Monday, August 31, 2015

faraid 39: pembagian warisan untuk janin yang masih ada dalam kandungan

Warisan bagi janin yang masih di dalam kandungan
Jika mayit meninggalkan ahli waris yang masih didalam kandungan, maka tidak diragukan lagi bahwa janin tersebut dihitung di dalam warisan, maka bagiannya tersebut ditangguhkan sehingga keadaannya menjadi jelas (apakah janin tersebut lahir dalam keadaan hidup atau sudah mati). Dan ahli waris yang lain diberikan bagian minimal yang pasti dia dapatkan (dari semua kemungkinan jika janin tersebut meninggal, hidup, laki-laki, perempuan, satu atau lebih), dan harta yang tersisa ditangguhkan sehingga keadaan janin tersebut menjadi jelas.
Contoh, jika seseorang mati dan meninggalkan istri yang sedang hamil.
Maka jika janin tersebut ternyata tidak ada atau lahir dalam keadaan mati, maka istri mendapat seperempat. Dan jika janin tersebut lahir dalam keadaan hidup (baik laki-laki atau perempuan, satu atau lebih), maka istri mendapat seperdelapan. Sehingga di dalam permasalahan ini, istri diberi seperdelapan terlebih dahulu, karena itu adalah bagian minimal yang pasti dia peroleh, dan harta yang tersisa ditangguhkan sehingga keadaan janin menjadi jelas.
Jika anak yang lahir itu adalah laki-laki, maka dia mengambil semua harta yang tersisa sebagai Ashabah. Jika dia perempuan, maka dia mengambil setengah, dan harta yang tersisa dikembalikan kepadanya jika tidak ada baitulmal kaum muslimin, akan tetapi jika ada baitulmal maka harta yang tersisa (setelah diberikannya bagian istri dan anak perempuan) tersebut diwarisi oleh baitulmal. Dan jika anak tersebut adalah anak laki-laki dan anak perempuan, maka mereka berdua mengambil semua harta yang tersisa, untuk anak laki-laki mendapat bagian seperti dua bagian anak perempuan.
Di dalam semua kemungkinan-kemungkinan ini, bagian warisan dari istri tidak berubah, karena dia tetap mendapat seperdelapan selama anak tersebut lahir dalam keadaan hidup. Dan jika janin tersebut mati, atau mati sebelum lahir dengan sempurna, maka janin tersebut tidak mewarisi sedikitpun. Karena syarat janin tersebut untuk mewarisi adalah jika dia terlahir dalam keadaan hidup. Dan jika itu yang terjadi, maka istri mendapat seperempat karena tidak ada anak. Dan harta yang tersisa dibagikan kepada Dzawi Al Arham (keluarga yang bukan ahli waris) jika tidak ada baitulmal, akan tetapi jika ada baitulmal, maka harta yang tersisa tersebut diberikan kepada baitulmal kaum muslimin (dengan syarat baitulmal tersebut tertata dan resmi milik pemerintahan islam).
Kalau seseorang mati dan meninggalkan istri yang sedang hamil, bapak, dan ibu.
Maka hak minimal bagi istri dan kedua orang tua itu adalah jika anak tersebut adalah dua anak perempuan atau lebih, sehingga akan terjadi Aul dan bagian mereka dikurangi karena Aul tersebut. maka istri diberi seperdelapan setelah terjadi Aul (tiga saham dari dua puluh tujuh saham), bapak diberi seperenam setelah terjadi Aul (empat saham dari dua puluh tujuh saham), dan ibu diberi seperti bagian bapak. Dan harta yang tersisa yaitu enam belas saham, ditangguhkan sehingga keadaan janin yang sebenarnya menjadi jelas.

Saturday, August 29, 2015

faraid 38: hukum warisan bagi orang yang lama hilang dan tidak ada kabar beritanya

Al Mafqud
Pengertian Al Mafqud
Al Mafqud secara bahasa diambil dari kata Faqadtu Al Syai’a bermakna ‘Adimtuhu (aku kehilangan dia). Sedangkan Secara istilah Al Mafqud adalah orang yang pergi dari negaranya untuk waktu yang lama, dan terputus kabar beritanya, tidak diketahui keadaannya, sehingga tidak diketahui apakah dia masih hidup atau telah mati.

Hukum-hukum Al Mafqud (orang hilang)
Al Mafqud memiliki hukum yang berbeda-beda, sesuai dengan sisi yang berkaitan dengannya,
Sisi pertama adalah status dari istrinya, Sisi kedua adalah status dari harta miliknya, Dan sisi yang ketiga adalah hak dia untuk mewarisi dari orang lain.
 Adapun pada sisi yang pertama, maka istri dari orang yang hilang tidak boleh menikah dengan orang lain sehingga diyakini bahwa suaminya yang hilang tersebut telah mati, karena hukum asalnya adalah dia masih hidup, sehingga tidak boleh dihukumi mati kecuali dengan keyakinan.
Imam Al Syafi’I meriwaytkan dari Ali ra. Ia berkata, “Istri dari orang yang hilang sedang diuji, maka hendaklah ia sabar, dan tidak menikah sehingga mendatanginya (yakni berita kematian suaminya yang hilang).” Dan seperti hal ini tidak mungkin diucapkan oleh seorang sahabat kecuali karena Tauqifi.
Adapun sisi yang kedua, yaitu mengenai hukum dari hartanya yang sudah ada sebelum dia menghilang atau harta yang baru (dihasilkan) ketika dia menghilang.
Maka hartanya tersebut tidak boleh dibagi sehingga ada bukti bahwa dia telah mati, atau telah melewati batas waktu tertentu yang diyakini atau kemungkinan besar orang yang hilang tersebut tidak mungkin hidup melebihi batas waktu tersebut.
Tidak ada batasan waktu tertentu untuk menghukumi bahwa orang yang hilang tersebut telah mati, akan tetapi hal itu dikembalikan kepada ijtihad hakim, hakimlah yang akan menghukumi tentang kematian orang yang hilang tersebut.
Adapun sebelum ada keputusan hakim tentang kematian orang itu, maka tidak boleh membagikan hartanya. Karena hukum asal dari orang yang hilang tersebut adalah masih hidup, sehingga hartanya tidak boleh diwarisi kecuali dengan keyakinan (bahwa dia telah meninggal).
Apabila hakim telah menghukumi bahwa dia telah meninggal, maka hartanya diberikan kepada ahli warisnya , yaitu ketika ada bukti akan kematian orang yang hilang tersebut, atau ketika dihukumi bahwa dia telah mati. Maka jika ada di antara ahli warisnya yang meninggal sebelum hal tersebut (meskipun hanya sebentar) maka dia tidak berhak mewarisinya.
Adapun sisi yang ketiga, yaitu yang berhubungan dengan haknya untuk mewarisi dari orang lain yang mati ketika dia menghilang. Inilah yang dimaksudkan di dalam pembahasan ilmu faraid.

Hukum Al Mafqud (orang yang hilang) di dalam warisan
Orang yang hilang dianggap masih hidup, selama belum ada bukti akan kematiannya, atau hakim menghukumi orang itu telah mati setelah melewati waktu tertentu. Berdasarkan hal itu, maka bagian warisan orang yang hilang tersebut disisihkan terlebih dahulu, sehingga keadaannya menjadi jelas.

Hukum waris orang yang hilang mirip dengan hukum waris Khuntsa Musykil.
1- jika ahli waris yang lain tetap mewarisi, dan juga  jumlah bagian warisan mereka tidak terpengaruh baik orang yang hilang tersebut dianggap masih hidup atau sudah mati, maka bagian mereka diberikan dengan sempurna, tanpa melihat hukum Al Mafqud (orang yang hilang).
Kalau seseorang mati dan meninggalkan istri, bapak, anak laki-laki, dan saudara laki-laki yang hilang.
Maka semua ahli waris mengambil bagian mereka, karena saudara laki-laki yang hilang, terhalang oleh bapak dan anak laki-laki, sehingga tidak berpengaruh apa-apa terhadap warisan, baik jika dia masih hidup atau telah meninggal.
Istri mendapat seperdelapan, bapak seperenam, dan anak laki-laki mengambil semua yang tersisa (Ashabah),
Contoh lain, jika seseorang mati dan meninggalkan istri, anak laki-laki, dan anak laki-laki lain yang hilang.
Maka istri mendapat bagiannya yaitu seperdelapan, karena istri tidak mungkin mendapat lebih dari seperdelapan, karena ada anak laki-laki lain dari si mayit. Adapun anak laki-laki maka dia mendapat setengah dari yang tersisa setelah istri diberikan bagiannya, dan setengah yang lain ditangguhkan untuk anak laki-laki yang hilang.
2- jika ahli waris yang lain tidak mewarisi apabila ahli waris yang hilang tersebut masih hidup, maka dia tidak diberi bagian warisan sedikitpun, karena ada kemungkinan orang yang hilang tersebut masih hidup.
Contoh, jika seseorang mati dan meninggalkan paman dan anak laki-laki yang hilang.
Maka di dalam permasalahan ini, paman tidak mewarisi jika anak laki-laki yang hilang tersebut masih hidup, karena paman terhalang oleh anak laki-laki. Dan harta peninggalan tersebut ditangguhkan sehingga keadaan anak laki-laki yang hilang itu menjadi jelas.
Contoh lain, jika seseorang mati dan meninggalkan dua anak perempuan, satu anak perempuan dari anak laki-laki, dan anak laki-laki dari anak laki-laki yang hilang.
Maka anak perempuan dari anak laki-laki tersebut tidak diberi apapun, karena ada kemungkinan anak laki-laki dari anak laki-laki yang hilang tersebut telah mati, sehingga anak perempuan dari anak laki-laki terhalang oleh dua orang anak perempuan. Maka dua anak perempuan mengambil dua pertiga, dan sisa harta yang sepertiga ditangguhkan sehingga keadaan orang yang hilang tersebut menjadi jelas.
3- jika hidup atau matinya orang yang hilang dapat berpengaruh terhadap jumlah bagian dari ahli waris lain, maka mereka diberi bagian yang paling sedikit untuk kehati-hatian.
Contoh, jika seseorang mati dan meninggalkan ibu, saudara laki-laki, dan saudara laki-laki lain yang hilang.
Maka di dalam permasalahan ini, ibu mendapat seperenam, karena ada kemungkinan saudara laki-laki yang hilang tersebut masih hidup.
Kalau kita perkirakan jumlah harta peninggalannya adalah enam saham, maka ibu mendapat satu saham untuk kehati-hatian, karena seperenam adalah bagian yang paling sedikit yang mungkin didapat oleh si ibu. Saudara laki-laki yang ada mendapat dua saham, karena dua saham adalah merupakan bagian minimal yang pasti dia peroleh, dan tiga saham yang tersisa ditangguhkan. Jika kemudian diketahui bahwa orang yang hilang tersebut telah mati, maka ibu mendapat satu saham lagi, dan saudara laki-laki yang ada juga mengambil dua saham yang lain. dan jika kemudian diketahui bahwa ternyata saudara laki-laki yang hilang tersebut masih hidup, maka ibu tidak mendapat bagian lagi, sementara saudara laki-laki yang ada tersebut mengambil setengah saham, dan dua setengah saham yang tersisa diberikan kepada sauadara laki-laki yang hilang tadi.

Thursday, August 27, 2015

faraid 37: hukum warisan bagi orang banci

Pembagian warisan untuk Al Khuntsa Al Musykil
Pengertian Al Khuntsa Al Musykil
Al Khuntsa secara bahasa diambil dari kata Al Inkhinats, yaitu bermakna Al Tatsanni Wa Al Takassur, sementara Al Musykil diambil dari kata Syakala atau Asykala yang bermakna Iltabasa (samar-samar).
Al Khuntsa Al Musykil  secara istilah adalah orang yang memiliki alat kelamin ganda (alat kelamin laki-laki dan alat kelamin wanita), atau orang itu memiliki lubang yang tidak menyerupai salah satu dari keduanya, sebagai tempat keluarnya air kencing.

Macam-macam Al Khuntsa (banci),
Al Khuntsa ada dua macam. Yaitu, Khuntsa Musykil dan Khuntsa Ghairu Musykil.
Al Khuntsa Ghairu Al Musykil adalah orang yang berkelamin ganda, akan tetapi salah satunya lebih dominan, seperti jika dia menikah lalu dia mendapatkan anak maka dapat dipastikan bahwa dia adalah seorang laki-laki. atau dia menikah, kemudian hamil, maka dapat dipastikan bahwa dia adalah wanita.
Adapun Al Khuntsa Al Musykil adalah jika tidak dapat dibedakan apakah dia laki-laki atau wanita. Para fuqaha telah menyebutkan tanda-tanda untuk membedakan apakan dia seorang laki-laki atau wanita setelah orang tersebut baligh.
Yaitu, apabila dia mengelurkan air mani, maka dia adalah laki-laki, dan apabila dia haid, maka dia adalah wanita. Dan jika secara zahir dia menyukai wanita, maka secara umum kemungkinan besar dia adalah laki-laki, demikian juga jika dia menyukai laki-laki, maka kemungkinan besar dia adalah wanita.
Adapun pada saat sekarang dan setelah kemajuan yang begitu pesat dalam bidang kedokteran, maka kecil kemungkinan adanya Khuntsa Musykil, karena para dokter secara umum dapat menyingkap hal tersebut.
Kalau kita berandai-andai bahwa dokter tidak mampu menyingkap, apakah dia adalah seorang laki-laki atau wanita, maka orang itulah yang disebut dengan Al Khuntsa Al Musykil.
Hukum Al Khuntsa Al Musykil di dalam warisan
Al Khuntsa Al Musykil tidak mungkin jika dia adalah seorang ayah, ibu, kakek, dan nenek. Karena kalau dia adalah salah satu mereka maka hukumnya jelas (pasti laki-laki atau wanita).
Demikan juga Al Khuntsa Al Musykil tidak mungkin posisinya sebagai suami atau istri, karena Al Khuntsa Al Musykil tidak boleh menikah.
Kalau begitu, maka Al Khuntsa Al Musykil hanya terdapat pada tiga kelompok. Yaitu, anak, saudara, paman, atau wala’.

Penjelasan,
1- apabila bagian warisan dari Al Khuntsa Al Musykil adalah sama (baik jika dia dianggap sebagai laki-laki atau perempuan), demikan juga tidak berpengaruh kepada bagian ahli waris yang lain, maka harta warisan dibagikan sebagaimana biasa seperti yang telah kita jelaskan.
Contoh, jika ahli waris si mayit adalah ibu, satu saudara laki-laki, dan satu saudara seibu Khuntsa (banci).
Maka di dalam permasalahan ini, harta warisan dibagi seperti tidak ada ahli waris yang Khuntsa, karena pada kondisi ini tidak ada perbedaan bagian yang akan dia peroleh, baik jika dia dianggap sebagai laki-laki atau perempuan. Karena saudara seibu mendapat seperenam (baik laki-laki atau perempuan).
Ibu mendapat seperenam karena ada saudara (dua orang atau lebih), dan saudara laki-laki mendapat Ashabah (semua yang tersisa).
2- kalau seandainya Al Khuntsa itu dapat mewarisi atau tidak mewarisi jika dia dianggap laki-laki atau perempuan, maka pada kondisi ini dia tidak diberikan bagian dari harta warisan sehingga statusnya telah jelas (apakah laki-laki atau perempuan), atau jika semua ahli waris merelakannya.
Demikian juga jika hal itu berpengaruh kepada ahli waris yang lain, maka dia (Al Khuntsa) tidak diberi bagian dari harta warisan.
Kalau seandainya si mayit meninggalkan ahli waris berupa istri, paman, dan anak dari saudara (Khuntsa).
Maka di dalam permasalahan ini, istri mendapat seperempat (karena dia tidak terpengaruh dengan keadaan Al Khuntsa (baik jika dianggap laki-laki atau perempuan). Adapun paman, maka dia tidak diberi warisan untuk saat ini, karena ada kemungkinan anak dari saudara si mayit tersebut adalah laki-laki, sehingga dia menghalangi paman.
Demikian juga anak dari saudara laki-laki si mayit tidak diberi harta warisan, karena ada kemungkinan dia perempuan, sehingga tidak mewarisi, karena anak perempuan dari saudara laki-laki bukan ahli waris.
Sehingga menjadi jelas di dalam permasalahan ini, bahwa tiga perempat dari harta warisan ini ditangguhkan. Dan jika kemudian Al Khuntsa tersebut ternyata adalah laki-laki, maka harta itu dibil olehnya, dan jika dia perempuan, maka harta tersebut diambil oleh paman.
3- apabila bagian dari Al Khuntsa itu berbeda jika dia laki-laki atau wanita, demikian juga hal itu dapat berpengaruh kepada ahli waris yang lain, maka semua ahli waris diberikan bagian minimal dari harta warisan yang mungkin mereka dapatkan, karena bagian minimal tersebut adalah sesuatu yang sudah yakin (pasti menjadi bagiannya), sementara harta yang tersisa ditangguhkan, sampai keadaan dari Al Khuntsa tersebut menjadi jelas (apakah laki-laki atau perempuan) untuk kemudian dihitung, atau ditangguhkan sehingga semua ahli waris berdamai (saling merelakan).
Kalau seseorang mati dan meniggalkan anak laki-laki, dan anak khuntsa (banci),  jika khuntsa tersebut dianggap laki-laki, maka harta tersebut dibagi sama rata untuk mereka berdua, sehingga masing-masing mendapat setengah dari harta peninggalan, karena mereka berdua adalah saudara. Dan jika Khuntsa tersebut dianggap perempuan, maka Khuntsa mendapat sepertiga, dan anak laki-laki mendapat dua pertiga. Maka khuntsa tersebut dianggap perempuan terlebih dahulu sehingga dia mendapat sepertiga (bagian minimal yang pasti diperoleh), sementara anak laki-laki diberi setengah (bagian minimal yang pasti diperoleh), dan seperenam harta yang tersisa ditangguhkan sehingga Khuntsa tersebut keadaannya menjadi jelas, jika dia laki-laki maka dia akan mengambil yang seperenam, sementara jika dia perempuan, maka sisa seperenam tersebut akan diambil oleh anak laki-laki, dan jika keadaan Khuntsa tersebut tidak jelas, maka mereka berdua bersepakat tentang sisa harta tersebut.

Saturday, August 8, 2015

faraid 36: Al Mas’alah Al Akdariyah

 Al Mas’alah Al Akdariyah
Para ulama berkata, “Saudara perempuan (baik saudara sekandung atau seayah) tidak diberikan bagiannya ketika bersama kakek selain didalam Masalah Al Mu’adah yang telah dijelaskan sebelumnya, kecuali di dalam Al Masalah Al Akdariyah.
Gambaran dari permasalahan ini, yaitu,
Jika ahli waris dari si mayit adalah suami, ibu, satu saudara perempuan (baik sekandung atau seayah), dan kakek.
Permasalahan ini dinamakan dengan nama Al Mas’alah Al Akdariyah adalah karena permasalahan ini mengacaukan madzhab dari Zaid bin Tsabit ra., menurut riwayat yang lain adalah kerena mayat adalah sesuatu yang Akdar (kotor). Wallahu a’lam.
Di dalam permasalahan ini, suami mendapat setengah, ibu mendapat sepertiga, sehingga tersisa seperenam, yang seharusnya diambil oleh kakek, karena sebagaimana yang telah kami jelaskan terdahulu bahwa bagian kakek tidak boleh kurang dari seperenam. Dan saudara perempuan sekandung menjadi gugur, karena tidak tersisa sedikitpun (keadaannya seperti keadaan saudara laki-laki sekandung jika dia menggantikan posisi dari saudara perempuan sekandung di dalam permasalahan ini).
Akan tetapi para ulama syafi’iyah memberikan bagian setengah kepada saudara perempuan di dalam permasalahan ini, karena Ashabahnya dengan kakek menjadi batal, dan tidak ada orang yang menghalanginya, akan tetapi kemudian para ulama Syafi’iyah berpendapat untuk mengumpulkan bagian saudara perempuan dengan bagian kakek, lalu membaginya diantara mereka. Sehingga saudara perempuan mendapat sepertiga dan kakek mendapat dua pertiga (sesuai dengan prinsip Ashabah). Para ulama syafi’iyah menghukumi dengan hal ini, agar saudara perempuan tidak mendapat seperti tiga bagian milik kakek. Karena hal ini dilarang, disebabkan keduanya berada pada kedudukan yang sama di dalam hubungan nasabnya kepada si mayit, mereka melakukan hal itu untuk menjaga hak dari kedua belah pihak.
Berdasarkan hal ini, maka suami akan mendapat setengah, ibu mendapat sepertiga, kakek seperenam, dan saudara perempuan mendapat setengah, sehingga terjadi Aul di dalam permasalahan ini.
Suami mendapat setengah (tiga saham), ibu mendapat sepertiga (dua saham), kakek mendapat seperenam (satu saham), dan saudara perempuan mendapat setengah (tiga saham), sehingga jumlah semua saham adalah Sembilan. Kemudian antara kakek dan saudara perempuan terjadi Muqasamah (berbagi), sehingga saham saudara perempuan (tiga saham) ditambah dengan saham kakek (satu saham) adalah empat saham, kemudian dibagi di antara mereka berdua (bagi laki-laki mendapat seperti bagian dua orang perempuan).
Dan apabila kita mentashih masalah ini (agar tidak di hasilkan bilangan pecahan) dengan menjadikan Aslu Al Masalah adalah 27, maka bagian dari suami menjadi tujuh saham, ibu mendapat enam saham, dan tersisa dua belas saham, dengan rincian empat saham untuk saudara perempuan, dan delapan saham untuk kakek (sesuai dengan prinsip Ashabah), dan itu adalah asal dari bagian saudara perempuan jika waris bersama kakek. Wallahu a’lam.

Friday, August 7, 2015

faraid 35: Berkumpulnya saudara sekandung dan saudara seayah bersama kakek

Berkumpulnya saudara sekandung dan saudara seayah bersama kakek
Terkadang saudara sekandung atau seayah berkumpul bersama kakek di dalam warisan, baik bersama mereka ada Ashabu Al Furud ataupun tidak.
Hukum di dalam keadaan ini adalah, saudara sekandung dihitung bersama saudara seayah, sehingga bagian kakek menjadi berkurang, kemudian saudara seayah terhalang oleh saudara sekandung (seperti jika tidak ada kakek), permasalahan ini disebut dengan Masail Al Mu’adah.
Contoh, jika ahli waris si mayit adalah kakek, saudara laki-laki sekandung, dan saudara laki-laki seayah.
Maka saudara laki-laki sekandung digabungkan dengan saudara laki-laki seayah, sehingga mengurangi bagian untuk kakek dari mendapatkan setengah menjadi sepertiga dengan Muqasamah. Kemudian saudara laki-laki sekandung menghalangi saudara laki-laki seayah, karena kedudukannya lebih kuat, dan dia (saudara laki-laki sekandung) mengambil bagian dari saudara laki-laki seayah.
Demikian juga jika ahli warisnya adalah kakek, saudara laki-laki, dan Ashabu Al Furud,. Seperti jika seseorang mati dan meninggalkan kakek, istri, saudara laki-laki sekandung, dan saudara laki-laki seayah.
Maka istri mendapat seperempat, lalu saudara sekandung dan seayah dihitung bersama kakek. Sehingga kakek mengambil sepertiga dari harta yang tersisa (karena ketiganya mendapat  bagian yang sama), lalu saudara laki-laki sekandung mengambil semua harta yang tersisa, sementara saudara laki-laki seayah tidak mendapatkan apa-apa (terhalang oleh saudara sekandung).
Akan tetapi jika bersama kakek ada saudara perempuan sekandung (baik satu orang atau lebih), atau saudara perempuan seayah (baik satu orang atau lebih), maka hukum di dalam keadaan tersebut adalah saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah dijumlahkan bersama kakek.
Akan tetapi ada perbedaan dengan yang terdahulu, yaitu satu saudara perempuan mendapat setengah, dan saudara-saudara perempuan (dua orang keatas) mendapat dua pertiga, jika masih ada sisa setelahnya, maka diambil oleh saudara-saudara seayah (baik laki-laki atau perempuan), dan jika tidak ada sisa, maka saudara perempuan menjadi gugur.
Contoh jika tidak ada sisa untuk saudara seayah, setelah diberikannya bagian saudara sekandung, seperti jika ahli waris yang ada adalah kakek, dua saudara perempuan sekandung, dan satu saudara seayah.
Maka di dalam permasalahan ini kakek mendapat sepertiga dari harta yang tersisa (sama seperti jika si kakek mendapatkannya dengan cara Muqasamah), dan dua pertiga yang tersisa akan diambil oleh dua saudara perempuan, sementara saudara laki-laki seayah akan menjadi gugur , karena tidak ada yang yang tersisa baginya.
Contoh lain, jika ahli waris si mayit adalah istri, kakek, satu saudara perempuan, dan dua saudara seayah.
Maka istri mendapat seperempat, kakek mendapat sepertiga dari harta yang tersisa, sehingga masih tersisa setengah yang akan diambil oleh saudara perempuan sekandung, sementara dua saudara laki-laki tidak mendapatkan apa-apa.
Demikian juga jika harta yang tersisa kurang dari setengah (setelah diberikannya bagian untuk kakek), maka sisa harta tersebut akan diambil oleh saudara perempuan sekandung, dan saudara seayah tidak mendapat apa-apa.
Contoh, jika ahli waris si mayit adalah suami, kakek, satu saudara perempuan, dan dua saudara laki-laki seayah.
Maka suami akan mendapat setengah, dan apabila saudara perempuan dan dua saudara laki-laki digabung, maka kakek akan mendapat seperenam atau sepertiga dari harta yang tersisa, sehingga harta peninggalan yang tersisa (setelah di kurangi setengah dan seperenam) adalah sepertiga dari harta warisan (kurang dari setengah) yang akan diambil oleh saudara perempuan, adapun dua saudara laki-laki maka akan menjadi gugur (tidak mendapat apa-apa), karena tidak ada harta peninggalan yang tersisa.
Tetapi kadang-kadang masih ada sisa untuk saudara seayah, setelah diberikannya bagiannya saudara perempuan sekandung.
Contohnya adalah pada permasalahan Al Zaidiyat Al Arba’ (penamaan ini disandarkan kepada Zaid bin Tsabit ra.) yaitu,
Pertama, permasalahan ini disebut juga Al Mas’alah Al ‘Asyariyah, karena permasalahan akan menjadi sahih (pas) jika Aslu Al Mas’alahnya adalah sepuluh.
Yaitu jika ahli waris si mayit adalah kakek, satu saudara sekandung, dan satu saudara laki-laki.
Maka di dalam permasalahan ini, bagian kakek yang terbanyak adalah jika dia mengambil dengan cara Muqasamah. Yaitu, kakek mendapat dua saham (dua perlima dari keseluruhan saham), saudara laki-laki seayah mendapat dua saham (dua perlima dari keseluruhan saham), dan saudara perempuan sekandung mendapat satu saham (seperlima dari keseluruhan saham). Akan tetapi saudara perempuan sekandung mengambil bagian dari saudara laki-laki seayah (karena kedudukannya lebih kuat kepada si mayit, sehingga dua perlima ditambah satu perlima sama dengan tiga perlima, hal ini lebih dari setengah harta warisan), dan tidak menyisakan baginya (saudara laki-laki seayah) kecuali kelebihan dari setengah harta peninggalan (karena bagian maksimal untuk satu saudara perempuan di sini adalah setengah dari harta warisan).
Kalau kita perkirakan jumlah harta warisan adalah sepuluh, maka kakek akan mendapat empat saham (empat persepuluh), saudara perempuan sekandung mendapat lima saham (lima persepuluh atau setengah dari warisan), dan saudara laki-laki seayah mendapat yang tersisa yaitu satu saham (sepersepuluh).
Kedua, Al Mas’alah Al ‘Isyriniyah. Yaitu,
Jika ahli waris si mayit adalah kakek, satu saudara perempuan sekandung, dan dua saudara laki-laki seayah.
Pada permasalahan ini, kakek akan mengambil bagiannya dengan cara Muqasamah, saudara perempuan sekandung akan mengambil setengah, dan dua saudara laki-laki seayah akan mengambil yang tersisa.
Kalau kita perkirakan Aslu Al Mas’alahnya adalah dua puluh, maka kakek akan mendapat delapan saham (delapan per duapuluh), saudara perempuan sekandung akan mendapat sepuluh saham (sepuluh perduapuluh atau setengah), sehingga harta yang tersisa adalah dua saham (dua perduapuluh) yang akan dibagikan kepada dua saudara laki-laki seayah, sehingga masing-masing mendapat satu saham (satu perduapuluh).
Ketiga, permasalah yang disebut dengan Mukhtashirah  Zaid. Yaitu,
Jika ahli warisnya adalah ibu, kakek, satu saudara perempuan sekandung, satu saudara laki-laki, dan satu saudara perempuan seayah.
Maka ibu akan mendapat seperenam karena ada saudara yang jumlahnya lebih dari satu, kakek menadapat sepertiga dari yang tersisa setelah diberikannya bagian si ibu (pada kondisi ini, bagian yang akan diperoleh kakek dengan cara Muqasamah atau sepertiga dari harta yang tersisa adalah sama), saudara perempuan sekandung mendapat setengah, dan harta yang tersisa dibagikan kepada saudara laki-laki dan saudara perempuan seayah (untuk saudara laki-laki mendapat seperti dua bagian saudara perempuan).
Kalau kita kira-kira Aslu Al Mas’alahnya adalah 54 saham, maka ibu akan mendapat 9 saham (seperenam), kakek mendapat 15 saham (sepertiga dari harta yang tersisa setelah bagian si ibu diberikan), saudara perempuan sekandung mendapat 27 saham (setengah dari harta warisan), dan tersisa 3 saham, yang akan diberikan kepada saudara laki-laki seayah sebanyak 2 saham, dan bagi saudara perempuan seayah mendapat satu saham.
Keempat, disebut dengan Tis’iniyatu Zaid. Yaitu,
Jika ahli waris si mayit adalah ibu, kakek, satu saudara perempuan sekandung, dua orang saudara laki-laki seayah, dan satu saudara perempuan seayah.
Maka ibu mendapat seperenam, kakek mendapat sepertiga dari yang tersisa setelah si ibu diberi bagiannya (pada kondisi ini, sepertiga dari yang tersisa lebih banyak dibandingkan jika kakek mengambilnya dengan cara Muqasamah, atau seperenam), saudara perempuan sekandung mendapat setengah, dan harta yang tersisa dibagikan kepada semua saudara seayah.

Kalau kita kira-kira Aslu Al Mas’alahnya adalah 90 saham, maka ibu mendapat 15 saham (seperenam), kakek mendapat 25 saham (sepertiga dari harta yang tersisa setelah ibu di berikan bagiannya), saudara perempuan sekanduang mendapat 45 saham (setengah darai warisan),dan tersisa 5 saham, dan masing-masing dari saudara laki-laki seayah mendapat 2 saham, dan saudara perempuan seayah mendapat 1 saham.

Tuesday, August 4, 2015

faraid 34: Perbedaan kakek dengan saudara laki-laki (di dalam warisan)

Perbedaan kakek dengan saudara laki-laki (di dalam warisan)


Pada pembahasan terdahulu, kami telah mengatakan bahwa kakek jika bersama saudara sekandung atau seayah (baik laki-laki atau perempuan) adalah seperti saudara laki-laki di dalam hukum (warisan), yaitu mengashabahkan saudara perempuan, dan mengambil seperti dua bagian perempuan apabila hal itu baik untuknya. Akan tetapi kakek berbeda dengan saudara si mayit di dalam satu keadaan, yaitu jika ada ibu dan saudara laki-laki. maka di dalam kondisi ini, ibu mendapat sepertiga dari harta warisan, bukan seperenam, seperti jika kakek diganti dengan saudara laki-laki.

Dua saudara laki-laki menghalangi ibu dari mendapat sepertiga menjadi seperenam, akan tetapi ibu tidak terhalang (dari mendapat sepertiga menjadi seperenam) oleh kakek bersama satu saudara laki-laki, sehingga pada kondisi ini, kakek tidak seperti saudara, tetapi mereka berbeda.

 Demikian juga jika ahli warisnya adalah istri, ibu, kakek, dan saudara perempuan.
Maka istri mendapat seperempat, ibu mendapat sepertiga, dan harta yang tersisa diambil oleh kakek yang dibagi bersama dengan saudara perempuan, dan bagi laki-laki mendapat seperti dua bagian perempuan.

faraid 33: Kakek tidak boleh mendapat bagian yang kurang dari seperenam

Kakek tidak boleh mendapat bagian yang kurang dari seperenam
Kakek jika bersama saudara-saudara laki-laki tidak boleh mendapat bagian yang kurang dari seperenam, kalau sendainya tidak tersisa  (setelah diberikannya bagian Ashabu Al Furud) kecuali seperenam, maka kakek akan mengambil seperenam itu, dan saudara-saudara laki-laki tidak mendapat apa-apa.
Misalnya, jika ahli warisnya adalah dua anak perempuan, ibu, kakek, dan satu saudara laki-laki.
Maka pada kondisi ini, dua anak perempuan akan mendapat dua pertiga, ibu mendapat seperenam, dan kakek mendapat sepertiga yang tersisa, dan saudara laki-laki menjadi gugur (tidak mendapat apa-apa).
Demikian juga jika harta yang tersisa (setelah diberikannya bagian Ashabu Al Furud) adalah kurang dari seperenam, maka kakek juga mendapat seperenam, dan akan terjadi Aul.
Contoh, jika ahli warisnya adalah suami, dua anak perempuan, kakek, dan saudara laki-laki.
Maka suami mendapat seperempat, dua anak perempuan mendapat dua pertiga,  sehingga harta yang tersisa kurang dari seperenam, maka kakek mengambil seperenam dengan cara Aul, demikian juga ahli waris yang lain mengambil bagiannya dengan cara Aul.
Aul adalah jika saham yang ada lebih banyak dari pada Aslu Al Masalah (pokok masalah), sehingga bagian dari setiap ahli waris akan dikurangi.
Dan jika tidak tersisa sedikitpun setelah diberikannya bagian Ashabu Al Furud, maka kakek juga diberi seperenam dari harta warisan, dan akan terjadi Aul, sementara saudara laki-laki menjadi gugur.
Contoh, seseorang meninggalkan ahli waris berupa, dua anak perempuan, suami, ibu, kakek, dan satu saudara laki-laki.

Maka dua anak perempuan akan mendapat dua pertiga, suami mendapat seperempat, ibu mendapat seperenam, dan kakek mendapat seperenam, sementara saudara laki-laki tidak mendapatkan apa-apa. Sehingga akan terjadi Aul, dan setiap ahli waris akan mengambil bagiannya dengan cara Aul.