Macam-macam nazar
Nazar terbagi menjadi menjadi tiga macam:
1- Nazar Al Lajaj
Yaitu nazar yang terjadi karena permusuhan, atau disebabkan karena
rasa marah. seperti ucapan seseorang ditengah-tengah pertikaiannya, “Kalau saya
berbicara dengan fulan, maka wajib bagi saya untuk berpuasa satu bulan.”
2- Nazar Al Mujazat (Al Mukafaat)
Yaitu bernazar untuk melakukan suatu ibadah jika tujuannya
tercapai, nazar ini tanpa didasari rasa permusuhan. Seperti seseorang yang
berkata, “Jika Allah menyembuhkan penyakitku, maka wajib bagiku untuk
bersedekah satu ekor kambing.”
3- Al Nazar Al Mutlak
Yaitu bernazar untuk melakukan suatu ibadah, tanpa digantungkan
dengan tujuan tertentu dari orang yang bernazar, dan bukan didasari karena rasa
permusuhan atau marah. Seperti seseorang yang berkata, “ Wajib bagi saya puasa
hari kamis.”
Nazar jenis kedua dan ketiga disebut juga Nazar Al Tabarrur,
disebut begitu karena dia bersumpah untuk melakukan satu kebaikan (Al Bir),
atau karena ingin bertaqarrub kepada Allah ta’ala.
Hukum setiap jenis nazar
Hukum nazar jenis pertama yaitu nazar Al Lajaj adalah wajib bagi
orang yang bernazar untuk menunaikan nazarnya atau membayar kafarat seperti
kafarat sumpah. ia diperbolehkan untuk memilih satu diantara dua hal tersebut,
karena nazar jenis ini menyerupai nazar dari satu sisi (yaitu karena dia
mewajibkan sesuatu kepada dirinya sendiri), dan menyerupai sumpah dari sisi
yang lain, yaitu karena dia mengharamkan sesuatu untuk dirinya sendiri.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim didalam
kitab Al Nazar, bab Kafarah Al Nazar : 1645, dari Uqbah bin Amir ra. Dari
Rasulullah saw. bersabda, “ Kafarah nazar seperti kafarah sumpah.”
Imam Al Nawawi berkata, “Jumhur
(ulama madzhab syafi’i) berpendapat bahwa hadits ini berlaku untuk nazar
Al Lajaj.”
Adapun hukum nazar jenis kedua yaitu nazar Al Mujazat, maka apabila
hal yang dijadikan nazar tersebut terpenuhi, seperti kalau Allah menyembuhkan
penyakitnya, maka wajib bagi orang yang bernazar untuk melaksanakan nazarnya
tersebut, dan tidak dapat diganti dengan sesuatu yang lain.
Dalilnya adalah firman Allah azza wa jalla, “Dan tepatilah janji
dengan Allah apabila kamu berjanji.” (Al Nahl:91), dan sabda Nabi saw., “Barangsiapa
bernazar untuk mentaati Allah, maka hendaklah ia mentaatinya.” Hadits ini diriwayatkan
oleh imam Al Bukhari didalam kitab Al Aiman wa Al Nudzur, bab Al Nazar fi Al
Tha’ah :6318 dari Aisyah ra.
Adapun hukum nazar jenis ketiga yaitu Al Nazar Al Mutlak, maka
wajib bagi orang yang bernazar untuk mewujudkan apa yang telah ia wajibkan
untuk dirinya sendiri secara mutlak, yakni tanpa menggantungkan kepada sesuatu
apapun.
Dalilnya adalah keumuman dalil yang terdahulu, akan tetapi dia
boleh mengakhirkan waktu untuk memenuhi nazarnya tersebut, selama masih
memungkinkan baginya untuk memenuhi nazarnya itu. Dan tidak boleh diganti
dengan kafarat sumpah, karena nazar jenis ini tidak mengandung makna sumpah.
Syarat-syarat nazar:
Pertama: dilihat dari orang yang bernazar
Syarat orang yang bernazar ada tiga:
1- Islam
Nazar orang kafir tidak sah, karena orang kafir bukan ahli ibadah,
dan ibadah yang dilakukan seseorang tidak sah selama dia masih kafir.
2- Mukallaf
Nazar yang diucapkan oleh seorang anak kecil dan orang gila tidak sah,
karena mereka bukanlah orang yang berhak untuk mewajibkan apapun terhadap diri
mereka sendiri. Sehingga ketika ia mewajibkan suatu ibadah terhadap dirinya
maka hal itu juga dianggap tidak sah, karena dia tidak berhak untuk melakukan
hal tersebut, sebab anak kecil atau orang gila tidak terbebani dengan hukum
syariat.
3- Tidak dipaksa
Nazar orang yang dipaksa tidak sah, karena sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya
Allah memaafkan dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa, dan
sesuatu yang dipaksakan kepadanya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah didalam kitab Al Thalak, bab Thalak Al
Mukrah wa Al Nasi: 2045, dan disahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim, dari
Ibnu Abbas ra.
Kedua: dilihat dari sesuatu yang dijadikan nazar
Syarat sesuatu yang boleh dijadikan nazar ada dua:
1- Sesuatu yang dijadikan nazar berupa ibadah
Tidak boleh bernazar dengan sesuatu yang mubah, yaitu hal-hal yang
tidak memiliki konsekwensi pahala atau iqab bagi orang yang melakukan atau
meninggalkannya.
Kalau seseorang bernazar untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu
yang mubah seperti makan atau tidur, maka tidak wajib baginya untuk melakukan
atau meninggalkannya, dan dia tidak menanggung apapun.
Dalil hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari
didalam kitab Al Aiman wa Al Nudzur, bab Al Nazar fi Maa Laa Yamlik wa fi
Maksiat :6326 dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata, “Ketika Nabi saw. sedang
berkhutbah, tiba-tiba ada seseorang yang terus berdiri, lalu Rasulullah saw.
bertanya tentangnya, para sahabat menjawab, ‘ Itu adalah Abu Israil, ia
bernazar untuk terus berdiri dan tidak mau duduk, tidak berteduh, tidak
berbicara, dan berpuasa, lalu Rasulullah saw. bersabda, “Perintahkan dia untuk
berbicara, berteduh, duduk, dan hendaklah ia menyempurnakan puasanya.”
Sesungguhnya perintah Nabi saw. untuk menyempurnakan puasanya,
karena puasa adalah satu bentuk ketaatan sehingga wajib untuk dipenuhi apabila
ia bernazar dengan hal tersebut.
Demikian juga kita tidak boleh bernazar dengan sesuatu yang
diharamkan, seperti membunuh dan berzina. Kita juga dilarang bernazar dengan
sesuatu yang dimakruhkan, seperti bernazar untuk meniggalkan shalat sunah rawatib.
Karena melakukan sesuatu yang diharamkan atau dimakruhkan bukanlah hal yang
bertujuan untuk mencari ridla Allah azza wa jalla.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada nazar dalam bermaksiat kepada
Allah.” Hadits ini diriwayatkan oleh imam Muslim didalam kitab Al Nazar, bab
laa wafaa’a linazarin fi ma’siyatillah :1641, dan telah disebutkan didalam
hadits yang terdahulu yang diriwayatkan oleh imam Al Bukhari didalam kitab Al
Aiman wa Al Nudzur, bab Al Nazar fii Al Tha’ah:6318, dari Aisyah ra. Rasulullah
saw. bersabda, “Barang siapa bernazar untuk bermaksiat kepada Allah maka
janganlah ia bermaksiat kepada-Nya.”
Rasulullah saw. bersabda, “ Tidak ada nazar kecuali didalam hal-hal
yang bertujuan untuk mencari ridla Allah.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud didalam
kitab Al Aiman wa Al Nudzur, bab Al Yamin fi Qati’at Al Rahim :3273.
2- sesuatu yang digunakan untuk bernazar bukan fardlu ain
Kalau seseorang bernazar untuk shalat dzuhur atau bernazar untuk
membayar zakat, maka nazar tersebut adalah nazar yang batil. karena tidak ada
hal baru dari nazar tersebut, disebabkan sesuatu yang digunakan untuk bernazar
adalah merupakan kewajiban bagi orang tersebut tanpa perlu bernazar.
Dan dibolehkan untuk bernazar dengan fardlu kifayah, seperti kalau
seseorang bernazar melakukan shalat janazah, atau bernazar untuk mempelajari
ilmu yang merupakan fardlu kifayah bagi kaum muslimin untuk mempelajarinya
seperti ilmu kedokteran dan riset tekhnologi.
Hal
itu dibolehkan, karena nazar yang seperti ini menjadikan fardlu kifayah sebagai
fardlu ain bagi orang yang bersumpah
No comments:
Post a Comment