Tuesday, September 16, 2014

wakaf part 2

Rukun-rukun wakaf:
Rukun wakaf ada empat, yaitu: Al Waqif (orang yang berawakaf), Al Mauquf (yang diwakafkan), Al Mauquf Alaih (yang diberi wakaf), dan Al Shighah (sighat wakaf).
Dan masing-masing dari rukun yang empat ini, memiliki syarat-syaratnya tersendiri. sehingga ketika syarat-syarat ini terpenuhi maka wakafnya akan menjadi sempurna.
1- Syarat-syarat orang yang berwakaf:
a. mukallaf, yaitu orang yang merdeka, baligh, dan berakal. Oleh karena  itu wakaf dari seorang budak tidak sah karena dia tidak memiliki hak milik, sebab diri dan hartanya adalah milik tuannya. Demikian juga wakaf dari anak kecil dan orang gila tidak sah, meskipun wakaf tersebut diberikan oleh walinya.
Anak kecil atau orang gila yang berwakaf, maka wakafnya tersebut batil, meskipun dibolehkan oleh walinya. karena perbuatan anak kecil dan orang gila tidak dianggap di dalam syariat, sehingga wakafnya juga tidak sah. Dan tidak dibolehkan bagi walinya tersebut untuk bersedekah dengan menggunakan harta keduanya.
b. Memiliki wewenang untuk menggunakan hartanya, wakaf yang diberikan oleh orang yang hartanya ditahan (Al Mahjur Alaihi) karena safih (dungu) atau bangkrut, adalah tidak sah. karena mereka dilarang untuk menggunakan hartanya, sehingga mereka juga dilarang untuk menyumbang dengan hartanya tersebut. dan juga dilarang untuk memberikan harta yang ditahan tersebut kepada mereka.
Ditahannya harta orang yang dungu adalah demi kemaslahatannya sendiri, sementara ditahannya harta orang yang bangkrut adalah demi kebaikan orang yang memberinya hutang.
Allah berfirman, “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (Al Nisa: 5).
Safih adalah orang yang tidak bisa mengelola hartanya.
Imam Al Syafi’i menafsirkan kata Safih dengan dengan orang mubazir, yaitu orang yang membelanjakan hartanya di dalam hal-hal yang diharamkan.
Makna firman Allah ta’ala, “Harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” Yaitu, Allah menjadikan harta itu untuk kebaikan hidupmu.
Al Hakim meriwayatkan di dalam Al Buyu’, bab Al Rahn Mahlub Wa Markub, juz:2, hal: 58, dan Al Daraqutni, dari Ka’ab bin Malik, bahwa Nabi saw. menahan harta Muadz bin Jabal ra. dan menjualnya untuk menutupi hutangnya (Muadz bin Jabal), lalu beliau membaginya kepada orang yang menghutanginya, masing-masing mendapat lima per tujuh dari haknya, lalu Nabi saw. bersabda, “Kalian tidak mendapatkan kecuali itu.”
c. tidak dipaksa, wakaf yang diberikan oleh orang yang dipaksa adalah tidak sah, karena di antara syarat taklif(pembebanan hukum syariat) adalah tidak dipaksa.

Wakaf yang diberikan oleh orang yang sakit menjelang kematiannya.
Orang yang sakit parah yang kemungkinan besar akan meninggal, maka tidak boleh berwakaf melebihi sepertiga dari hartanya. hal ini demi menjaga hak ahli waris akan harta yang ditinggalkannya. Dan dibolehkan baginya untuk mewakafkan sepertiga atau kurang, dari hartanya tersebut demi kebaikannya, agar ia terus mendapatkan pahala meskipun ia telah meninggal.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Al Bukhari di dalam kitab Al Janaiz, bab Ratsa Al Nabi saw. Sa’ad bin Khaulah: 1233, dan imam Muslim di dalam kitab Al Washiyah, bab Al Washiyah bi Al Tsuluts: 1628, dari Sa’ad bin Abi Waqqas ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. mengunjungiku pada haji wada’, saat itu aku sedang sakit parah. Lalu aku berberkata, “Sakitku sudah parah, dan aku memiliki harta, sementara tidak ada yang mewarisiku kecuali seorang anak perempuan, bolehkah aku bersedekah dengan dua pertiga dari hartaku?” Rasulullah menjawab, “Tidak,” lalu aku bertanya, “Setengah?” beliau menjawab, “Tidak,” lalu Rasulullah melanjutkan sabdanya, “(bersedekahlah) sepertiga, dan sepertiga itu cukup banyak, sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik dari pada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada manusia.”
Wakaf yang diberikan oleh orang kafir
Para ulama madzhab Al Syafi’iyah berkata, “Wakaf yang diberikan oleh orang kafir itu sah meskipun untuk masjid dan juga tidak diyakini olehnya sebagai ibadah. Dan orang kafir boleh untuk memberikan sumbangan. Karna sumbangan atau sedekah seperti ini tidak membutuhkan niat, dan sebagaimana yang sudah diketahui bahwa syarat niat adalah islam.”
Orang kafir mendapatkan balasan dari sedekahnya di dunia, adapun di akhirat, maka dia tidak mendapatkan balasan apa-apa.
Imam Muslim meriwayatkan di dalam kitab Sifat Al Munafiqin Wa Ahkamuhum, bab Jaza’u Al Mukmin Bihasanaatihi Fi Al Dunya Wa Al Akhirat Wa Ta’jil Hasanaati Al Kafir Fi Al Dunya:2808, dari Anas bin Malik ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menzalimi kebaikan orang mukmin, ia akan diberi (balasan) di dunia karena kebaikannya, dan akan dibalas di akhirat, adapun orang kafir maka ia akan diberi makan karena kebaikan yang ia lakukan di dunia karena Allah, sehingga ketika di akhirat dia tidak memiliki kebaikan yang bisa dibalas.”

2- Syarat-syarat harta yang diwakafkan:
Syarat-syarat harta yang diwakafkan adalah sebagai berikut:
a. Harta yang diwakafkan berupa benda tertentu, sehingga wakaf tidak boleh hanya berupa hak pakai tanpa disertai hak kepemilikan terhadap benda tersebut. baik hak pakai tersebut hanya bersifat sementara (seperti orang yang berwakaf berupa hak untuk tinggal di dalam rumahnya selama satu tahun), atau hak pakai selamanya (seperti orang yang wakaf berupa hak untuk tinggal di tempatnya selamanya).
Hal itu karena benda adalah merupakan asal, sementara hak pakai adalah cabang, sehingga hukum cabang mengikuti hukum asal. Dan selama asal (benda yang diwakafkan) masih menjadi milik orang yang berwakaf, maka demikian juga hak pakai masih menjadi milik orang yang berwakaf. dan tidak dapat terpisah sendiri dengan diwakafkan.
Demikian juga wakaf tidak sah apabila harta yang diwakafkan tersebut tidak ditentukan (tidak jelas), seperti jika dia mewakafkan salah satu dari dua rumahnya atau salah satu dari dua mobilnya, tanpa ditentukan rumah atau mobil mana yang akan diwakafkan. Wakaf seperti ini tidak sah, karena tidak ada kejelasan akan harta yang diwakafkan,  dan ucapannya tersebut dianggap gurauan dan tidak serius.
b. Harta yang diwakafkan adalah merupakan hak milik orang yang berwakaf, yang mungkin untuk dipindahtangankan, dan harta tersebut memiliki faedah atau manfaat.
Berdasarkan dengan hal ini, maka tidak sah apabila seseorang berwakaf dengan menggunakan harta yang bukan miliknya. karena tujuan dari wakaf adalah memindahkan hak kepemilikan harta yang diwakafkan dari tangan pemiliknya. sehingga seseorang yang tidak memiliki barang tersebut, bagaimana mungkin akan memindahkan hak kepemilikannya kepada pihak lain?. Oleh karena itu, berwakaf dengan harta yang bukan miliknya adalah sesuatu yang sia-sia.
Berdasarkan ini pula, maka tidak sah bagi yang orang merdeka untuk mewakafkan jiwanya. karena jiwa tersebut bukanlah miliknya, yang dapat dia wakafkan, Akan tetapi jiwa tersebut adalah milik Allah ta’ala.
Demikian juga tidak sah mewakafkan janin hewan ternak yang masih didalam perut induknya tanpa sekalian mewakafkan induk tersebut, karena janin tersebut tidak bisa dipindahkan kepemilikannya selama masih berada di dalam perut induknya. Tetapi jika yang diwakafkan adalah induknya, maka dibolehkan untuk mewakafkan janin yang ada di dalam perutnya, karena mengikuti hukum dari induknya.
Harta yang diwakafkan tersebut harus memiliki manfaat dan faedah yang bisa diharapkan dan dituju. Kalau misalnya seseorang mewakafkan tanah yang tidak bisa ditanami atau dibangun diatasnya, atau dia berwakaf dengan pakaian robek yang sudah tidak dapat dimanfaatkan, maka wakaf seperti ini tidak sah. Karena tujuan dari wakaf adalah untuk dimanfaatkan, sementara berwakaf dengan hal-hal seperti ini tidak ada manfaatnya.
c. Harta yang diwakafkan dapat dimanfaatkan terus menerus, sehingga tidak boleh wakaf berupa makanan dan yang semisalnya dari jenis-jenis barang yang akan habis ketika dimanfaatkan.
Maksud dari harta yang dapat dimanfaatkan terus menerus adalah adalah terus menerus yang bersifat nisbi bukan abadi. Yaitu, barang tersebut dapat dimanfaatkan untuk beberapa waktu. Kalau misalnya seseorang wakaf berupa mobil atau hewan ternak, maka wakaf seperti ini sah meskipun mobil tersebut tidak dapat dimanfaatkan selamanya, karena mobil tersebut nantinya akan rusak dan tidak dapat dipakai lagi, demikian juga hewan.
Dan tidak disyaratkan bahwa harta yang diwakafkan tersebut dapat dimanfaatkan pada waktu itu juga (saat diwakafkan), yang penting harta tersebut dapat dimanfaatkan meskipun pada waktu yang akan datang. Sehingga dibolehkan untuk mewakafkan binatang yang masih kecil, karena binatang tersebut mungkin untuk dimanfaatkan pada waktu yang akan datang.
d. Harta yang diwakafkan dapat dimanfaatkan untuk sesuatu yang dibolehkan dan tidak diharamkan. Sehingga wakaf tidak sah, jika harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat dimanfaatkan kecuali untuk hal yang diharamkan, seperti alat musik dan yang sejenisnya, karena wakaf adalah merupakan ibadah yang tidak dapat bersatu dengan kemaksiatan.

Wakaf dari pemimpin kaum muslimin atau khalifah berupa harta yang diambil dari Bait Al Mal
Para ulama madzhab Syafi’iyah membolehkan bagi pemimpin kaum muslimin atau khalifah untuk mewakafkan sebagian dari tanah milik Bait Al Mal, apabila dia melihat ada maslahat bagi umat islam di dalam hal tersebut. hal ini adalah merupakan pengecualian, karena baitulmal bukanlah milik seorang khalifah, akan tetapi mereka (ulama Syafi’iyah) membolehkannya. Dengan dalil bahwa Umar bin Al Khattab ra. Pernah mewakafkan sebagian tanah yang ada di Irak.
Imam Al Nawawi berkata di dalam Al Raudlah, “Kalau seorang imam berpendapat untuk mewakafkan tanah hasil ghanimah, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar ra. Maka hukumnya boleh, jika orang yang sebenarnya berhak untuk mendapatkan ghanimah tersebut mau mengalah dan diganti dengan yang lainnya.”

Wakaf berupa tanah dan bangunan
Boleh mewakafkan harta millik berupa tanah, rumah, toko, sumur, atau mata air, selama harta tersebut masih bisa dimanfaatkan pada waktu sekarang atau waktu yang akan datang.
Hal tersebut berdasarkan Al Quran, Al Sunah, dan contoh dari sahabat. telah kami sebutkan pada pembahasan terdahulu, perkataan Jabir ra., “Tidaklah tersisa salah seorang dari para sahabat yang mampu, kecuali dia pernah berwakaf.”dan juga ucapan Imam Al Syafi’I, “Telah sampai berita kepadaku bahwa delapan puluh sahabat dari golongan Anshar pernah bersedekah dengan Shadaqah Muharramat (wakaf). Dan sebagaimana yang telah diketahui, bahwa harta yang mereka wakafkan adalah berupa tanah, rumah, dan sumur.

Wakaf berupa harta yang dapat dipindahkan
Dibolehkan untuk wakaf berupa harta yang dapat dipindahkan seperti hewan, mobil, alat perang, pakaian, perabotan, bejana, dan kitab-kitab yang bermanfaat.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Al Bukhari di dalam Kitab Al Jihad, bab Man Ihtabasa Farasan: 2698, dan Al Nasai di dalam Al Khail, bab ‘Alaf Al Khail: 2/225, dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, “Rasulluah saw. bersabda, “Barang siapa mewakafkan seekor kuda di jalan Allah karena didasari iman kepada Allah dan percaya dengan janji-Nya, maka sesungguhnya setiap makanan, minuman, kotoran, dan air kencingnya, akan menjadi timbangan (kebaikannya) pada hari kiamat.”
Imam Al Bukhari meriwayatkan di dalam kitab Al Zakat, bab Qaullah ta’ala, “Wa Fi Al Riqaabi…,”:1399, dan imam Muslim di dalam kitab Al Zakat, bab Taqdim Al Zakat Wa Man’uha: 987, dari Abu Hurairah ra. (Rasulullah saw bersabda), “Adapun Khalid bin Walid, sungguh kalian telah mendzaliminya, ia telah mewakafkan baju-baju besi miliknya, dan menyiapkannya untuk berperang dijalan Allah.”

Wakaf berupa harta milik bersama (Al Musya’)
Al Musya’ adalah merupakan harta milik bersama yang tidak dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Boleh berwakaf dengan harta milik bersama, baik harta tersebut berupa harta yang bergerak, atau berupa tanah dan bangunan. Baik yang berwakaf tersebut hanya satu orang berupa bagiannya saja, atau semua orang yang ikut memiliki barang tersebut, semua ini sama dan hukumnya boleh secara syar’i.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Nasai di dalam Al Ihtibas, bab Kaifa Yuktab Al Muhtabis:6/230, 231, dari Ibnu Umar ra. Ia berkata, “Umar ra. Berkata kepada Nabi saw., “Sungguh aku belum pernah mendapatkan harta yang lebih aku cintai dari seratus saham yang aku dapat di Khaibar. Dan aku ingin bersedekah dengannya,” lalu Rasulullah saw. bersabda, “Tahanlah pokoknya dan jadikan buahnya di jalan Allah.”
Imam Al Bukhari meriwayatkan di dalam Kitab Al Washaya, bab Idza Auqafa Jamaah Ardlan Musya’an Fahuwa Jaiz: 2619, dari Anas ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. memerintahkan untuk membangun sebuah masjid, beliau berkata, “Wahai bani Al Najar! Juallah kebunmu ini!” mereka berkata, “Demi Allah, kami tidak meminta bayarannya kecuali kepada Allah.”
Al Khatib Al Syarbini berkata di dalam kitabnya Mughni Al Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz Al Minhaj Lil Imam Al Nawawi, “Umat telah bersepakat untuk mewakafkan tikar dan lampu di dalam masjid, tanpa ada yang mengingkarinya.”

3- Syarat-syarat yang diberi wakaf
Pihak yang diberi wakaf ada dua macam, Al Mu’ayyan (pihak yang sudah ditentukan), baik satu orang atau lebih. Dan I (pihak yang belum ditentukan), seperti wakaf kepada satu golongan, misalnya orang-orang fakir. Dan masing-masing memiliki syaratnya tersendiri.
Syarat-syarat pihak yang diberi wakaf dan sudah ditentukan (Al Mu’ayyan):
Apabila pihak yang diberi wakaf sudah ditentukan, baik satu orang atau lebih, maka disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
Orang yang ingin diberi wakaf, memungkinkan untuk diberi hak milik saat barang tersebut diwakafkan.
Maka tidak sah suatu wakaf yang diberikan kepada sang anak, kalau pada kenyataanya orang tersebut tidak memiliki anak. Demikian juga wakaf yang diberikan kepada orang fakir dari keturunan fulan, dan pada kenyataannya keturunan orang tersebut tidak ada yang fakir ketika wakaf diberikan, maka wakaf seperti ini tidak sah.
Wakaf yang diberikan kepada janin, mayit, hewan ternak,  rumah, dan lain sebagainya (dari pihak-pihak yang tidak mungkin untuk diberi hak milik saat wakaf diberikan) juga tidak sah.
Demikian juga wakaf berupa mushaf atu kitab ilmu syar’i kepada selain orang islam, hukumnya tidak sah. Begitu pula tidak sah mewakafkan sesuatu kepada dirinya sendiri, karena hal yang demikian tidak ada manfaatnya, hal ini disebut dengan Tahshil Al Hasil (berusaha memperoleh sesuatu yang sebenarnya sudah dimiliki), karena barang tersebut sebelum diwakafkan adalah merupakan miliknya, dan tidak terjadi apa-apa terhadap barang tersebut setelah diwakafkan (maksudnya, baik sebelum atau sesudah diwakafkan, barang tersebut tetap akan menjadi miliknya, karena dia mewakafkan untuk dirinya sendiri).

Wakaf yang diberikan kepada orang kafir
Ulama Syafi’iyah membolehkan untuk memberikan wakaf kepada orang kafir Dzimmi (orang kafir yang membayar jizyah yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin, pentj-) dan sudah di tentukan orangnya, selama orang yang memberikan wakaf tersebut tidak bermaksud untuk bermaksiat ketika memberikannya. Karena sedekah kepada kafir Dzimmi dibolehkan, demikian juga dibolehkan untuk memberikan wakaf kepada mereka.
Kalau seandainya ia mewakafkan hartanya untuk tujuan maksiat, seperti apabila dia memberi wakaf kepada pelayan gereja untuk digunakan bagi kepentingan gereja, maka wakaf seperti ini tidak sah. Karena kemaksiatan bertolak belakang dengan disyariatkannya wakaf.
Al Mu’ahad (yaitu orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati, pentj-) dan Al Musta’man (orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin) juga boleh diberi wakaf seperti orang kafir Dzimmi, selama keduanya berada di negara islam, dan perjanjian kaum muslimin berlaku bagi mereka berdua.
Adapun kafir Harbi (orang kafir yang melakukan peperangan dengan kaum muslimin) dan orang murtad, maka tidak boleh memberikan harta wakaf kepada mereka. Karena selama mereka masih kafir dan murtad, maka mereka tidak boleh dibiarkan terus menerus, dan tidak boleh bagi umat islam untuk mengakui kekafirannya. Wakaf adalah shadaqah jariyah, maka sebagaimana tidak sahnya berwakaf dengan harta yang tidak bertahan lama, maka juga tidak dibolehkan memberikan wakaf kepada orang yang tidak bertahan lama, karena syariat telah memerintahkan untuk memerangi dan membunuh mereka (kafir Harbi dan Murtad).
Imam Al Bukhari di dalam Kitab Al Iman, bab Fain Taabuu Wa Aqaamuu Al Shalah Wa Atau Al Zakah Fakhalluu Sabiilahum: 25, dan imam Muslim di dalam kitab Al Iman, bab Al Amru Biqitaali Al Nas Hatta Yakuuluu La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah: 22, dari Abdullah bin Umar bin Al Khattab ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan nabi Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, dan membayar zakat, apabila mereka telah melakukan hal itu, maka mereka telah menjaga darah mereka dariku, kecuali dengan hak islam, dan perhitungan mereka ada pada Allah.”
Maksud dari “kecuali dengan hak islam” adalah kecuali apabila mereka melakukan sesuatu yang mewajibkan untuk dikenai hukuman, baik berupa denda atau had di dalam agama islam, maka mereka akan dihukum dengan hal tersebut sebagai Qisas.
Imam Al Bukhari meriwayatkan di dalam kitab Al Jihad, bab La Yua’dzab Bi ‘Adzabillah: 2795, dan Al Tirmidzi di dalam kitab Al Hudud, bab Ma Ja’a Fi Al Murtad: 1458, dari Ikrimah ra. Bahwa Nabi saw. berkata, “Barang siapa mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah.”

Syarat-syarat pihak yang diberi wakaf Ghairu Al Mu’ayyan (belum ditentukan)
 Ada satu syarat bagi pihak yang diberi wakaf Ghairu Al Mu’ayyan (belum ditentukan), seperti orang-orang fakir, masjid-masjid, sekolah-sekolah, dan yang lainnya, sehingga wakaf tersebut menjadi sah secara syar’i, yaitu:
Wakaf tersebut bukan wakaf dalam kemaksiatan. karena wakaf dalam kemaksiatan hanyalah akan membantu kemaksiatan, dan menguatkan keberadaannya. Sedangkan wakaf hanyalah disyariatkan untuk bertaqarrub kepada Allah ta’ala. Sehingga wakaf dan kemaksiatan adalah dua hal yang berlawanan dan tidak mungkin bersatu.
Berdasarkan dengan hal-hal di atas, maka wakaf untuk tempat ibadah orang kafir seperti gereja dan sinagog adalah tidak sah, demikian juga tidak dibolehkan berwakaf untuk membantu tempat ibadah orang kafir, baik itu untuk membeli tikar atau lampu dari tempat ibadah tersebut.
Kita juga tidak boleh berwakaf untuk membangun atau mengembangkan rumah ibadah orang kafir, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan hal tersebut.
Demikian juga tidak dibolehkan mewakafkan senjata kepada orang yang sering menghidupkan fitnah atau mewakafkan senjata tersebut kepada para perampok. karena jika hal itu dilakukan, maka dia telah membantu kemaksiatan, sebagaimana yang disebutkan pada pembahasan terdahulu.
Sehingga menjadi jelas, bahwa memberikan wakaf kepada orang-orang fakir, ulama, Qurra’, mujahidin, ka’bah, masjid-masjid, sekolah-sekolah, rumah sakit, dan kafan orang yang meninggal, hukumnya adalah boleh secara syar’i.
wakaf adalah merupakan ibadah yang dianjurkan oleh agama islam, dan dijanjikan dengan pahala yang banyak bagi orang yang berwakaf.

Wakaf yang diberikan kepada orang kaya
Memberikan wakaf kepada orang kaya dibolehkan secara syar’i, karena sedekah juga boleh diberikan kepada mereka. Dan memberikan wakaf kepada orang kaya juga bukan kemaksiatan kepada Allah ta’ala, demikian juga wakaf adalah pemberian hak milik, dan orang kaya berhak untuk hal tersebut.
Batasan miskin dan kaya  
 Kalau seseorang wakaf berupa rumah, dan berkata, “Aku mewakafkannya agar hasilnya untuk orang-orang fakir, atau orang-orang kaya,” maka siapakah orang fakir atau orang kaya yang dimaksudkan?
Orang fakir: batasan orang fakir yang boleh diberi wakaf adalah seperti orang fakir yang berhak menerima zakat, artinya, jika dia berhak menerima zakat maka dia juga berhak menerima wakaf karena kefakirannya, dan jika tidak berhak menerima zakat, maka dia juga tidak diberi wakaf.
Demikian juga diperbolehkan untuk memberikan wakaf kepada orang-orang miskin (mereka lebih baik kondisinya dibandingkan dengan orang fakir), karena zakat juga boleh diberikan kepada mereka. Akan tetap wakaf tidak boleh diberikan kepada istri yang fakir dan masih memiliki suami yang menafkahinya. demikian juga tidak dibolehkan memberi wakaf kepada anak-anak yang masih dicukupi oleh bapaknya, karena zakat tidak boleh diberikan kepada mereka.
 Orang kaya: batasan orang kaya adalah mereka yang tidak boleh menerima zakat karena memiliki harta, atau karena masih mampu dan masih bekerja, atau masih dicukupi oleh orang lain.

Wakaf yang diberikan untuk jalan kebaikan atau untuk sabilillah
Kalau orang yang berwakaf berkata ketika memberikan wakafnya, “Aku mewakafkan tanahku, dan hasil dari tanah ini untuk jalan kebaikan atau pahala.” Maka siapakah yang berhak untuk menerima wakaf ini?
Jawabannya adalah, bahwa yang berhak untuk menerima hasil dari tanah yang diwakafkan tersebut adalah kerabat orang yang berwakaf, kalau tidak ada, maka yang berhak adalah semua kelompok yang berhak untuk menerima zakat kecuali Amil zakat dan muallaf.
Adapun jika orang yang berwakaf mengatakan bahwa wakafnya adalah untuk sabilillah, maka yang berhak menerima hasilnya adalah orang-orang yang ikut berperang yang berhak menerima zakat.
Dan jika dia mewakafkan hartanya tersebut untuk sabilillah, jalan kebaikan, dan untuk mendapat pahala, maka sepertiga dari wakaf tersebut untuk orang-orang yang berperang dijalan Allah, lalu sepertiga untuk kerabat orang yang berwakaf, dan sepertiga lagi untuk orang-orang yang berhak menerima zakat kecuali Amil zakat dan muallaf.
Wakaf untuk menghias masjid dan membangun kuburan
Para fuqaha berkata, “Tidak sah wakaf yang diberikan untuk menghias atau mengukir masjid, juga tidak sah wakaf yang diberikan untuk membangun kuburan, karena jenazah yang ada di dalam kuburan tersebut telah hancur, sehingga tidak perlu untuk dibangun, kita juga dilarang untuk menggunakan harta di dalam hal-hal yang tidak bermanfaat”.
Apakah mereka tidak mendengarkan nasihat para ulama ini, sehingga mereka melakukan hal yang dilarang tersebut, bahkan ulama mereka ikut mengakui hal tersebut, atau mendiamkannya?!
Berapa banyak harta yang mereka kumpulkan dari orang-orang fakir dan kaya, atau dari orang yang memberikan wakaf dan hibah untuk menghias masjid, mengukir dinding dan kubahnya, atau mempermewah mihrab dan mimbarnya, mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa hal itu adalah perbuatan berlebih-lebihan yang dibenci. Hal itu juga dapat mengganggu hati manusia di dalam shalat mereka, dan dapat menyibukkan pikiran mereka (dengan segala perhiasan ini) dari ibadah yang mereka lakukan. Seolah-olah mereka tidak pernah membaca firman Allah ta’ala, “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) mereka yang khusyu di dalam salatnya.” (Al Mukminun: 1-2).
Akan tetapi bagaimana salat akan khusyu, jika di arah depan, arah kiblat, kanan dan kiri orang yang salat terdapat hiasan dan ukiran yang menyita perhatian?! Tidak ada daya dan upaya kecuali Allah SWT.
Perbuatan berlebih-lebihan yang ada di dalam masjid seperti ini juga terdapat dalam membangun kuburan, meninggikan, mengkapur, dan membuat kubah serta jembatan diatasnya, sehingga engkau akan mengiranya sebagai istana dan bukan kuburan, seolah-olah penghuni kubur tersebut hidup dan menikmati bangunan tersebut.
Sebagian manusia membelanjakan harta mereka untuk membangun makam-makam mereka. mereka juga berwasiat agar dibuatkan kuburan yang megah dan mewah sebagai makamnya ketika meninggal nanti, wasiat seperti ini adalah wasiat yang batil secara syar’i, dan wakaf dalam hal seperti ini adalah wakaf yang sia-sia.
Imam Al Nawawi rahimhullah berkata di dalam matan Al Minhaj, “Dimakruhkan mengkapur, membangun, dan menulis di atas kuburan, dan kalau dia berderma dengan membuat bangunan di atas kuburan, maka (bangunan tersebut) dihancurkan.”
Al Khatib Al Syarbini berkata di dalam Mughni Al Muhtaj, “Bangunan (di atas kuburan) dihancurkan, karena dia mempersempit (tempat) bagi orang lain, dan tidak ada bedanya apakah yang dibangun tersebut berupa kubah, rumah, masjid, atau yang lainnya.”

Wakaf orang kafir yang diberikan kepada tempat ibadah mereka
Pada pembahasan terdahulu, kami telah menjelaskan bahwa tidak boleh bagi seorang muslim untuk mewakafkan hartanya kepada gereja dan yang semisalnya, karena hal itu termasuk kemaksiatan.
Disini juga kami ingin mengatakan bahwa tidak boleh bagi seorang kafir Dzimmi untuk mewakafkan hartanya kepada gereja ataupun tempat ibadah orang kafir yang lain, demi mengamalkan syariat dan keyakinan kita (islam), hal ini kita katakan jika mereka membawa permasalahan ini kepada kita dan meminta penjelasan tentang hukum hal tersebut kepada kita, yaitu kita menjelaskan bahwa wakaf yang mereka berikan kepada gereja atau sinagog, adalah wakaf yang batil.
Adapun jika mereka tidak membawa permasalahan tersebut kepada kita, dan mereka tidak meminta fatwa tentang hal tersebut kepada kita, maka kita tidak mencampuri urusan mereka, dan membiarkan mereka dengan agama mereka.
Adapun harta yang mereka wakafkan sebelum diutusnya Nabi saw. untuk gereja mereka dahulu, maka kita tidak membatalkannya, bahkan kita mengakuinya.

4- Sighat wakaf
1) pengertian Sighat
Sighat adalah lafal yang menunjukkan sesuatu yang dimaksudkan, atau sesuatu yang dapat menggantikan lafal tersebut, seperti isyarat yang dapat dipahami dari orang yang bisu, atau tulisan orang yang bisu. agar wakaf tersebut sah, maka sighat tersebut harus diucapkan.
2) macam-macam sighat:
Sighat ada dua macam:
a. sharihah, yaitu sighat yang tidak mengandung makna lain kecuali makna yang dimaksud, seperti ucapan, “Saya mewakafkan rumahku untuk orang-orang fakir,” atau ucapan “Rumahku diwakafkan untuk orang-orang fakir,”
lafal-lafal yang terang dan jelas maksudnya seperti ini, tidak membutuhkan niat agar wakaf tersebut sah. Kedudukannya sama dengan lafal-lafal lain dalam hal akad, sehingga cukup hanya dengan mengucapkannya.
b. Kinayah, yaitu lafal yang mengandung makna lain selain makna yang dimaksud. Seperti ucapan, “Hartaku adalah sedekah bagi orang-orang fakir,” atau ucapan, “Aku mengabadikan hartaku untuk orang-orang fakir.” Dan lain sebagainya.Tulisan orang yang bisa berbicara juga termasuk Kinayah.
Lafal Sighat kinayah harus disertai dengan niat, agar akadnya menjadi sah. Lafal Kinayah di dalam wakaf kedudukannya sama dengan lafal-lafal kinayah di dalam akad.
3) syarat-syarat sighat wakaf:
Syarat-syarat sighat wakaf, baik itu sharihah atau kinayah adalah sebagai berikut:
a. sighat tersebut berupa lafal yang diucapkan oleh orang yang berbicara dan menunjukkan sesuatu yang dimaksud, atau tulisan dari orang yang bisu yang menyatakan sesuatu yang dimaksud.
 b. Sighat wakaf tersebut tidak disertai dengan batasan waktu tertentu, jika dikatakan, “Saya mewakafkan tanahku untuk pencari ilmu selama satu tahun,” maka wakaf seperti ini tidak sah, karena sighatnya tidak sah, sebab dibatasi dengan waktu tertentu. wakaf yang sah adalah harta yang diwakafkan untuk selamanya, sedangkan pembatasan wakaf dengan waktu tertentu bertentangan dengan hal tersebut.
pengecualian dari syarat pembatasan waktu:
para ulama mengecualikan pembatasan waktu ini dalam hal-hal tertentu, seperti wakaf untuk masjid, tempat untuk mengikat hewan, makam-makam, dan hal-hal lain seperti memerdekakan budak dan yang semisalnya, sehingga para ulama menghukumi wakaf seperti ini adalah sah untuk selamanya, dan dihilangkan syaratnya (syarat berupa batasan waktu tertentu). Sehingga kalau seseorang berkata, “Saya mewakafkan tanahku ini untuk masjid, atau kuburan, atau tempat mengikat hewan selama satu tahun,” maka wakaf seperti ini sah, tetapi untuk selamanya, dan batasan waktu tersebut tidak dianggap.
c. sighat wakaf harus menjelaskan pihak yang akan diberi wakaf. Kalau misalnya seseorang berkata, “Aku mewakafkan hal ini,” tanpa menjelaskan pihak yang akan diberi wakaf, maka hukumnya tidak sah, karena kita tidak tahu pihak yang akan diberi wakaf tersebut.
d. shighat wakaf tersebut tidak menggantungkannya dengan sesuatu yang lain, karena wakaf adalah akad yang mewajibkan pemindahan hak milik saat itu juga, sehingga wakaf tidak sah, jika digantungkan dengan syarat yang lain.
Jika seseorang berkata, “Aku mewakafkan rumahku kepada orang-orang fakir, jika Zaid datang,” atau ucapan, “Aku mewakafkan mobilku, jika istriku ridla,” maka wakaf seperti ini tidak sah,( karena wakaf mengharuskan untuk memindahkan hak kepemelikan saat itu juga, sementara dalam lafal ini hal itu tidak dapat dilakukan kecuali dengan terpenuhinya syarat yang digantungkan).
Ada pengecualian dari syarat ini, yaitu hal-hal yang serupa dengan membebaskan budak sebagaimana yang telah kami jelaskan terdahulu. Sehingga jika seseorang berkata, “Jika Ramadlan datang, maka saya mewakafkan rumahku untuk masjid,” maka wakaf seperti ini sah.
e. Wajib dilaksanakan, tidak ada Khiyar Syart (yaitu hak untuk membatalkan wakafnya sesuai yang disyaratkan) baginya atau orang lain, juga tidak ada Khiyar Majlis (hak untuk membatalkan wakafnya selama belum meninggalkan tempat ia berwakaf).
Kalau seseorang berkata, “Aku mewakafkan binatang tungganganku kepada orang-orang fakir, dan aku memiliki hak khiyar selama tiga hari, atau aku memiliki hak khiyar untuk menjualnya kapan saja aku mau.” Wakaf seperti ini tidak sah, karena wakaf tersebut tidak dapat diselesaikan saat itu juga sesuai dengan tujuan wakaf (yaitu memberikan hak milik sepenuhnya dan selamanya kepada pihak yang diberi wakaf, pentj-).
Disyaratkan bagi Al Mauquf ‘Alaihi Al Mu’ayyan (pihak tertentu yang diberi wakaf), untuk menerima harta yang diwakafkan.
Jika wakaf diberikan kepada pihak yang sudah ditentukan, seperti seseorang yang mewakafkan rumahnya untuk Khalid misalnya, maka agar wakaf ini sah, disyaratkan agar pihak yang diberi wakaf untuk menerima wakaf tersebut. dan Qabul (menerima) tersebut harus bersambung dengan Al Ijab, yaitu ucapan orang yang berwakaf “Saya mewakafkan rumah ini kepada Khalid.” Dan apabila Khalid menerimanya, maka wakaf tersebut sah, tetapi apabila Khalid menolak, maka wakaf tersebut tidak sah.

Adapun jika wakaf diberikan kepada pihak yang belum ditentukan, seperti wakaf kepada orang-orang fakir, atau masjid (tanpa di tentukan orang fakir atau masjid mana yang diberi wakaf), maka tidak disyaratkan adanya Qabul (pernyataan menerima dari pihak yang diberi wakaf), karena hal itu tidak mungkin.

No comments:

Post a Comment