Hukum Orang yang berwakaf yang
mengambil manfaat dari harta yang telah diwakafkan
Tidak boleh bagi orang yang
berwakaf untuk mengambil manfaat dari harta yang telah ia wakafkan(sebagaimana
juga tidak boleh mewakafkan hartanya kepada dirinya sendiri), karena wakaf
adalah memindahkan kepemilikan harta wakaf dari orang yang berwakaf, demikian
juga manfaat dari harta wakaf tersebut.
akan tetapi para ulama
mengecualikan di dalam hal ini, yaitu jika seseorang mewakafkan hak miliknya
berupa masjid, kuburan, atau sumur. maka boleh bagi orang yang berwakaf
tersebut untuk ikut memanfaatkan harta
yang telah ia wakafkan tersebut seperti orang islam yang lain. Sehingga ia
boleh untuk shalat di masjid yang telah ia wakafkan, ia boleh minum dari sumur
yang telah diwakafkan, dan boleh dikuburkan di pemakaman yang telah diwakafkan
tersebut.
Dalil hal tersebut adalah hadits
Utsman ra. Ia berkata, “Nabi saw. datang ke Madinah, dan tidak ada air yang
segar di Madinah kecuali sumur Ruumah (nama sumur di Madinah), lalu Rasulullah
saw. bersabda, “Barang siapa membeli sumur Ruumah, kemudian dia menjadikan
embernya sama dengan ember orang-orang muslim (di peruntukkan untuk umum),
dengan kebaikannya itu maka ia akan berada di dalam syurga,” lalu aku (Utsman
ra.) membelinya dengan hartaku sendiri.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al
Tirmidzi dengan sanad hasan, di dalam Al Manaqib, bab Manaqibu Utsman: 3704,
dan Al Nasai di dalam Al Ahbas, bab Waqfu Al Masajid: 6/235, dan imam Al
Bukhari sebagai ta’liq di dalam kitab Al Washaya, bab Idza Waqafa Ardlan Au
Bi’ran, Au Isytaratha Linafsihi Mitsla Dila’I Al Muslimin: 2626.
Sumur Ruumah adalah sumur di
Madinah milik orang Yahudi, ia menjual airnya kepada kaum muslimin, setiap qirbah
(kantong air yang terbuat dari kulit) dijual satu dirham, lalu Utsman ra.
Membelinya dan mewakafkannya untuk kaum muslimin, dengan syarat dia boleh minum
dari sumur tersebut sebagaimana kaum muslimin yang lain.
Kewajiban melaksanakan wakaf,
dan konsekwensi hukum yang dihasilkan dari wakaf:
Wakaf adalah merupakan akad yang
wajib dilaksanakan. sehingga hanya dengan akad yang sah, maka seluruh
konsekwensi wakaf langsung berlaku. wakaf tidak seperti wasiat, karena wasiat
adalah akad Jaiz (boleh dilaksanakan).
Konsekwensi hukum dari wakaf
adalah sebagai berikut:
a. Tidak ada Khiyar (hak untuk
membatalkan atau melanjutkan) di dalam akad wakaf, sehingga ketika seseorang
telah berwakaf secara sahih, maka dia tidak memiliki Khiyar Majlis (hak untuk
membatalkan atau melanjutkan selama masih ada di tempat akad tersebut),
sebagaimana dia juga tidak memiliki Khiyar Syart (hak untuk membatalkan atau
melanjutkan akad sesuai dengan yang disyaratkan).
b. Hak kepemilikan harta wakaf
berpindah kepada Allah SWT. sehingga pemilik asli barang yang telah diwakafkan
tersebut tidak berhak untuk menggunakannya, seperti ketika masih memilikinya,
sehingga dia tidak boleh menjual ,atau menghibahkan atau yang lainnya.
c. Hak menggunakan harta wakaf
berpindah kepada pihak yang diberi wakaf, baik secara khusus atau umum.
Hak kepemilikan harta wakaf
Apabila seseorang berwakaf berupa
benda, bangunan, mobil, senjata, atau yang lain sebagainya, maka hak kepemilikan
harta wakaf tersebut berpindah kepada Allah ta’ala, sehingga harta wakaf
tersebut bukan lagi milik orang yang berwakaf, dan juga bukan milik pihak yang
diberi wakaf.
Manfaat dari harta wakaf
Manfaat harta wakaf adalah untuk
pihak yang diberi wakaf apabila pihak yang diberi wakaf tersebut sudah
ditentukan, dan dia boleh memanfaatkan harta wakaf tersebut untuk dirinya
sendiri atau oleh orang lain dengan meminjamkannya atau menyewakannya.
Orang yang diberi wakaf juga
memiliki manfaat yang dihasilkan setelahnya, seperti buah dari pohon yang telah
diwakafkan, atau bulu, susu, dan anak dari binatang yang telah diwakafkan.
Adapun jika pihak yang diberi
wakaf tidak ditentukan, tetapi hanya menyebutkan golongan, seperti orang-orang
fakir misalnya, maka mereka tidak memiliki manfaat dari harta wakaf tersebut,
tetapi mereka memiliki hak untuk memanfaatkan harta wakaf tersebut.
Hal-hal yang boleh dilakukan
terhadap harta wakaf
Tidak boleh menjual, membeli,
menghibahkan, atau mewariskan harta wakaf, baik hal itu dilakukan oleh orang
yang berwakaf, atau pihak yang diberi wakaf (baik yang sudah ditentukan ataupun
belum ditentukan), akan tetapi harta wakaf tetap di dalam kepemilikan Allah
SWT., sementara manfaat dari harta wakaf tersebut diberikan kepada orang yang diberi
wakaf, dan wakaf tersebut sebisa mungkin dilaksanakan sesuai dengan yang
diucapkan oleh orang yang berwakaf.
Dalilnya adalah wakaf yang
diberikan Umar bin Al Khattab ra. Dia mengatakan di dalam wakafnya,
“Sesungguhnya harta wakaf itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak
diwariskan.” Hadits ini diriwayatkan oleh imam Al Bukhari: 2586, dan imam
Muslim: 1632.
Biaya perawatan harta wakaf
Apabila harta wakaf membutuhkan
biaya perawatan, seperti memberi makanan hewan (yang diwakafkan), merenovasi
bangunan, atau memperbaiki alat-alat yang telah diwakafkan, maka biaya
perawatan ini diambil dari pihak yang disyaratkan oleh orang yang berwakaf,
apakah dari hartanya atau diambil dari harta wakaf itu sendiri. Dan jika orang
yang berwakaf tidak mensyaratkan apapun, maka biaya perawatan tersebut diambil
dari hasil harta wakaf itu, tetapi jika harta wakaf tersebut tidak
mengahasilkan apa-apa, atau tidak bisa dimanfaatkan, maka biaya perawatan harta
wakaf tersebut diambil dari Baitulmal kaum muslimin, karena harta baitulmal
diperuntukkan untuk kemaslahatan kaum muslimin, dan biaya perawatan untuk harta
wakaf juga demi kemaslahatan mereka.
Kerusakan harta wakaf dan
hukum-hukum yang berkaitan dengan hal tersebut
Harta wakaf terkadang mengalami
kerusakan. Hukum yang berkaitan dengan hal tersebut juga berbeda-beda sesuai
dengan jenis harta wakaf yang rusak, dan juga jenis kerusakannya. Hukum-hukum
tersebut adalah:
a. jika harta yang diwakafkan
berupa hewan yang tidak boleh dimakan, lalu hewan tersebut mati, maka kulit
hewan tersebut dikhususkan untuk pihak yang diberi wakaf, karena dia yang lebih
berhak dibanding dengan yang lain. Dan jika kulit tersebut telah disamak, maka
hal itu menjadi harta wakaf yang boleh dimanfaatkan, dan tidak boleh dijual
demi untuk menjaga tujuan dari wakaf tersebut sebisa mungkin.
b. apabila harta yang diwakafkan
berupa hewan yang boleh dimakan, lalu orang yang diberi wakaf tersebut yakin
bahwa hewan itu akan mati karena sesuatu yang menimpanya, maka hewan tersebut
boleh disembelih, karena keadaan darurat, lalu dagingnya dijual, dan dibelikan
hewan lain yang sejenis, dan diwakafkan sebagai gantinya. Pendapat yang lain
mengatakan bahwa perkara daging tersebut diserahkan kepada hakim, agar
diputuskan yang terbaik.
c. apabila harta wakaf tersebut
rusak, maka jika sebab rusaknya harta tersebut adalah karena dirusak oleh
seseorang, maka dia wajib membayar ganti rugi, tetapi uang tersebut bukan
menjadi hak milik orang yang diberi wakaf, tetapi dibelikan barang wakaf yang
serupa, sebagai ganti barang wakaf yang rusak. Hal itu dilakukan demi menjaga
tujuan dari orang yang berwakaf, yaitu karena mengharapkan pahala yang terus
menerus dari harta yang ia wakafkan.
Dan jika uang ganti rugi tersebut
tidak cukup untuk membeli gantinya secara sempurna, maka dibelikan sebagian,
karena hal tersebut lebih mendekati tujuan orang yang berwakaf, dan jika tidak
dapat membeli sebagian, maka perkara wakaf tersebut dikembalikan kepada orang
yang paling dekat dengan orang yang berwakaf.
Adapun jika barang wakaf tersebut
rusak tanpa ada yang mengganti, atau barang tersebut rusak dengan sendirinya,
maka wakaf tersebut dianggap telah selesai seiring dengan rusaknya barang wakaf
tersebut.
d. apabila barang wakaf tersebut
tidak dapat dimanfaatkan lagi (bukan karena dirusak orang), seperti seseorang
yang wakaf berupa pohon, lalu pohon tersebut menjadi kering, atau tercabut
karena angin atau banjir, dan tidak mungkin ditanam kembali seperti semula,
maka wakaf tersebut tidak terputus, tetapi tetap menjadi harta wakaf yang
dimanfaatkan batangnya dengan disewakan atau yang lainnya, dan tidak boleh
dijual, atau dihibahkan. Akan tetapi jika barang wakaf tersebut tidak dapat
dimanfaatkan kecuali dengan dibakar atau yang semisalnya, maka hal itu boleh
dilakukan oleh pihak yang diberi wakaf, akan tetapi dia tidak boleh menjual
atau menghibahkannya.
e. apabila harta yang diwakafkan
berupa tikar untuk masjid dan yang semisalnya, lalu barang tersebut telah
usang, atau berupa batang pohon yang kemudian pecah, dan harus dibakar, maka
barang tersebut boleh dijual agar tidak sia-sia, atau agar tidak mempersempit
tempat tersebut tanpa ada manfaat. Memperoleh sedikit harta dengan menjualnya
lebih utama dari pada membiarkannya sia-sia, dan uang hasil penjualannya
tersebut digunakan untuk kepentingan masjid, dan lebih didahulukan untuk
membeli ganti barang yang rusak jika memungkinkan.
Adapun jika barang wakaf tersebut
dapat diperbaiki tanpa harus membakarnya, maka tidak boleh dijual, demi menjaga
barang wakaf tersebut, dan agar sesuai dengan tujuan dari orang yang berwakaf.
F. apabila masjid yang diwakafkan
tersebut roboh dan tidak bisa dibangun kembali, maka tidak boleh dijual, karena
dimungkinkan untuk dibangun kembali sewaktu-waktu. Dan jika masjid tersebut
memiliki pemasukan, yang cukup untuk membangun kembali masjid tersebut, maka
uang tersebut dipergunakan untuk hal itu, akan tetapi jika uang tersebut tidak
cukup untuk mengembalikannya seperti semula, maka uang tersebut boleh diberikan
kepada masjid yang paling dekat dari tempat tersebut.
g. apabila dikhawatirkan masjid
tersebut (akan roboh), maka dibolehkan bagi hakim untuk merobohkannya, dan sisa
batunya tersebut digunakan untuk membangun masjid kembali, dan tidak boleh
menggunakan batu atau puing-puing tersebut untuk membangun bangunan yang lain,
demi menjaga tujuan dari orang yang berwakaf. Dan masjid yang dibangun tersebut
hendaknya dibangun dekat dengan masjid wakaf yang dulu dihancurkan.
h. jika seseorang mewakafkan
hartanya untuk jembatan ditempat tertentu, lalu tempat itu tidak digunakan lagi
sehingga jembatan tersebut kurang bermanfaat, sementara orang-orang di tempat
lain membutuhkan jembatan, maka dibolehkan untuk memindahkan jembatan tersebut
menuju tempat yang membutuhkannya, demi untuk menjaga maksud dari orang yang
berwakaf sebisa mungkin.
Matinya orang yang diberi
wakaf
a. apabila orang yang diberi
wakaf meninggal dunia, maka jika dulu orang yang berwakaf telah menentukan
orang lain selain orang yang meninggal tersebut, maka harta wakaf tersebut
pindah kepadanya ketika orang pertama (yang diberi wakaf tersebut) meninggal.
Seperti jika orang yang berwakaf tersebut berkata, “Aku mewakafkan rumah atau
mobil ini untuk anakku, kemudian kepada orang-orang fakir.
Dan jika orang yang berwakaf
tidak menentukan pihak lain yang berhak menerima wakaf, maka harta wakaf
tersebut tetap menjadi harta wakaf, dan diperuntukkan untuk orang yang paling
dekat dengan orang yang berwakaf pada hari meninggalnya orang pertama yang
diberi wakaf.
b. apabila ia mewakafkannya
kepada dua orang, kemudian kepada orang-orang fakir, seperti ucapan, “Aku mewakafkan
tanahku kepada Zaid dan Umar, kemudian kepada orang-orang fakir,” kemudian
salah satu dari keduanya meninggal, maka bagian wakaf dari orang yang meninggal
tersebut dialihkan kepada orang kedua (tidak diberikan kepada orang-orang
fakir), karena orang yang berwakaf mensyaratkan bahwa harta wakaf berpindah
kepada orang-orang fakir jika kedua orang tersebut telah meninggal, dan itu
belum terjadi.
c. apabila seseorang berwakaf kepada
dua orang secara terpisah, seperti jika ia berkata, “Aku mewakafkan setengah
dari rumahku kepada masing-masing dari dua orang ini, kemudian kepada
orang-orang fakir.” Maka ini dihitung dua wakaf, sehingga bagian wakaf salah
satu dari keduanya tidak dapat berpindah kepada orang yang lain, akan tetapi
bagian tersebut berpindah kepada orang-orang fakir.
Hukum wakaf dilihat dari awal
mula (wakaf tersebut diberikan) dan seterusnya
Wakaf dilihat dari awal mula
wakaf tersebut (diberikan) atau seterusnya memiliki hukum yang bermacam-macam, diantaranya:
a. jika wakaf tersebut diberikan
kepada orang yang ada, tetapi dia terputus dari yang lain, seperti ucapan,
“Perpustakaan ini aku wakafkan kepada anak-anakku, atau Zaid, kemudian
keturunannya,” dan dia tidak menambahkan kata-kata lain, maka wakaf seperti ini
sah. karena tujuan dari wakaf adalah untuk ibadah dan untuk selamanya.
Apabila orang yang berwakaf
menjelaskan awal mula pihak yang akan diberi wakaf, maka hal ini memudahkan dalam
meneruskan wakaf tersebut untuk jalan kebaikan, dan apabila pihak-pihak yang
diberi wakaf tersebut telah tiada, maka harta tersebut tetap menjadi wakaf yang
diberikan kepada orang yang paling dekat dengan orang yang berwakaf,( ketika
pihak-pihak yang diberi wakaf tersebut telah tiada).
Karena bersedekah kepada keluarga
dekat adalah termasuk ibadah yang paling utama. Sedekah yang diberikan kepada
keluarga dekat tidak hanya sebatas sedekah, tetapi juga dapat menjalin
silaturahmi, sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadits yang diriwayatkan Al
Tirmidzi, dengan sanad hasan, di dalam kitab Al Zakah, bab Ma Ja’a Fi Al
Shadaqah ‘Ala Dzi Qarabah: 658, dan Al Nasai di dalam Al Zakah, bab Al Shadaqah
‘Ala Al Aqarib: 58/92, dan Ibnu Majah di dalam Al Zakah, bab Fadlu Al Shadaqah:
1844, dari Salman bin Amir, ia berkata, “Sedekah kepada orang miskin hanyalah
sedekah, dan sedekah kepada keluarga dekat adalah sedekah dan menyambung
silaturahim.”
Wakaf dikhususkan untuk diberikan
kepada kaum kerabat yang fakir yang tidak termasuk ahli waris, maka anak
laki-laki dari anak perempuan lebih didahulukan daripada anak laki-laki dari
paman.
b. apabila wakaf tersebut
diberikan kepada pihak yang terputus awalnya, seperti ucapan orang yang
berwakaf, “Rumah ini aku wakafkan kepada orang yang akan dilahirkan untukku,
kemudian kepada orang-orang fakir,” maka wakaf seperti ini tidak sah pada
bagian yang pertama, karena tidak mungkin memberikan hak milik kepada orang
yang belum dilahirkan pada saat itu juga, sementara bagian yang kedua juga
tidak sah, karena hukum yang kedua mengikuti hukum bagian yang pertama.
c. apabila wakaf tersebut putus
di tengah-tengah, seperti ucapan seorang
yang berkata, “Aku mewakafkan toko ini kepada anak-anaknya Khalid,
kemudian kepada seseorang (tanpa menentukan orangnya), kemudian kepada orang-orang
fakir itu (orangnya sudah di tentukan), maka wakaf seperti ini sah, karena
adanya pihak yang akan diberi wakaf pada saat itu atau yang akan datang, dan
harta wakaf tersebut diberikan kepada orang-orang fakir setelah anak-anak
Khalid tersebut meninggal. Dan tidak diberikan kepada orang yang paling dekat
dengan orang yang berwakaf.
Perwalian (orang yang paling
berhak mengelola atas)harta wakaf
Harta wakaf haruslah ada orang
yang mengurus, mengelola, dan
menjaganya, serta menginfakkan hasil dari harta wakaf tersebut sesuai dengan
yang dikatakan oleh orang yang berwakaf.
Orang yang paling berhak untuk
mengelola harta wakaf:
Orang yang paling berhak untuk
mengelola harta wakaf adalah orang yang ditentukan oleh orang yang berwakaf.
Jika orang yang berwakaf
mensyaratkan agar dia mengelola harta wakaf tersebut untuk dirinya sendiri,
maka dia boleh melakukannya dan dia adalah orang yang paling berhak akan hal
itu. Dan jika orang yang berwakaf mensyaratkan agar dia mengelola harta wakaf
tersebut untuk orang lain, baik untuk satu orang atau lebih, maka syarat
tersebut wajib untuk diikuti. Baik orang yang berwakaf tersebut mewakilkan
kepada seseorang untuk mengelola harta wakafnya itu saat dia (orang yang
berwakaf) masih hidup, atau dia berwasiat akan hal itu. karena orang yang
berwakaf adalah orang yang beribadah kepada Allah dengan cara bersedekah
(memberikan wakaf), sehingga apa yang dia syaratkan ketika berwakaf harus
diikuti, sebagaimana jika dia menyebutkan pihak-pihak yang akan diberi wakaf
dan yang lainnya, (maka juga harus diikuti).
Jika orang yang berwakaf tersebut
memberikan perwalian (hak mengelola wakaf) kepada si fulan, maka dibolehkan
baginya untuk mengelola harta wakaf tersebut, demi mewujudkan keinginan orang
yang berwakaf, agar dia mengelola wakafnya.
Umar ra. Mengelola sendiri
sedekahnya, kemudian dia menjadikan anak perempuannya yaitu Hafshah untuk
mengelolanya selama dia (Hafshah) hidup, kemudian harta wakaf tersebut diurus
oleh orang yang memiliki ilmu dari pihak keluarganya. Hal ini diriwayatkan oleh
Abu Daud di dalam Al Washaya, bab Ma Ja’a Fi Al Rajuli Yuqifu Al Waqfa: 2879.
Dan jika orang yang berwakaf
tidak mensyaratkan kepada seseorang untuk mengurus harta wakafnya, maka yang
berhak untuk mengurus harta wakaf tersebut adalah hakim, karena hakim adalah
orang yang berhak untuk memutuskan perkara-perkara umum, maka dia juga berhak
untuk memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan wakaf.
Syarat-syarat wali atas harta
wakaf
Agar wali harta wakaf tersebut
sah, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1- adil, yaitu istiqamah di dalam urusan agama. Adil merupakan syarat dari orang yang mengurus harta wakaf, karena hal itu termasuk perwalian, dan perwalian orang yang tidak adil adalah tidak sah.
1- adil, yaitu istiqamah di dalam urusan agama. Adil merupakan syarat dari orang yang mengurus harta wakaf, karena hal itu termasuk perwalian, dan perwalian orang yang tidak adil adalah tidak sah.
2- Al Kifayah, yaitu
berkepribadian kuat dan mampu untuk menggunakannya sesuai dengan pertimbangan
yang matang, dan mengarahkannya untuk yang terbaik.
Apabila salah satu dari dua hal
tersebut tidak terpenuhi, maka hakim berhak untuk menarik harta wakaf tersebut,
dan mengurus sendiri harta wakaf itu, atau menunjuk salah seorang untuk
mengurusnya.
Akan tetapi jika dua syarat
perwalian tersebut dapat terpenuhi kembali, maka hak mengurus harta wakaf
tersebut dikembalikan kepadanya, jika dia adalah orang yang ditunjuk oleh orang
yang berwakaf untuk mengurus wakafnya.
Orang yang diberi hak untuk
mengawasi harta wakaf, tidak boleh menggunakan harta wakaf itu kecuali untuk
kebaikan, dan kehati-hatian. karena dia adalah orang yang bertugas mengawasi harta wakaf untuk kebaikan orang
lain, sehingga dia menyerupai wali anak
yatim.
Tugas dari pengawas harta
wakaf
Tugas dari pengawas harta wakaf
adalah sebagai berikut:
a. mengelola harta wakaf untuk
dibangun, dan disewakan, agar menghasilkan pemasukan, serta membagikannya untuk
orang yang berhak menerimanya, dan menjaga harta pokok dan hasil pemasukannya
dengan hati-hati, karena dia adalah orang yang diamanahi untuk tugas tersebut.
Hal-hal tersebut boleh dilakukan
oleh pengawas harta wakaf, apabila orang yang berwakaf menyerahkan pengawasan
harta wakaf tersebut kepadanya, atau mewakilkan seluruh urusan tersebut
kepadanya. Akan tetapi jika ia hanya mewakilkan untuk mengawasi sebagian
urusannya, maka dia tidak boleh
melakukan sesuatu yang melebihi dari apa yang telah disyaratkan oleh orang yang
berwakaf. Kedudukan dia di sini adalah seperti kedudukan seorang wakil yang
hanya melakukan sebatas apa yang diwakilkan kepadanya.
b. apabila orang yang berwakaf
mensyaratkan pengawasan kepada dua orang, maka salah satu dari keduanya
tersebut tidak boleh bertindak terhadap harta wakaf itu sendirian, selama orang
yang berwakaf tidak pernah mengatakan bolehnya hal tersebut (yaitu bolehnya
salah satu dari keduanya untuk bertindak terhadap harta wakaf itu sendirian),
akan tetapi jika dia mengatakan bolehnya hal itu maka dibolehkan.
Gaji pengawas harta wakaf
Apabila orang yang berwakaf mengijinkan
bagi pengawas harta wakaf untuk mengambil bayaran dari pemasukan wakaf
tersebut, maka hal itu dibolehkan. Akan tetapi jika orang yang berwakaf tidak
menyebutkan bayaran bagi pengawas harta wakaf, maka tidak ada gaji untuknya.
Akan tetapi jika dia (pengawas
harta wakaf) mengadukan hal tersebut kepada hakim, dan meminta kepadanya agar
menentukan gaji untuknya, maka boleh bagi hakim untuk menentukan gaji yang
sesuai dengan pekerjaannya tersebut. hal ini boleh dilakukan jika tidak ada
orang yang mau mengawasi harta wakaf tanpa digaji. Dan dibolehkan bagi orang
yang mengawasi harta wakaf untuk memakan hasil dari harta wakaf dengan
sewajarnya, sebagaimana ucapan Umar ra., “Tidak mengapa bagi orang yang
mengurusi harta wakaf untuk memakan hasil dari hata wakaf tersebut dengan cara
yang wajar.”
Perbedaan antara orang yang
mengawasi dan orang yang diberi wakaf tentang penyaluran harta wakaf:
Apabila orang yang mengawasi
harta wakaf mengaku bahwa dia telah memberikan hasil dari wakaf tersebut kepada
orang yang berhak menerimanya, akan tetapi mereka (orang yang berhak menerima
wakaf) membantah hal tersebut, maka dilihat, jika mereka adalah orang yang
telah ditentukan oleh orang yang berwakaf untuk menerima wakafnya, maka ucapan
yang dipegang adalah ucapan mereka, dan dibolehkan bagi mereka untuk meminta
bukti pembayaran dari pengawas harta wakaf tersebut.
Dan jika orang yang diberi wakaf
adalah Ghairu Mu’ayyan (belum ditentukan secara jelas), maka hakim boleh
meminta bukti pembayaran kepada pengawas harta wakaf, dan boleh membenarkan klaimnya
bahwa ia telah memberikan hasil harta wakaf tersebut jika ada bukti kuat, akan
tetapi jika hakim mencurigainya, maka hakim memerintahkan pengawas harta wakaf
tersebut untuk bersumpah.
Pemberhentian tugas pengawas
harta wakaf
Pengawas harta wakaf
diberhentikan dari tugasnya ketika tidak memenuhi syarat-syaratnya sebagaimana
yang dijelaskan terdahulu, dan sebagai tambahan dari hal tersebut, maka orang
yang berwakaf juga boleh memberhentikan pengawas harta wakaf itu, dan menggantinya
dengan orang lain.
Hal itu karena pengawas harta
wakaf hanyalah sebagai wakil, sehingga dibolehkan bagi Al Muwakkil (dalam hal
ini pemberi wakaf) untuk memberhentikan wakilnya kapanpun dia mau, kecuali jika
pemberi wakaf mensyaratkan orang itu untuk menjadi pengawas harta wakafnya (dan
itu diucapkan saat dia member wakaf), maka tidak boleh baginya untuk
memberhentikan pengawas harta wakaf tersebut meskipun dengan alasan
kemaslahatan, karena dia tidak boleh merubah syarat yang dia ucapkan ketika
berwakaf, sebagaimana juga kalau seandainya seseorang berwakaf untuk
anak-anaknya yang fakir, maka dia tidak boleh menggantinya dengan memberikan
wakaf tersebut kepada anak-anaknya yang kaya. Karena sebagaimana yang telah
kami katakan, tidak boleh merubah apa yang ia syaratkan ketika akad wakaf itu
diucapkan.
No comments:
Post a Comment