Rukun-rukun wakaf:
Rukun wakaf ada empat, yaitu: Al
Waqif (orang yang berawakaf), Al Mauquf (yang diwakafkan), Al
Mauquf Alaih (yang diberi wakaf), dan Al Shighah (sighat wakaf).
Dan masing-masing dari rukun yang
empat ini, memiliki syarat-syaratnya tersendiri. sehingga ketika syarat-syarat
ini terpenuhi maka wakafnya akan menjadi sempurna.
1- Syarat-syarat orang yang
berwakaf:
a. mukallaf, yaitu orang yang
merdeka, baligh, dan berakal. Oleh karena
itu wakaf dari seorang budak tidak sah karena dia tidak memiliki hak
milik, sebab diri dan hartanya adalah milik tuannya. Demikian juga wakaf dari
anak kecil dan orang gila tidak sah, meskipun wakaf tersebut diberikan oleh
walinya.
Anak kecil atau orang gila yang
berwakaf, maka wakafnya tersebut batil, meskipun dibolehkan oleh walinya.
karena perbuatan anak kecil dan orang gila tidak dianggap di dalam syariat,
sehingga wakafnya juga tidak sah. Dan tidak dibolehkan bagi walinya tersebut
untuk bersedekah dengan menggunakan harta keduanya.
b. Memiliki wewenang untuk
menggunakan hartanya, wakaf yang diberikan oleh orang yang hartanya ditahan
(Al Mahjur Alaihi) karena safih (dungu) atau bangkrut, adalah tidak sah. karena
mereka dilarang untuk menggunakan hartanya, sehingga mereka juga dilarang untuk
menyumbang dengan hartanya tersebut. dan juga dilarang untuk memberikan harta
yang ditahan tersebut kepada mereka.
Ditahannya harta orang yang dungu
adalah demi kemaslahatannya sendiri, sementara ditahannya harta orang yang
bangkrut adalah demi kebaikan orang yang memberinya hutang.
Allah berfirman, “Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka
yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.”
(Al Nisa: 5).
Safih adalah orang yang
tidak bisa mengelola hartanya.
Imam Al Syafi’i menafsirkan kata Safih
dengan dengan orang mubazir, yaitu orang yang membelanjakan hartanya di dalam
hal-hal yang diharamkan.
Makna firman Allah ta’ala, “Harta
(mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan.” Yaitu, Allah menjadikan harta itu untuk kebaikan hidupmu.
Al Hakim meriwayatkan di dalam Al
Buyu’, bab Al Rahn Mahlub Wa Markub, juz:2, hal: 58, dan Al Daraqutni, dari
Ka’ab bin Malik, bahwa Nabi saw. menahan harta Muadz bin Jabal ra. dan
menjualnya untuk menutupi hutangnya (Muadz bin Jabal), lalu beliau membaginya
kepada orang yang menghutanginya, masing-masing mendapat lima per tujuh dari
haknya, lalu Nabi saw. bersabda, “Kalian tidak mendapatkan kecuali itu.”
c. tidak dipaksa, wakaf
yang diberikan oleh orang yang dipaksa adalah tidak sah, karena di antara
syarat taklif(pembebanan hukum syariat) adalah tidak dipaksa.
Wakaf yang diberikan oleh orang
yang sakit menjelang kematiannya.
Orang yang sakit parah yang
kemungkinan besar akan meninggal, maka tidak boleh berwakaf melebihi sepertiga
dari hartanya. hal ini demi menjaga hak ahli waris akan harta yang
ditinggalkannya. Dan dibolehkan baginya untuk mewakafkan sepertiga atau kurang,
dari hartanya tersebut demi kebaikannya, agar ia terus mendapatkan pahala
meskipun ia telah meninggal.
Dalilnya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh imam Al Bukhari di dalam kitab Al Janaiz, bab Ratsa Al Nabi
saw. Sa’ad bin Khaulah: 1233, dan imam Muslim di dalam kitab Al Washiyah, bab
Al Washiyah bi Al Tsuluts: 1628, dari Sa’ad bin Abi Waqqas ra. Ia berkata, “Rasulullah
saw. mengunjungiku pada haji wada’, saat itu aku sedang sakit parah. Lalu aku
berberkata, “Sakitku sudah parah, dan aku memiliki harta, sementara tidak ada
yang mewarisiku kecuali seorang anak perempuan, bolehkah aku bersedekah dengan
dua pertiga dari hartaku?” Rasulullah menjawab, “Tidak,” lalu aku bertanya,
“Setengah?” beliau menjawab, “Tidak,” lalu Rasulullah melanjutkan sabdanya,
“(bersedekahlah) sepertiga, dan sepertiga itu cukup banyak, sesungguhnya jika
engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik dari pada
engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada
manusia.”
Wakaf yang diberikan oleh
orang kafir
Para ulama madzhab Al Syafi’iyah
berkata, “Wakaf yang diberikan oleh orang kafir itu sah meskipun untuk masjid
dan juga tidak diyakini olehnya sebagai ibadah. Dan orang kafir boleh untuk
memberikan sumbangan. Karna sumbangan atau sedekah seperti ini tidak
membutuhkan niat, dan sebagaimana yang sudah diketahui bahwa syarat niat adalah
islam.”
Orang kafir mendapatkan balasan
dari sedekahnya di dunia, adapun di akhirat, maka dia tidak mendapatkan balasan
apa-apa.
Imam Muslim meriwayatkan di dalam
kitab Sifat Al Munafiqin Wa Ahkamuhum, bab Jaza’u Al Mukmin Bihasanaatihi Fi Al
Dunya Wa Al Akhirat Wa Ta’jil Hasanaati Al Kafir Fi Al Dunya:2808, dari Anas
bin Malik ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak
menzalimi kebaikan orang mukmin, ia akan diberi (balasan) di dunia karena
kebaikannya, dan akan dibalas di akhirat, adapun orang kafir maka ia akan
diberi makan karena kebaikan yang ia lakukan di dunia karena Allah, sehingga
ketika di akhirat dia tidak memiliki kebaikan yang bisa dibalas.”
2- Syarat-syarat harta yang
diwakafkan:
Syarat-syarat harta yang
diwakafkan adalah sebagai berikut:
a. Harta yang diwakafkan berupa
benda tertentu, sehingga wakaf tidak boleh hanya berupa hak pakai tanpa
disertai hak kepemilikan terhadap benda tersebut. baik hak pakai tersebut hanya
bersifat sementara (seperti orang yang berwakaf berupa hak untuk tinggal di
dalam rumahnya selama satu tahun), atau hak pakai selamanya (seperti orang yang
wakaf berupa hak untuk tinggal di tempatnya selamanya).
Hal itu karena benda adalah
merupakan asal, sementara hak pakai adalah cabang, sehingga hukum cabang
mengikuti hukum asal. Dan selama asal (benda yang diwakafkan) masih menjadi
milik orang yang berwakaf, maka demikian juga hak pakai masih menjadi milik
orang yang berwakaf. dan tidak dapat terpisah sendiri dengan diwakafkan.
Demikian juga wakaf tidak sah
apabila harta yang diwakafkan tersebut tidak ditentukan (tidak jelas), seperti
jika dia mewakafkan salah satu dari dua rumahnya atau salah satu dari dua
mobilnya, tanpa ditentukan rumah atau mobil mana yang akan diwakafkan. Wakaf
seperti ini tidak sah, karena tidak ada kejelasan akan harta yang
diwakafkan, dan ucapannya tersebut dianggap
gurauan dan tidak serius.
b. Harta yang diwakafkan adalah
merupakan hak milik orang yang berwakaf, yang mungkin untuk dipindahtangankan,
dan harta tersebut memiliki faedah atau manfaat.
Berdasarkan dengan hal ini, maka
tidak sah apabila seseorang berwakaf dengan menggunakan harta yang bukan miliknya.
karena tujuan dari wakaf adalah memindahkan hak kepemilikan harta yang diwakafkan
dari tangan pemiliknya. sehingga seseorang yang tidak memiliki barang tersebut,
bagaimana mungkin akan memindahkan hak kepemilikannya kepada pihak lain?. Oleh
karena itu, berwakaf dengan harta yang bukan miliknya adalah sesuatu yang
sia-sia.
Berdasarkan ini pula, maka tidak
sah bagi yang orang merdeka untuk mewakafkan jiwanya. karena jiwa tersebut
bukanlah miliknya, yang dapat dia wakafkan, Akan tetapi jiwa tersebut adalah
milik Allah ta’ala.
Demikian juga tidak sah
mewakafkan janin hewan ternak yang masih didalam perut induknya tanpa sekalian
mewakafkan induk tersebut, karena janin tersebut tidak bisa dipindahkan
kepemilikannya selama masih berada di dalam perut induknya. Tetapi jika yang
diwakafkan adalah induknya, maka dibolehkan untuk mewakafkan janin yang ada di
dalam perutnya, karena mengikuti hukum dari induknya.
Harta yang diwakafkan tersebut
harus memiliki manfaat dan faedah yang bisa diharapkan dan dituju. Kalau
misalnya seseorang mewakafkan tanah yang tidak bisa ditanami atau dibangun
diatasnya, atau dia berwakaf dengan pakaian robek yang sudah tidak dapat
dimanfaatkan, maka wakaf seperti ini tidak sah. Karena tujuan dari wakaf adalah
untuk dimanfaatkan, sementara berwakaf dengan hal-hal seperti ini tidak ada
manfaatnya.
c. Harta yang diwakafkan dapat
dimanfaatkan terus menerus, sehingga tidak boleh wakaf berupa makanan dan yang
semisalnya dari jenis-jenis barang yang akan habis ketika dimanfaatkan.
Maksud dari harta yang dapat
dimanfaatkan terus menerus adalah adalah terus menerus yang bersifat nisbi
bukan abadi. Yaitu, barang tersebut dapat dimanfaatkan untuk beberapa waktu.
Kalau misalnya seseorang wakaf berupa mobil atau hewan ternak, maka wakaf
seperti ini sah meskipun mobil tersebut tidak dapat dimanfaatkan selamanya, karena
mobil tersebut nantinya akan rusak dan tidak dapat dipakai lagi, demikian juga
hewan.
Dan tidak disyaratkan bahwa harta
yang diwakafkan tersebut dapat dimanfaatkan pada waktu itu juga (saat
diwakafkan), yang penting harta tersebut dapat dimanfaatkan meskipun pada waktu
yang akan datang. Sehingga dibolehkan untuk mewakafkan binatang yang masih
kecil, karena binatang tersebut mungkin untuk dimanfaatkan pada waktu yang akan
datang.
d. Harta yang diwakafkan dapat
dimanfaatkan untuk sesuatu yang dibolehkan dan tidak diharamkan. Sehingga wakaf
tidak sah, jika harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat dimanfaatkan kecuali
untuk hal yang diharamkan, seperti alat musik dan yang sejenisnya, karena wakaf
adalah merupakan ibadah yang tidak dapat bersatu dengan kemaksiatan.
Wakaf dari pemimpin kaum
muslimin atau khalifah berupa harta yang diambil dari Bait Al Mal
Para ulama madzhab Syafi’iyah
membolehkan bagi pemimpin kaum muslimin atau khalifah untuk mewakafkan sebagian
dari tanah milik Bait Al Mal, apabila dia melihat ada maslahat bagi umat islam
di dalam hal tersebut. hal ini adalah merupakan pengecualian, karena baitulmal
bukanlah milik seorang khalifah, akan tetapi mereka (ulama Syafi’iyah)
membolehkannya. Dengan dalil bahwa Umar bin Al Khattab ra. Pernah mewakafkan
sebagian tanah yang ada di Irak.
Imam Al Nawawi berkata di dalam
Al Raudlah, “Kalau seorang imam berpendapat untuk mewakafkan tanah hasil ghanimah,
sebagaimana yang dilakukan oleh Umar ra. Maka hukumnya boleh, jika orang yang
sebenarnya berhak untuk mendapatkan ghanimah tersebut mau mengalah dan diganti
dengan yang lainnya.”
Wakaf berupa tanah dan
bangunan
Boleh mewakafkan harta millik
berupa tanah, rumah, toko, sumur, atau mata air, selama harta tersebut masih
bisa dimanfaatkan pada waktu sekarang atau waktu yang akan datang.
Hal tersebut berdasarkan Al
Quran, Al Sunah, dan contoh dari sahabat. telah kami sebutkan pada pembahasan
terdahulu, perkataan Jabir ra., “Tidaklah tersisa salah seorang dari para
sahabat yang mampu, kecuali dia pernah berwakaf.”dan juga ucapan Imam Al
Syafi’I, “Telah sampai berita kepadaku bahwa delapan puluh sahabat dari
golongan Anshar pernah bersedekah dengan Shadaqah Muharramat (wakaf). Dan
sebagaimana yang telah diketahui, bahwa harta yang mereka wakafkan adalah
berupa tanah, rumah, dan sumur.
Wakaf berupa harta yang dapat
dipindahkan
Dibolehkan untuk wakaf berupa
harta yang dapat dipindahkan seperti hewan, mobil, alat perang, pakaian,
perabotan, bejana, dan kitab-kitab yang bermanfaat.
Dalilnya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh imam Al Bukhari di dalam Kitab Al Jihad, bab Man Ihtabasa
Farasan: 2698, dan Al Nasai di dalam Al Khail, bab ‘Alaf Al Khail: 2/225, dari
Abu Hurairah ra. Ia berkata, “Rasulluah saw. bersabda, “Barang siapa mewakafkan
seekor kuda di jalan Allah karena didasari iman kepada Allah dan percaya dengan
janji-Nya, maka sesungguhnya setiap makanan, minuman, kotoran, dan air
kencingnya, akan menjadi timbangan (kebaikannya) pada hari kiamat.”
Imam Al Bukhari meriwayatkan di
dalam kitab Al Zakat, bab Qaullah ta’ala, “Wa Fi Al Riqaabi…,”:1399, dan imam
Muslim di dalam kitab Al Zakat, bab Taqdim Al Zakat Wa Man’uha: 987, dari Abu
Hurairah ra. (Rasulullah saw bersabda), “Adapun Khalid bin Walid, sungguh
kalian telah mendzaliminya, ia telah mewakafkan baju-baju besi miliknya, dan
menyiapkannya untuk berperang dijalan Allah.”
Wakaf berupa harta milik
bersama (Al Musya’)
Al Musya’ adalah merupakan
harta milik bersama yang tidak dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Boleh berwakaf dengan harta milik
bersama, baik harta tersebut berupa harta yang bergerak, atau berupa tanah dan
bangunan. Baik yang berwakaf tersebut hanya satu orang berupa bagiannya saja,
atau semua orang yang ikut memiliki barang tersebut, semua ini sama dan
hukumnya boleh secara syar’i.
Dalilnya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Al Nasai di dalam Al Ihtibas, bab Kaifa Yuktab Al Muhtabis:6/230,
231, dari Ibnu Umar ra. Ia berkata, “Umar ra. Berkata kepada Nabi saw.,
“Sungguh aku belum pernah mendapatkan harta yang lebih aku cintai dari seratus
saham yang aku dapat di Khaibar. Dan aku ingin bersedekah dengannya,” lalu
Rasulullah saw. bersabda, “Tahanlah pokoknya dan jadikan buahnya di jalan
Allah.”
Imam Al Bukhari meriwayatkan di
dalam Kitab Al Washaya, bab Idza Auqafa Jamaah Ardlan Musya’an Fahuwa Jaiz:
2619, dari Anas ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. memerintahkan untuk membangun
sebuah masjid, beliau berkata, “Wahai bani Al Najar! Juallah kebunmu ini!”
mereka berkata, “Demi Allah, kami tidak meminta bayarannya kecuali kepada
Allah.”
Al Khatib Al Syarbini berkata di
dalam kitabnya Mughni Al Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz Al Minhaj Lil Imam
Al Nawawi, “Umat telah bersepakat untuk mewakafkan tikar dan lampu di dalam
masjid, tanpa ada yang mengingkarinya.”
3- Syarat-syarat yang diberi
wakaf
Pihak yang diberi wakaf ada dua
macam, Al Mu’ayyan (pihak yang sudah ditentukan), baik satu orang atau
lebih. Dan I (pihak yang belum ditentukan), seperti wakaf kepada satu golongan,
misalnya orang-orang fakir. Dan masing-masing memiliki syaratnya tersendiri.
Syarat-syarat pihak yang
diberi wakaf dan sudah ditentukan (Al Mu’ayyan):
Apabila pihak yang diberi wakaf
sudah ditentukan, baik satu orang atau lebih, maka disyaratkan hal-hal sebagai
berikut:
Orang yang ingin diberi wakaf,
memungkinkan untuk diberi hak milik saat barang tersebut diwakafkan.
Maka tidak sah suatu wakaf yang
diberikan kepada sang anak, kalau pada kenyataanya orang tersebut tidak
memiliki anak. Demikian juga wakaf yang diberikan kepada orang fakir dari
keturunan fulan, dan pada kenyataannya keturunan orang tersebut tidak ada yang
fakir ketika wakaf diberikan, maka wakaf seperti ini tidak sah.
Wakaf yang diberikan kepada
janin, mayit, hewan ternak, rumah, dan
lain sebagainya (dari pihak-pihak yang tidak mungkin untuk diberi hak milik
saat wakaf diberikan) juga tidak sah.
Demikian juga wakaf berupa mushaf
atu kitab ilmu syar’i kepada selain orang islam, hukumnya tidak sah. Begitu
pula tidak sah mewakafkan sesuatu kepada dirinya sendiri, karena hal yang
demikian tidak ada manfaatnya, hal ini disebut dengan Tahshil Al Hasil
(berusaha memperoleh sesuatu yang sebenarnya sudah dimiliki), karena barang
tersebut sebelum diwakafkan adalah merupakan miliknya, dan tidak terjadi
apa-apa terhadap barang tersebut setelah diwakafkan (maksudnya, baik sebelum
atau sesudah diwakafkan, barang tersebut tetap akan menjadi miliknya, karena
dia mewakafkan untuk dirinya sendiri).
Wakaf yang diberikan kepada
orang kafir
Ulama Syafi’iyah membolehkan
untuk memberikan wakaf kepada orang kafir Dzimmi (orang kafir yang membayar
jizyah yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di
negeri kaum muslimin, pentj-) dan sudah di tentukan orangnya, selama orang yang
memberikan wakaf tersebut tidak bermaksud untuk bermaksiat ketika
memberikannya. Karena sedekah kepada kafir Dzimmi dibolehkan, demikian juga
dibolehkan untuk memberikan wakaf kepada mereka.
Kalau seandainya ia mewakafkan
hartanya untuk tujuan maksiat, seperti apabila dia memberi wakaf kepada pelayan
gereja untuk digunakan bagi kepentingan gereja, maka wakaf seperti ini tidak
sah. Karena kemaksiatan bertolak belakang dengan disyariatkannya wakaf.
Al Mu’ahad (yaitu orang-orang
kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk
tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati, pentj-) dan Al
Musta’man (orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau
sebagian kaum muslimin) juga boleh diberi wakaf seperti orang kafir Dzimmi,
selama keduanya berada di negara islam, dan perjanjian kaum muslimin berlaku
bagi mereka berdua.
Adapun kafir Harbi (orang kafir
yang melakukan peperangan dengan kaum muslimin) dan orang murtad, maka tidak
boleh memberikan harta wakaf kepada mereka. Karena selama mereka masih kafir
dan murtad, maka mereka tidak boleh dibiarkan terus menerus, dan tidak boleh
bagi umat islam untuk mengakui kekafirannya. Wakaf adalah shadaqah jariyah,
maka sebagaimana tidak sahnya berwakaf dengan harta yang tidak bertahan lama,
maka juga tidak dibolehkan memberikan wakaf kepada orang yang tidak bertahan
lama, karena syariat telah memerintahkan untuk memerangi dan membunuh mereka
(kafir Harbi dan Murtad).
Imam Al Bukhari di dalam Kitab Al
Iman, bab Fain Taabuu Wa Aqaamuu Al Shalah Wa Atau Al Zakah Fakhalluu
Sabiilahum: 25, dan imam Muslim di dalam kitab Al Iman, bab Al Amru Biqitaali
Al Nas Hatta Yakuuluu La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah: 22, dari Abdullah
bin Umar bin Al Khattab ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah, dan nabi Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat,
dan membayar zakat, apabila mereka telah melakukan hal itu, maka mereka telah
menjaga darah mereka dariku, kecuali dengan hak islam, dan perhitungan mereka
ada pada Allah.”
Maksud dari “kecuali dengan hak
islam” adalah kecuali apabila mereka melakukan sesuatu yang mewajibkan untuk
dikenai hukuman, baik berupa denda atau had di dalam agama islam, maka mereka
akan dihukum dengan hal tersebut sebagai Qisas.
Imam Al Bukhari meriwayatkan di
dalam kitab Al Jihad, bab La Yua’dzab Bi ‘Adzabillah: 2795, dan Al Tirmidzi di
dalam kitab Al Hudud, bab Ma Ja’a Fi Al Murtad: 1458, dari Ikrimah ra. Bahwa
Nabi saw. berkata, “Barang siapa mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah.”
Syarat-syarat pihak yang
diberi wakaf Ghairu Al Mu’ayyan (belum ditentukan)
Ada satu syarat bagi pihak yang diberi wakaf Ghairu
Al Mu’ayyan (belum ditentukan), seperti orang-orang fakir, masjid-masjid,
sekolah-sekolah, dan yang lainnya, sehingga wakaf tersebut menjadi sah secara
syar’i, yaitu:
Wakaf tersebut bukan wakaf dalam
kemaksiatan. karena wakaf dalam kemaksiatan hanyalah akan membantu kemaksiatan,
dan menguatkan keberadaannya. Sedangkan wakaf hanyalah disyariatkan untuk
bertaqarrub kepada Allah ta’ala. Sehingga wakaf dan kemaksiatan adalah dua hal
yang berlawanan dan tidak mungkin bersatu.
Berdasarkan dengan hal-hal di
atas, maka wakaf untuk tempat ibadah orang kafir seperti gereja dan sinagog
adalah tidak sah, demikian juga tidak dibolehkan berwakaf untuk membantu tempat
ibadah orang kafir, baik itu untuk membeli tikar atau lampu dari tempat ibadah
tersebut.
Kita juga tidak boleh berwakaf
untuk membangun atau mengembangkan rumah ibadah orang kafir, dan lain
sebagainya yang berkaitan dengan hal tersebut.
Demikian juga tidak dibolehkan
mewakafkan senjata kepada orang yang sering menghidupkan fitnah atau mewakafkan
senjata tersebut kepada para perampok. karena jika hal itu dilakukan, maka dia
telah membantu kemaksiatan, sebagaimana yang disebutkan pada pembahasan
terdahulu.
Sehingga menjadi jelas, bahwa
memberikan wakaf kepada orang-orang fakir, ulama, Qurra’, mujahidin, ka’bah,
masjid-masjid, sekolah-sekolah, rumah sakit, dan kafan orang yang meninggal,
hukumnya adalah boleh secara syar’i.
wakaf adalah merupakan ibadah
yang dianjurkan oleh agama islam, dan dijanjikan dengan pahala yang banyak bagi
orang yang berwakaf.
Wakaf yang diberikan kepada
orang kaya
Memberikan wakaf kepada orang
kaya dibolehkan secara syar’i, karena sedekah juga boleh diberikan kepada
mereka. Dan memberikan wakaf kepada orang kaya juga bukan kemaksiatan kepada
Allah ta’ala, demikian juga wakaf adalah pemberian hak milik, dan orang kaya
berhak untuk hal tersebut.
Batasan miskin dan kaya
Kalau seseorang wakaf berupa rumah, dan
berkata, “Aku mewakafkannya agar hasilnya untuk orang-orang fakir, atau
orang-orang kaya,” maka siapakah orang fakir atau orang kaya yang dimaksudkan?
Orang fakir: batasan orang
fakir yang boleh diberi wakaf adalah seperti orang fakir yang berhak menerima
zakat, artinya, jika dia berhak menerima zakat maka dia juga berhak menerima
wakaf karena kefakirannya, dan jika tidak berhak menerima zakat, maka dia juga
tidak diberi wakaf.
Demikian juga diperbolehkan untuk
memberikan wakaf kepada orang-orang miskin (mereka lebih baik kondisinya
dibandingkan dengan orang fakir), karena zakat juga boleh diberikan kepada
mereka. Akan tetap wakaf tidak boleh diberikan kepada istri yang fakir dan
masih memiliki suami yang menafkahinya. demikian juga tidak dibolehkan memberi
wakaf kepada anak-anak yang masih dicukupi oleh bapaknya, karena zakat tidak
boleh diberikan kepada mereka.
Orang kaya: batasan orang kaya adalah mereka
yang tidak boleh menerima zakat karena memiliki harta, atau karena masih mampu
dan masih bekerja, atau masih dicukupi oleh orang lain.
Wakaf yang diberikan untuk
jalan kebaikan atau untuk sabilillah
Kalau orang yang berwakaf berkata
ketika memberikan wakafnya, “Aku mewakafkan tanahku, dan hasil dari tanah ini
untuk jalan kebaikan atau pahala.” Maka siapakah yang berhak untuk menerima
wakaf ini?
Jawabannya adalah, bahwa yang
berhak untuk menerima hasil dari tanah yang diwakafkan tersebut adalah kerabat
orang yang berwakaf, kalau tidak ada, maka yang berhak adalah semua kelompok
yang berhak untuk menerima zakat kecuali Amil zakat dan muallaf.
Adapun jika orang yang berwakaf
mengatakan bahwa wakafnya adalah untuk sabilillah, maka yang berhak menerima
hasilnya adalah orang-orang yang ikut berperang yang berhak menerima zakat.
Dan jika dia mewakafkan hartanya
tersebut untuk sabilillah, jalan kebaikan, dan untuk mendapat pahala, maka
sepertiga dari wakaf tersebut untuk orang-orang yang berperang dijalan Allah,
lalu sepertiga untuk kerabat orang yang berwakaf, dan sepertiga lagi untuk
orang-orang yang berhak menerima zakat kecuali Amil zakat dan muallaf.
Wakaf untuk menghias masjid
dan membangun kuburan
Para fuqaha berkata, “Tidak sah
wakaf yang diberikan untuk menghias atau mengukir masjid, juga tidak sah wakaf
yang diberikan untuk membangun kuburan, karena jenazah yang ada di dalam
kuburan tersebut telah hancur, sehingga tidak perlu untuk dibangun, kita juga
dilarang untuk menggunakan harta di dalam hal-hal yang tidak bermanfaat”.
Apakah mereka tidak mendengarkan
nasihat para ulama ini, sehingga mereka melakukan hal yang dilarang tersebut,
bahkan ulama mereka ikut mengakui hal tersebut, atau mendiamkannya?!
Berapa banyak harta yang mereka
kumpulkan dari orang-orang fakir dan kaya, atau dari orang yang memberikan
wakaf dan hibah untuk menghias masjid, mengukir dinding dan kubahnya, atau
mempermewah mihrab dan mimbarnya, mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu
bahwa hal itu adalah perbuatan berlebih-lebihan yang dibenci. Hal itu juga
dapat mengganggu hati manusia di dalam shalat mereka, dan dapat menyibukkan
pikiran mereka (dengan segala perhiasan ini) dari ibadah yang mereka lakukan.
Seolah-olah mereka tidak pernah membaca firman Allah ta’ala, “Sungguh
beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) mereka yang khusyu di dalam
salatnya.” (Al Mukminun: 1-2).
Akan tetapi bagaimana salat akan
khusyu, jika di arah depan, arah kiblat, kanan dan kiri orang yang salat
terdapat hiasan dan ukiran yang menyita perhatian?! Tidak ada daya dan upaya
kecuali Allah SWT.
Perbuatan berlebih-lebihan yang
ada di dalam masjid seperti ini juga terdapat dalam membangun kuburan,
meninggikan, mengkapur, dan membuat kubah serta jembatan diatasnya, sehingga
engkau akan mengiranya sebagai istana dan bukan kuburan, seolah-olah penghuni
kubur tersebut hidup dan menikmati bangunan tersebut.
Sebagian manusia membelanjakan
harta mereka untuk membangun makam-makam mereka. mereka juga berwasiat agar
dibuatkan kuburan yang megah dan mewah sebagai makamnya ketika meninggal nanti,
wasiat seperti ini adalah wasiat yang batil secara syar’i, dan wakaf dalam hal
seperti ini adalah wakaf yang sia-sia.
Imam Al Nawawi rahimhullah
berkata di dalam matan Al Minhaj, “Dimakruhkan mengkapur, membangun, dan
menulis di atas kuburan, dan kalau dia berderma dengan membuat bangunan di atas
kuburan, maka (bangunan tersebut) dihancurkan.”
Al Khatib Al Syarbini berkata di
dalam Mughni Al Muhtaj, “Bangunan (di atas kuburan) dihancurkan, karena dia
mempersempit (tempat) bagi orang lain, dan tidak ada bedanya apakah yang
dibangun tersebut berupa kubah, rumah, masjid, atau yang lainnya.”
Wakaf orang kafir yang
diberikan kepada tempat ibadah mereka
Pada pembahasan terdahulu, kami
telah menjelaskan bahwa tidak boleh bagi seorang muslim untuk mewakafkan
hartanya kepada gereja dan yang semisalnya, karena hal itu termasuk
kemaksiatan.
Disini juga kami ingin mengatakan
bahwa tidak boleh bagi seorang kafir Dzimmi untuk mewakafkan hartanya kepada
gereja ataupun tempat ibadah orang kafir yang lain, demi mengamalkan syariat
dan keyakinan kita (islam), hal ini kita katakan jika mereka membawa
permasalahan ini kepada kita dan meminta penjelasan tentang hukum hal tersebut
kepada kita, yaitu kita menjelaskan bahwa wakaf yang mereka berikan kepada
gereja atau sinagog, adalah wakaf yang batil.
Adapun jika mereka tidak membawa
permasalahan tersebut kepada kita, dan mereka tidak meminta fatwa tentang hal
tersebut kepada kita, maka kita tidak mencampuri urusan mereka, dan membiarkan
mereka dengan agama mereka.
Adapun harta yang mereka wakafkan
sebelum diutusnya Nabi saw. untuk gereja mereka dahulu, maka kita tidak
membatalkannya, bahkan kita mengakuinya.
4- Sighat wakaf
1) pengertian Sighat
Sighat adalah lafal yang
menunjukkan sesuatu yang dimaksudkan, atau sesuatu yang dapat menggantikan
lafal tersebut, seperti isyarat yang dapat dipahami dari orang yang bisu, atau
tulisan orang yang bisu. agar wakaf tersebut sah, maka sighat tersebut harus diucapkan.
2) macam-macam sighat:
Sighat ada dua macam:
a. sharihah, yaitu sighat
yang tidak mengandung makna lain kecuali makna yang dimaksud, seperti ucapan,
“Saya mewakafkan rumahku untuk orang-orang fakir,” atau ucapan “Rumahku
diwakafkan untuk orang-orang fakir,”
lafal-lafal yang terang dan jelas
maksudnya seperti ini, tidak membutuhkan niat agar wakaf tersebut sah.
Kedudukannya sama dengan lafal-lafal lain dalam hal akad, sehingga cukup hanya
dengan mengucapkannya.
b. Kinayah, yaitu lafal
yang mengandung makna lain selain makna yang dimaksud. Seperti ucapan, “Hartaku
adalah sedekah bagi orang-orang fakir,” atau ucapan, “Aku mengabadikan hartaku
untuk orang-orang fakir.” Dan lain sebagainya.Tulisan orang yang bisa berbicara
juga termasuk Kinayah.
Lafal Sighat kinayah harus
disertai dengan niat, agar akadnya menjadi sah. Lafal Kinayah di dalam wakaf
kedudukannya sama dengan lafal-lafal kinayah di dalam akad.
3) syarat-syarat sighat wakaf:
Syarat-syarat sighat wakaf, baik
itu sharihah atau kinayah adalah sebagai berikut:
a. sighat tersebut berupa lafal
yang diucapkan oleh orang yang berbicara dan menunjukkan sesuatu yang dimaksud,
atau tulisan dari orang yang bisu yang menyatakan sesuatu yang dimaksud.
b. Sighat wakaf tersebut tidak disertai dengan
batasan waktu tertentu, jika dikatakan, “Saya mewakafkan tanahku untuk pencari
ilmu selama satu tahun,” maka wakaf seperti ini tidak sah, karena sighatnya
tidak sah, sebab dibatasi dengan waktu tertentu. wakaf yang sah adalah harta
yang diwakafkan untuk selamanya, sedangkan pembatasan wakaf dengan waktu
tertentu bertentangan dengan hal tersebut.
pengecualian dari syarat
pembatasan waktu:
para ulama mengecualikan
pembatasan waktu ini dalam hal-hal tertentu, seperti wakaf untuk masjid, tempat
untuk mengikat hewan, makam-makam, dan hal-hal lain seperti memerdekakan budak
dan yang semisalnya, sehingga para ulama menghukumi wakaf seperti ini adalah
sah untuk selamanya, dan dihilangkan syaratnya (syarat berupa batasan waktu
tertentu). Sehingga kalau seseorang berkata, “Saya mewakafkan tanahku ini untuk
masjid, atau kuburan, atau tempat mengikat hewan selama satu tahun,” maka wakaf
seperti ini sah, tetapi untuk selamanya, dan batasan waktu tersebut tidak
dianggap.
c. sighat wakaf harus menjelaskan
pihak yang akan diberi wakaf. Kalau misalnya seseorang berkata, “Aku mewakafkan
hal ini,” tanpa menjelaskan pihak yang akan diberi wakaf, maka hukumnya tidak
sah, karena kita tidak tahu pihak yang akan diberi wakaf tersebut.
d. shighat wakaf tersebut tidak
menggantungkannya dengan sesuatu yang lain, karena wakaf adalah akad yang
mewajibkan pemindahan hak milik saat itu juga, sehingga wakaf tidak sah, jika
digantungkan dengan syarat yang lain.
Jika seseorang berkata, “Aku
mewakafkan rumahku kepada orang-orang fakir, jika Zaid datang,” atau ucapan,
“Aku mewakafkan mobilku, jika istriku ridla,” maka wakaf seperti ini tidak
sah,( karena wakaf mengharuskan untuk memindahkan hak kepemelikan saat itu
juga, sementara dalam lafal ini hal itu tidak dapat dilakukan kecuali dengan
terpenuhinya syarat yang digantungkan).
Ada pengecualian dari syarat ini,
yaitu hal-hal yang serupa dengan membebaskan budak sebagaimana yang telah kami
jelaskan terdahulu. Sehingga jika seseorang berkata, “Jika Ramadlan datang,
maka saya mewakafkan rumahku untuk masjid,” maka wakaf seperti ini sah.
e. Wajib dilaksanakan, tidak ada
Khiyar Syart (yaitu hak untuk membatalkan wakafnya sesuai yang disyaratkan)
baginya atau orang lain, juga tidak ada Khiyar Majlis (hak untuk membatalkan
wakafnya selama belum meninggalkan tempat ia berwakaf).
Kalau seseorang berkata, “Aku
mewakafkan binatang tungganganku kepada orang-orang fakir, dan aku memiliki hak
khiyar selama tiga hari, atau aku memiliki hak khiyar untuk menjualnya kapan
saja aku mau.” Wakaf seperti ini tidak sah, karena wakaf tersebut tidak dapat
diselesaikan saat itu juga sesuai dengan tujuan wakaf (yaitu memberikan hak
milik sepenuhnya dan selamanya kepada pihak yang diberi wakaf, pentj-).
Disyaratkan bagi Al Mauquf
‘Alaihi Al Mu’ayyan (pihak tertentu yang diberi wakaf), untuk menerima harta
yang diwakafkan.
Jika wakaf diberikan kepada pihak
yang sudah ditentukan, seperti seseorang yang mewakafkan rumahnya untuk Khalid
misalnya, maka agar wakaf ini sah, disyaratkan agar pihak yang diberi wakaf
untuk menerima wakaf tersebut. dan Qabul (menerima) tersebut harus bersambung
dengan Al Ijab, yaitu ucapan orang yang berwakaf “Saya mewakafkan rumah ini
kepada Khalid.” Dan apabila Khalid menerimanya, maka wakaf tersebut sah, tetapi
apabila Khalid menolak, maka wakaf tersebut tidak sah.
Adapun jika wakaf diberikan
kepada pihak yang belum ditentukan, seperti wakaf kepada orang-orang fakir,
atau masjid (tanpa di tentukan orang fakir atau masjid mana yang diberi wakaf),
maka tidak disyaratkan adanya Qabul (pernyataan menerima dari pihak yang diberi
wakaf), karena hal itu tidak mungkin.
No comments:
Post a Comment