharamkan sesuatu untuk dirinya sendiri.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim didalam kitab Al Nazar, bab Kafarah Al Nazar : 1645, dari Uqbah bin Amir ra. Dari Rasulullah saw. bersabda, “ Kafarah nazar seperti kafarah sumpah.”
Imam Al Nawawi berkata, “Jumhur  (ulama madzhab syafi’i) berpendapat bahwa hadits ini berlaku untuk nazar Al Lajaj.”
Adapun hukum nazar jenis kedua yaitu nazar Al Mujazat, maka apabila hal yang dijadikan nazar tersebut terpenuhi, seperti kalau Allah menyembuhkan penyakitnya, maka wajib bagi orang yang bernazar untuk melaksanakan nazarnya tersebut, dan tidak dapat diganti dengan sesuatu yang lain.
Dalilnya adalah firman Allah azza wa jalla, “Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji.” (Al Nahl:91), dan sabda Nabi saw., “Barangsiapa bernazar untuk mentaati Allah, maka hendaklah ia mentaatinya.” Hadits ini diriwayatkan oleh imam Al Bukhari didalam kitab Al Aiman wa Al Nudzur, bab Al Nazar fi Al Tha’ah :6318 dari Aisyah ra.
Adapun hukum nazar jenis ketiga yaitu Al Nazar Al Mutlak, maka wajib bagi orang yang bernazar untuk mewujudkan apa yang telah ia wajibkan untuk dirinya sendiri secara mutlak, yakni tanpa menggantungkan kepada sesuatu apapun.
Dalilnya adalah keumuman dalil yang terdahulu, akan tetapi dia boleh mengakhirkan waktu untuk memenuhi nazarnya tersebut, selama masih memungkinkan baginya untuk memenuhi nazarnya itu. Dan tidak boleh diganti dengan kafarat sumpah, karena nazar jenis ini tidak mengandung makna sumpah.
Syarat-syarat nazar:
Pertama: dilihat dari orang yang bernazar
Syarat orang yang bernazar ada tiga:
1- Islam
Nazar orang kafir tidak sah, karena orang kafir bukan ahli ibadah, dan ibadah yang dilakukan seseorang tidak sah selama dia masih kafir.
2- Mukallaf
Nazar yang diucapkan oleh seorang anak kecil dan orang gila tidak sah, karena mereka bukanlah orang yang berhak untuk mewajibkan apapun terhadap diri mereka sendiri. Sehingga ketika ia mewajibkan suatu ibadah terhadap dirinya maka hal itu juga dianggap tidak sah, karena dia tidak berhak untuk melakukan hal tersebut, sebab anak kecil atau orang gila tidak terbebani dengan hukum syariat.
3- Tidak dipaksa
Nazar orang yang dipaksa tidak sah, karena sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa, dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.” Diriwayatkan oleh Ibnu  Majah didalam kitab Al Thalak, bab Thalak Al Mukrah wa Al Nasi: 2045, dan disahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim, dari Ibnu Abbas ra.
Kedua: dilihat dari sesuatu yang dijadikan nazar
Syarat sesuatu yang boleh dijadikan nazar ada dua:
1- Sesuatu yang dijadikan nazar berupa ibadah
Tidak boleh bernazar dengan sesuatu yang mubah, yaitu hal-hal yang tidak memiliki konsekwensi pahala atau iqab bagi orang yang melakukan atau meninggalkannya.
Kalau seseorang bernazar untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu yang mubah seperti makan atau tidur, maka tidak wajib baginya untuk melakukan atau meninggalkannya, dan dia tidak menanggung apapun.
Dalil hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari didalam kitab Al Aiman wa Al Nudzur, bab Al Nazar fi Maa Laa Yamlik wa fi Maksiat :6326 dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata, “Ketika Nabi saw. sedang berkhutbah, tiba-tiba ada seseorang yang terus berdiri, lalu Rasulullah saw. bertanya tentangnya, para sahabat menjawab, ‘ Itu adalah Abu Israil, ia bernazar untuk terus berdiri dan tidak mau duduk, tidak berteduh, tidak berbicara, dan berpuasa, lalu Rasulullah saw. bersabda, “Perintahkan dia untuk berbicara, berteduh, duduk, dan hendaklah ia menyempurnakan puasanya.”
Sesungguhnya perintah Nabi saw. untuk menyempurnakan puasanya, karena puasa adalah satu bentuk ketaatan sehingga wajib untuk dipenuhi apabila ia bernazar dengan hal tersebut.
Demikian juga kita tidak boleh bernazar dengan sesuatu yang diharamkan, seperti membunuh dan berzina. Kita juga dilarang bernazar dengan sesuatu yang dimakruhkan, seperti bernazar untuk meniggalkan shalat sunah rawatib. Karena melakukan sesuatu yang diharamkan atau dimakruhkan bukanlah hal yang bertujuan untuk mencari ridla Allah azza wa jalla.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada nazar dalam bermaksiat kepada Allah.” Hadits ini diriwayatkan oleh imam Muslim didalam kitab Al Nazar, bab laa wafaa’a linazarin fi ma’siyatillah :1641, dan telah disebutkan didalam hadits yang terdahulu yang diriwayatkan oleh imam Al Bukhari didalam kitab Al Aiman wa Al Nudzur, bab Al Nazar fii Al Tha’ah:6318, dari Aisyah ra. Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa bernazar untuk bermaksiat kepada Allah maka janganlah ia bermaksiat kepada-Nya.”
Rasulullah saw. bersabda, “ Tidak ada nazar kecuali didalam hal-hal yang bertujuan untuk mencari ridla Allah.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud didalam kitab Al Aiman wa Al Nudzur, bab Al Yamin fi Qati’at Al Rahim :3273.
2- sesuatu yang digunakan untuk bernazar bukan fardlu ain
Kalau seseorang bernazar untuk shalat dzuhur atau bernazar untuk membayar zakat, maka nazar tersebut adalah nazar yang batil. karena tidak ada hal baru dari nazar tersebut, disebabkan sesuatu yang digunakan untuk bernazar adalah merupakan kewajiban bagi orang tersebut tanpa perlu bernazar.     
Dan dibolehkan untuk bernazar dengan fardlu kifayah, seperti kalau seseorang bernazar melakukan shalat janazah, atau bernazar untuk mempelajari ilmu yang merupakan fardlu kifayah bagi kaum muslimin untuk mempelajarinya seperti ilmu kedokteran dan riset tekhnologi.
Hal itu dibolehkan, karena nazar yang seperti ini menjadikan fardlu kifayah sebagai fardlu ain bagi orang yang bersumpah

Tuesday, November 18, 2014

nazar part 1

Nazar
Pengertian nazar:
Nazar secara bahasa berarti janji akan kebaikan ataupun kejelekan.
Adapun Nazar secara istilah berarti janji akan kebaikan saja.
Nazar menurut istilah para fuqaha’adalah mewajibkan (terhadap diri sendiri) sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syariat, baik itu secara mutlak atau digantungkan dengan sesuatu yang lain.
Dalil nazar:
Dalil disyariatkannya nadzar dan kewajiban untuk memenuhi nazar dari Al Quran dan Al Sunah.
Dalil nazar dari Al Quran adalah firman Allah ta’ala, “Mereka memenuhi nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya dimana-mana.” (A l Insan: 7). Juga firman-Nya, “Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (Al Haj: 29).
Adapun dalil dari Al Sunah adalah sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh imam Al Bukhari didalam kitab Al Aiman Wa Al Nudzur, bab Al Nazar fi Al Tha’ah: 6318, dari Aisyah ra. Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa bernazar untuk mentaati Allah maka hendaklah ia mentaatinya, dan barangsiapa bernazar untuk bermaksiat kepada Allah, maka janganlah ia bermaksiat kepada-Nya.”
Juga sabda Nabi saw. tentang orang-orang yang tidak memenuhi nazar mereka, “Sesungguhnya akan datang setelahmu satu kaum yang suka berkhianat, dan tidak dapat dipercaya, mereka bersaksi padahal mereka tidak diminta bersaksi, mereka bernazar dan mereka tidak memenuhinya, mereka tampak berbadan gemuk.” Hadits ini diriwayatkan oleh imam Al Bukhari didalam kitab Al Syahadah, bab la yasyhad ‘ala syahadati jaur idza asyhada : 2508, dan imam Muslim didalam fadail Al Shahabah, bab fadl al shahabah tsumma alladzina yalunahum :2535, dari ‘Imran bin khushain ra.
“Mereka tampak berbadan gemuk,” yakni disebabkan makan yang berebihan, bermalas-malasan, dan meniggalkan jihad. Menurut pendapat yang lain itu adalah kiasan dari orang yang senang berbangga-bangga dengan harta dunia.
Hukum nazar
Nazar termasuk hal yang disyariatkan, dan termasuk ibadah, oleh karena itu para ulama berkata, “Nazar orang kafir tidak sah.”
Akan tetapi, yang lebih utama adalah jika seseorang melakukan suatu ibadah yang ingin dilakukan tersebut secara langsung, tanpa bernazar terlebih dahulu.
Dan sedekah yang diberikan oleh seseorang dalam rangka beribadah kepada Allah tanpa ada paksaan, lebih utama daripada sedekah yang diberikan karena nazar.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Al Bukhari didalam kitab Al Qadr, bab Ilqa’u Al ‘Abdi Al Nazar ila Al Qadr: 6234, dan imam Muslim didalam kitab Al Nazar, bab Al Nahy ‘An Al Nazar Wa Annahu La Yuraddu Syaian, bahwa Rasulullah saw. melarang nazar, beliau bersabda, “Sesungguhnya nazar itu tidak dapat menolak apapun, nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil.”

Maksudnya adalah bahwa nazar tidak dapat merubah takdir Allah SWT., nazar hanyalah perantara bagi orang bakhil untuk mewajibkan infak atau sedekah bagi dirinya sendiri. karena dia tahu, kalau dia tidak mewajibkan hal tersebut dengan nazar maka sulit baginya untuk mengeluarkan infak atau sedekah.