Saturday, December 20, 2014

wasiat part 3

Rukun-rukun wasiat, dan syarat-syarat dari setiap rukun
Rukun wasiat ada empat. Yaitu: Orang yang berwasiat, orang yang diberi wasiat, harta yang diwasiatkan, dan sighat (bentuk ucapan akad) wasiat.
Dan setiap rukun dari rukun-rukun tersebut memiliki syarat-syarat tersendiri yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut:
Syarat-syarat orang yang berwasiat
Wasiat seseorang dianggap sah, apabila dia memenuhi syarat sebagai berikut:
a. berakal, ini adalah syarat yang harus dipenuhi, terutama di dalam hibah dan infak. Wasiat dari orang yang gila, idiot, orang pingsan, dan orang yang sengaja mabuk adalah tidak sah. Karena mereka tidak berakal yang merupakan syarat dibebaninya seseorang dengan hukum syariat, oleh karena itu mereka juga tidak memiliki hak untuk bertabarru’ (menyumbang).
b. baligh,
baligh adalah merupakan syarat dibebaninya seseorang akan hukum syariat, sehingga wasiat anak kecil meskipun dia sudah mumayyiz (sudah bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk) tidak sah, karena anak kecil tidak memiliki hak untuk bertabarru’.
c. tidak dipaksa
wasiat orang yang dipaksa tidak sah, karena wasiat adalah memberikan hak yang dimilikinya, sehingga harus didasari ridlo dari orang yang memberi dan tidak dipaksa.
d. merdeka
wasiat seorang budak tidak sah, baik itu budak murni, Mudabbar (budak yang langsung merdeka ketika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah bersepakat dengan tuannya untuk membayar jumlah tertentu dengan cara dicicil, dan jika sudah lunas, maka dia akan menjadi orang yang merdeka). Wasiat ini tidak sah, karena budak bukanlah pemilik harta, bahkan diri dan hartanya adalah milik tuannya.
Dan syariat membolehkan untuk mewariskan wasiat, sementara budak tidak mewariskan, sehingga tidak berhak untuk berwasiat.
Berdasarkan syarat-syarat orang yang berwasiat sebagaimana yang telah kami sebutkan diatas, maka wasiat orang-orang berikut ini sah:
1- orang kafir, karena dia memiliki hak untuk bertabarru’ (hak menginfakkan hartanya sesuai keinginannya)
2- orang yang hartanya ditahan sebab kedunguannya, karena dia adalah seorang mukallaf sehingga butuh akan pahala setelah kematiannya.

Syarat-syarat orang yang diberi wasiat
Orang yang diberi wasiat ada dua macam, Mua’yyan (tertentu), dan Ghairu Mua’yyan (tidak tertentu).
Dan setiap dari keduanya, memiliki syarat-syarat tersendiri.
Syarat-syarat Al Musha lahu Al Mua’yyan (orang yang diberi wasiat dan orangnya sudah ditentukan):
a) orang tersebut dimungkinkan untuk menerima hak kepemilikan saat kematian orang yang berwasiat, sehingga wasiat kepada mayit dan hewan tidak sah. Karena mayit bukan orang yang memiliki hak milik, demikian juga hewan (yaitu jika dia tidak menjelaskan secara rinci wasiat tersebut). akan tetapi jika dia merinci wasiatnya, seperti jika dia berwasiat untuk membelikan makanan hewan tersebut, maka wasiat seperti ini sah, dan harta yang diwasiatkan adalah milik orang yang mengurus hewan itu, dan dia wajib untuk melaksanakan wasiat itu, yaitu dengan membelanjakannya untuk makanan hewan tersebut sesuai dengan yang diwasiatkan, hal ini dilakukan demi menjaga tujuan dari orang yang berwasiat.
Berdasarkan hal ini pula, maka wasiat untuk janin yang masih ada di dalam kandungan ketika wasiat itu diucapkan, adalah sah, dan wajib dilaksanakan jika janin yang di dalam kandungan tersebut telah lahir dalam keadaan hidup dan selamat, hal itu jika bayi tersebut lahir kurang dari enam bulan setelah wasiat diucapkan, karena enam bulan adalah batas minimal masa kehamilan.
b) bukan untuk kemaksiatan, sehingga wasiat berupa budak muslim untuk diberikan kepada orang kafir tidak sah, demikian juga wasiat berupa mushaf untuk diberikan kepada orang kafir, sebagaimana tidak dibolehkannya berwasiat berupa senjata atau harta untuk diberikan kepada musuh, karena semua itu adalah wasiat dalam kemaksiatan.
c) orangnya sudah ditentukan, sehingga wasiat kepada salah satu dari kedua orang ini (tanpa ditentukan orangnya) tidak sah, karena orang yang diberi wasiat tidak diketahui. Dan ketidaktahuan ini menyebabkan harta yang diwasiatkan tersebut tidak boleh diberikan kepada orang yang diberi wasiat.
d) orang yang diberi wasiat itu ada ketika wasiat di tulis, sehingga wasiat untuk bayi yang belum ada, atau untuk masjid yang belum dibangun, adalah tidak sah.
Dan termasuk wasiat untuk pihak yang sudah ditentukan adalah wasiat untuk memakmurkan masjid, baik  membangun dan menghiasnya, atau untuk kebaikan masjid tersebut secara umum.
Dan hal yang serupa dengan masjid adalah wasiat untuk sekolah, penjagaan perbatasan, dan wasiat rumah sakit. Karena itu semua adalah ibadah yang hanya dilakukan oleh mukallaf. hukum berwasiat untuk hal-hal ini adalah seperti hukum wakaf .
Kalau lafal wasiat diucapkan secara mutlak, seperti ucapan, “Saya berwasiat untuk masjid ini,” tanpa menyebutkan yang dimaksud (apakah untuk membangun atau yang lainnya), maka wasiat seperti ini sah, dan harta wasiat tersebut digunakan untuk kemaslahatan masjid, karena itulah yang menjadi kebiasaan di tengah-tengah masyarakat.
Dari syarat-syarat yang telah kami sebutkan, maka menjadi jelas bahwa wasiat untuk seorang pembunuh adalah sah. karena wasiat adalah memberikan hak milik kepada orang lain dengan akad tertentu seperti hibah, demikian juga wasiat untuk Ahli waris adalah sah, jika ahli waris yang lain membolehkannya, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti.


Syarat-syarat Al Musha Lahu Ghairu Mua’yyan (orang yang diberi wasiat dan belum tertentu)
wasiat untuk orang yang belum tertentu, seperti wasiat untuk kelompok secara umum (misalnya wasiat untuk orang-orang fakir, para ulama, masjid, atau sekolah), maka disyaratkan agar wasiat tersebut bukan untuk kemaksiatan atau untuk sesuatu yang dimakruhkan. Sehingga wasiat untuk mendirikan rumah ibadah orang kafir, atau untuk membangun tempat-tempat hiburan yang menyebabkan manusia membuang-buang waktu ditempat tersebut atau menjadikan mereka lupa akan kewajiban mereka adalah tidak sah.
Di antara wasiat untuk hal-hal umum yang dibolehkan:
a. wasiat untuk sabilillah, kalau seandainya seseorang berkata, “Aku mewasiatkan sepertiga dari hartaku untuk sabilillah,” maka wasiat ini sah. Karena membelanjakan harta di jalan Allah adalah merupakan ibadah. Dan harta wasiat ini diberikan kepada orang yang berperang (jihad) seperti orang yang berhak untuk menerima zakat, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman Allah ta’ala, “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk sabilillah (jalan Allah), dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan,” (Al Taubah: 60).   
 b. wasiat untuk para ulama, kalau misalnya seseorang mewasiatkan seratus ribu dari hartanya untuk para ulama, maka wasiat ini sah. Karena ulama adalah orang yang memiliki hak kepemilikan, dan infak yang diberikan kepada mereka adalah merupakan ibadah menurut syariat. Akan tetapi wasiat ini hanya diberikan kepada ulama syariat islam, seperti ulama tafsir, hadits, fikih, ushul fikih, akidah, dan ilmu-ilmu agama yang lain. Karena kata “ulama” biasanya digunakan untuk orang-orang tersebut.
dan berdasarkan ‘Urf (kebiasaan) wasiat ini tidak boleh diberikan kepada ahli sastra, arsitek, dokter, atau ulama-ulama tentang ilmu keduniaan yang semisalnya (karena menurut kebiasaan, mereka tidak disebut dengan ulama). Akan tetapi jika ‘Urf (kebiasaan) tersebut berubah, sehingga kata “ulama” dipakai untuk semua orang, sehingga semua orang yang berpendidikan dalam bidang tertentu disebut ulama, maka pada saat itu wasiat boleh diberikan kepada semua orang yang berpendidikan dari segala bidang.
c. orang-orang fakir, termasuk di dalam kelompok ini adalah orang-orang miskin. Demikian juga jika seseorang berwasiat untuk diberikan kepada orang-orang miskin, maka wasiat ini juga mencakup orang-orang fakir. Dan cukup untuk memberikan wasiat tersebut kepada tiga orang dari golongan mereka, karena tiga adalah batas minimal dari bentuk jamak.   
d. Ahlul bait, kalau seseorang berwasiat untuk memberikan sepertiga dari hartanya untuk Ahlul bait (keluarga Rasulullah saw.), maka wasiat ini diberikan kepada orang yang termasuk Bani Hasyim, dan Bani Al Mutthalib. Dan boleh hanya diberikan kepada kepada tiga orang dari mereka.
e. keluarga dekat, termasuk di dalamnya adalah semua keluarga dekat orang yang berwasiat, baik dari pihak ayah ataupun pihak ibu, dan ahli waris tidak termasuk di dalamnya.
f. haji dan umrah, kalau seseorang berkata, “Saya mewasiatkan seratus ribu dari hartaku untuk haji dan umrah,” maka wasiat seperti ini sah, karena haji dan umrah adalah ibadah. Dan harta wasiat tersebut diberikan kepada orang yang berhaji, atau orang yang melakukan umrah.
Demikian juga jika seseorang berwasiat untuk dihajikan, maka wasiatnya tersebut sah, dan dia dihajikan dimulai dari negaranya, atau dimulai dari miqat (sesuai yang disyaratkan didalam wasiat), akan tetapi jika wasiat tersebut disebutkan secara mutlak dan tidak ditentukan tempatnya, maka dia dihajikan dan dimulai dari Miqat, karena pada umumnya orang berhaji dimulai dari Miqat, akan tetapi jika kebiasaan ini kemudian berubah, maka dia dihajikan dan dimulai dari Negara orang yang berwasiat (dilakukan sesuai dengan ‘Urf (kebiasaan) di tempat tersebut).

sembelihan part 3

Hal-hal yang perlu diperhatikan
1- Cara menyembelih janin yang masih ada didalam kandungan adalah dengan menyembelih induknya, kecuali jika janin tersebut ditemukan dalam keadaan hidup maka harus disembelih.
Maksudnya adalah dengan menyembelih induknya, maka dianggap telah menyembelih janin yang dikandungnya, jika janin tersebut ketika dikeluarkan sudah dalam keadaan mati. Adapun jika saat dikeluarkan masih dalam keadaan hidup, maka wajib untuk disembelih.
Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud didalam Al Adlahi bab Maa Jaa’a Fi Dzakat Al Janin :2827, dari Abu Sa’id Al Khudri ra. Ia berkata, “Kami bertanya kepada Rasulullah saw. tentang janin, beliau bersabda, “Makanlah jika kamu mau, karena menyembelih janin adalah dengan menyembelih induknya.”
2- Bagian anggota tubuh hewan yang dipotong ketika hewan tersebut masih hidup, maka hukumnya adalah seperti hukum bangkai hewan tersebut. kecuali bulu yang dimanfaatkan untuk selimut, pakaian, atau yang lainnya, yang akan kami jelaskan nanti.
Yakni, hukum anggota tubuh hewan yang dipotong ketika masih hidup, hukumnya seperti hukum bangkai binatang tersebut dari sisi kehalalan dan keharamannya, dan dari sisi suci dan najisnya.
Bagian yang dipotong dari tubuh ikan yang masih hidup boleh dimakan, karena bangkai ikan hukumnya halal.
Bagian yang dipotong dari tubuh kambing yang masih hidup, tidak boleh dimakan. Karena bangkai kambing hukumnya najis.
Bagian yang dipotong dari tubuh manusia ketika masih hidup, hukumnya suci, karena tubuh manusia juga suci ketika telah mati.
Bagian yang dipotong dari tubuh hewan hukumnya najis, karena bangkainya juga najis.
Dalil hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Hakim dan disahihkannya, dari Abu Sa’id Al Khudri ra. Bahwa Rasulullah saw. ditanya tentang punuk onta dan ekor kambing yang dipotong. Lalu beliau bersabda, “Bagian apa saja yang dipotong dari hewan yang masih hidup, maka itu adalah bangkai.” (Al Mustadrak, kitab Al Dzabaih, bab Maa Quti’a Min Hayy Wahuwa Mayyit, juz:4, hal:239).
Abu Dawud juga meriwayatkannya didalam kitab Al Shaid, bab Fi Shaid Quti’a Minhu Qit’ah: 2858. Dan Al Tirmidzi didalam kitab Al Shaid, bab Maa Quti’a Min Al Hayy Fahuwa Mayyit: 1480.dan menghasankannya, dari Abu Waqid Al Laitsi ra. Ia berkata, “Tatkala Nabi datang ke Madinah, orang-orang biasa memotong punuk onta dan ekor kambing, lalu Rasulullah saw. bersabda, “Bagian apa saja yang dipotong dari binatang yang masih hidup, maka itu adalah bangkai.”
Pengecualian-pengecualian
Hukum diatas berlaku untuk seluruh anggota tubuh hewan kecuali bulu domba, bulu onta, dan bulu kambing dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1- Bulu tersebut berasal dari binatang yang dagingnya halal dimakan.
2- Bulu binatang tersebut dicukur ketika masih dalam keadaan hidup, atau setelah disembelih secara syar’i.
3- Bulu tersebut tidak diambil dari bagian anggota tubuh yang terpisah dari tubuh binatang yang masih hidup.
Adapun bulu dari bangkai binatang adalah najis, dan tidak suci, karena bulu binatang tidak dapat disamak.
Dalil tentang sucinya bulu binatang tersebut diatas adalah firman Allah ta’ala, “Dan Allah menjadikan rumah-rumah bagimu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagimu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit hewan ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya pada waktu kamu bepergian dan pada waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan kesenangan sampai waktu (tertentu).” (Al Nahl :80).
Ayat ini menjelaskan tentang dibolehkannya memanfaatkan bulu domba, bulu unta, dan bulu kambing. Itu adalah merupakan dalil tentang sucinya hal-hal tersebut.
Semua bulu dari binatang yang dagingnya boleh dimakan seperti bulu ayam dan yang semisalnya, maka diqiyaskan dengan bulu binatang tersebut diatas, dan dengan syarat-syarat yang telah disebutkan.
3- Haram memakan bangkai binatang, bagaimanapun proses kematiannya.
Bangkai adalah binatang yang mati tanpa disembelih secara syar’i, baik mati dengan sendirinya, atau mati dikarenakan hal lain seperti dipukul, tercekik, tenggelam, dan lain sebagainya.
Demikian juga haram memakan darah yang mengalir dari binatang apapun.
Dalil hal tersebut adalah firman Allah ta’ala, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih.dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala.” (Al Maidah:3).
Ayat ini menjelaskan tentang haramnya memakan darah, bangkai, daging babi, hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, dan hewan yang disembelih untuk dipersembahkan kepada berhala.
Bangkai dan darah yang boleh dimakan:
Bangkai binatang yang boleh dimakan adalah bangkai ikan dan belalang. Dan darah yang boleh dimakan adalah hati dan limpa.        
Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad  (juz:2, hal :27) dan yang lainnya dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah,  dua bangkai tersebut adalah bangkai ikan dan belalang, adapun dua darah tersebut adalah hati dan limpa.”
Sunah menyembelih:
Disunahkan ketika menyembelih untuk memperhatikan hal-hal berikut:
1- Menyebut nama Allah azza wa jalla ketika menyembelih, yaitu dengan mengucapkan bismillah.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Maka makanlah dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) disebut nama Allah.” (Al An’am:118).
Dan sabda Nabi saw. yang terdahulu, “(Hewan yang disembelih dengan) alat yang dapat mengalirkan darah, dan disembelih atas nama Allah, maka makanlah.”
Demikian juga disunahkan untuk mengucapkan basmalah ketika memanah, atau melepas hewan pemburu untuk berburu. Kalau seseorang tidak menyebutkan nama Allah azza wa jalla ketika menyembelih, akan tetapi semua syarat-syarat menyembelih telah terpenuhi, maka tidak mengapa. karena membaca basmalah seperti yang disebutkan oleh ayat dan hadits diatas hukumnya sunah menurut madzhab Al Syafi’i.
2- Memotong dua wadijan ketika menyembelih
 wadijan adalah dua urat leher yang menyelimuti kerongkongan, disebut juga Al Warid, karena terputusnya dua urat tersebut menyebabkan kematian.
3- Menajamkan pisau potongnya
Karena Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menulis kebaikan atas segala sesuatu, apabila kamu membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik, dan apabila kamu menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik, dan tajamkanlah pisaumu, dan senangkanlah hewansembelihanmu.” Hadits ini diriwayatkan oleh imam Muslim didalam kitab Al Shaid wa Al Dzabaih, bab Al Amr Biihsan Al Dzabh wa Al Qatl wa Tahdid Al Syafrah:1955.
4- Hewan yang akan disembelih dibaringkan pada sisi sebelah kiri, dan kaki kanannya dibiarkan bergerak setelah disembelih, agar dia nyaman untuk bergerak. kecuali unta, maka yang lebih utama adalah menyembelihnya dalam keadaan berdiri dan terikat lutut kirinya, Allah ta’ala berfirman, “Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelih nya) dalam keadaan berdiri.”(Al Haj: 36)
Ibnu Abbas ra. Berkata, “Yakni berdiri diatas tiga kakinya,” hal ini diriwayatkan oleh Al Hakim didalam Al Mustadrak, pada awal kitab Al Dzabaih, juz:4, hal:233.

5- Menghadap kiblat ketika menyembelih, karena kiblat adalah arah yang paling mulia. apabila hewan yang disembelih dihadapkan kearah kiblat, maka demikian juga orang yang menyembelih hendaknya menghadap kiblat.

Friday, December 19, 2014

MAKANAN DAN MINUMAN PART 1

Makanan dan minuman
Makanan yang halal dan yang haram
Kaidah syar’iyah untuk mengetahui makanan yang halal dan yang haram adalah berdasarkan firman Allah ta’ala, “Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi, karena semua itu kotor, atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barang siapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha pengampun, Maha penyayang.(Al An’am:145).
Dan firman-Nya, “Dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka, dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka,” (Al Araf:157).
Juga firman Allah ta’ala, “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” katakanlah, “Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-baik,” (Al Maidah:4).
Berdasarkan dari ayat-ayat ini, maka hukum halal haram suatu makanan dibangun diatas tiga prinsip dasar sebagai berikut:
Prinsip pertama:
Semua hewan yang dianggap baik (untuk dimakan) oleh orang Arab disaat kondisi makmur dan sejahtera, dan pada zaman Nabi saw. maka hukumnya halal.
Termasuk didalam bab ini adalah:
a. Semua hewan yang tidak hidup kecuali di laut, yaitu ikan dengan segala jenis dan namanya, maka hukumnya halal, karena orang-orang Arab menganggap hal tersebut baik untuk dimakan, yang kemudian dikuatkan oleh syariat yang menjelaskan kehalalan hewan laut dan boleh untuk dimakan.
At Tirmidzi meriwayatkan di dalam kitab Abwab Al Thaharah, bab Ma Ja’a Fi Ma’i Al Bahr Annahu Thahurun: 69, dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, “Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw. ia berkata, “Wahai Rasulullah! Kami sedang berada di laut, dan hanya membawa sedikit air, jika kami menggunakan air tersebut untuk berwudlu maka kami kehausan, apakah boleh kami berwudlu dengan menggunakan air laut?” Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Laut itu suci airnya, halal bangkainya.”
 Allah ta’ala juga berfirman, “Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut,” (Al Maidah: 96).
Jumhur ulama menafsirkan makanan laut adalah ikan mati yang mengapung dipermukaan laut, selama belum busuk.
b. Binatang ternak yang meliputi unta, sapi, kambing, kuda, sapi, keledai liar, kijang, kelinci, dan yang lainnya yang dianggap baik untuk dimakan oleh orang Arab, dan dihalalkan oleh syariat.
Tidak semua hewan yang dianggap baik untuk dimakan oleh orang Arab itu halal, tetapi ada yang dikecualikan, yaitu binatang yang diharamkan oleh syariat seperti bighal (hewan peranakan kuda dan keledai), dan keledai yang dipelihara.
Imam Al Bukhari meriwayatkan di dalam kitab Al Dabaih Wa Al Shaid, bab Lahm Al Humur Al Insiyah: 5204, dari Jabir bin Abdillah ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. melarang memakan daging keledai pada hari penaklukan khaibar, dan membolehkan memakan daging kuda.”
Al Tirmidzi meriwayatkan di dalam kitab Al At’imah, bab Ma Ja’a Fi Akli Luhum Al Khail: 1793, dari Jabir ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. memberi makan kami daging kuda, dan melarang kami memakan daging keledai.”
Hukum bighal dikiaskan kepada hukum keledai, yaitu diharamkan. Karena larangan untuk memakan daging keledai seperti yang terdapat didalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud terdahulu, karena bighal adalah peranakan antara yang dihalalkan (kuda) dan yang diharamkan (keledai), akan tetapi sisi keharamannya lebih kuat, sehingga bighal diharamkan.
Semua hewan yang dianggap menjijikkan oleh orang Arab pada zaman Nabi saw. seperti serangga dan sejenisnya adalah haram, Kecuali yang dibolehkan oleh syariat sebagai pengkhususan, seperti Yarbu’ (hewan yang menyerupai tikus, tetapi ekornya lebih panjang demikian juga kedua telinganya, dan kedua kakinya lebih panjang dari kedua tangannya), biawak, Sammur (sejenis musang), landak, kelinci, Ibnu ‘Ars (sejenis musang), dan yang lainnya.  
Imam Al Bukhari meriwayatkan hadits yang menjelaskan tentang kehalalan biawak, di dalam kitab Al Shaid Wa Al Dzabaih, bab Al Dlab :5216, dari Ibnu Umar ra. Rasulullah saw. bersabda, “Saya tidak memakan biawak dan tidak mengharamkannya.”
Dipakainya kebiasaan orang Arab untuk menentukan halal dan haram didalam hal ini adalah karena merekalah yang dibebani dengan hukum-hukum syariat pertama kali, dan karena Nabi saw. diutus ditengah-tengah mereka, dan Al Quran juga diturunkan ditengah-tengah mereka.
Prinsip kedua:
Semua binatang buas yang memiliki taring yang kuat untuk berburu adalah haram, seperti Anjing, babi, serigala, beruang, kucing, Ibnu Awi (sejenis serigala), gajah, hewan pemangsa, harimau, citah, monyet, dan yang semisalnya.
Kalau gigi teringnya lemah, dan tidak digunakan untuk berburu, maka tidak haram dimakan, seperti hiena dan pelanduk.    
Al Tirmidzi meriwayatkan di dalam kitab Al At’imah, bab Ma Ja’a Fi Akli Al Dlab’i: 1792, dari Ibnu Abi ‘Ammar ia berkata, “Aku bertanya kepada Jabir ra. “Apakah Al Dlab’u (hyena),termasuk hewan buruan?” Jabir menjawab, “Ya,” aku bertanya, “Apakah boleh memakannya?” Jabir menjawab, “Ya,” aku berkata, “Apakah Rasulullah saw. mengatakannya?,” Jabir menjawab, “Ya.”
Semua jenis burung yang memiliki cakar yang kuat untuk berburu diiharamkan, seperti burung rajawali, elang, falcon, dan yang sejenisnya.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Al Bukhari di dalam kitab Al Dzabaih Wa Al Shaid, bab Aklu Kulli Dzi Naab Min Al Siba’ :5210, dan imam Muslim di dalam kitab Al Shaid Wa Al Dzabaih, bab Tahrimu Akli Kulli Dzi Naab : 1932, dari Abu Tsa’labah Al Khusyani ra. Bahwa Rasulullah saw. melarang (memakan )hewan buas yang memiliki gigi taring.”
Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam kitab Al Shaid Wa Al Dzabaih, bab Tahrimu Akli Kulli Dzi Naab: 1934, dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. melarang (memakan) hewan buas yang bertaring, dan burung yang memiliki cakar.”
Karena hewan buas dan burung jenis ini gemar memakan bangkai disebabkan insting berburunya. Oleh karena itu hewan-hewan tersebut termasuk hewan yang kotor.
Prinsip ketiga:
Semua hewan yang diperintahkan untuk dibunuh maka diharamkan. seperti ular, kalajengking, burung gagak, elang, tikus, dan semua hewan yang berbahaya.
Semua hewan tersebut dan yang sejenisnya, haram dimakan. Meskipun orang Arab menganggapnya baik untuk dimakan ataupun tidak, karena disunahkan untuk membunuh hewan-hewan tersebut.
Aisyah ra. Meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Lima jenis binatang yang berbahaya, semuanya boleh dibunuh di tanah haram, yaitu gagak, elang, kalajengking, tikus, dan anjing gila.” Hadits ini diriwayatkan oleh imam Al Bukhari di dalam kitab Al Ihshar Wa Jaza’u Al Shaid, bab Ma Yaqtul Al Muhrim Min Al Dawab: 1732, dan imam Muslim di dalam kitab Al Haj, bab Ma Yundab Lilmuhrim Wa Ghairihi Qatlahu Min Al Dawab: 1198.
Kondisi darurat:
Semua hukum-hukum diatas berlaku kecuali dalam kondisi darurat, maka dibolehkan dalam keadaan darurat untuk memakan bangkai, dan hewan-hewan yang diharamkan, hanya sekedar untuk mengganjal perut, dan menjaga tetap hidup. Berdasarkan firman Allah ta’ala, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh Allah Maha Penyayang kepadamu.” (Al Nisa:29).
Allah juga berfirman, “Tetapi barang siapa terpaksa karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Al Maidah:3).
Dan firman-Nya, “Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya, dan tidak(pula) melampau batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Al Baqarah: 173).
Penutup tentang hal-hal yang dihalalkan dan yang diharamkan:
Sebagai tambahan dari yang telah kami sebutkan diatas, maka kami akan menyebutkan sesuatu yang diharamkan dan yang dihalalkan, sebagai pengingat.
1- Sesuatu yang diharamkan:
a. Semua serangga diharamkan, seperti semut, lalat, kumbang, ular, cacing, bangsat, kutu, kecoa, cicak, dan yang lainnya. Juga semua binatang yang memiliki sengat dan racun seperti lebah, lalat penyengat, kalajengking, dan yang lainnya. selain hewan-hewan yang dikecualikan, seperti belalang, landak, biawak, Yarbu’, dan ulat yang terdapat pada buah apabila ikut termakan bersamanya.
b. Burung yang haram dimakan:
- Al Babbagha: yaitu burung berwarna hijau , yang pandai menirukan suara (sejenis beo).
- Al Thawus: yaitu burung yang suka membanggakan diri, sombong, dan suka memamerkan bulunya (sejenis merak).
- Al Rakhamah: burung yang bentuknya menyerupai elang (sejenis burung nazar).
- Al Bughatsah: burung berwarna putih, terbangnya lambat, lebih kecil dari rajawali, memiliki cakar yang tidak kuat.
- Al Khuthaf: burung yang punggungnya berwarna hitam, perutnya berwarna putih, dan sering masuk ke dalam rumah pada musim semi (sejenis burung walet).
- Al Khuffasy, disebut juga Al Wathwath: yaitu hewan yang terbang, tidak berbulu, menyerupai tikus, terbang antara waktu maghrib dan isya (sejenis kelelawar).
c. Semua yang najis dan tidak mungkin disucikan, yaitu semua cairan seperti cuka, minyak, sirup, dan yang lainnya, yang tercampur dengan suatu yang najis.
d. Semua yang berbahaya bagi tubuh, seperti batu, debu, kaca, racun, opium, dan yang lainnya.
2- Sesuatu yang halal
a. Hewan-hewan berikut hukumnya halal, yaitu, burung unta, bebek, angsa, ayam, burung puyuh, merpati, semua burung yang bentuknya menyerupai burung pipit, seperti burung bulbul, jalak, dan yang lainnya.
b. Semua yang suci dan tidak berbahaya, dan tidak menjijikkan. seperti bunga, buah-buahan, biji-bijian, telur, keju, dan lain sebagainya. Adapun sesuatu yang menjijikkan maka hukumnya haram. seperti ingus, air mani, dan yang lainnya.
c. Susu hewan yang dagingnya boleh dimakan. Adapun susu hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan maka hukumnya haram. kecual susu manusia, maka hukumnya suci dan halal diminum.

Wallahu a’lam.

AQIQAH PART 1

Aqiqah
Pengertian Aqiqah:
Al Aqiqah secara bahasa adalah bentukan kata dari Al ‘Aq yang berarti Al Qat’u (memotong), pada asalnya Aqiqah berarti rambut yang terdapat pada kepala bayi yang baru lahir, dinamakan Aqiqah karena rambut tersebut dicukur dan dipotong.
Aqiqah secara istilah bermakna hewan yang disembelih untuk bayi saat memotong rambutnya. Sembelihan ini disebut Aqiqah karena hewan sembelihan tersebut dipotong-potong  ketika mencukur rambut sang bayi. Dan disunahkan juga menyebut Aqiqah sebagai Nasikah atau Dzabihah.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Al Adlahi bab Fi Al Aqiqah :2842. Rasulullah saw. ditanya tentang Aqiqah, lalu beliau bersabda, “Allah tidak menyukai Al Aquq,” seolah-olah beliau tidak menyukai nama tersebut, lalu beliau bersabda, “Barangsiapa yang dikaruniai seorang anak, lalu dia ingin menyembelih (Aqiqah) untuknya, maka sembelihlah.”
Hukum Aqiqah:
Hukum Aqiqah adalah sunah muakkadah, dan wajib ditanggung oleh wali sang bayi.
Dalil disunahkannya Aqiqah adalah perbuatan Rasul saw. dan para sahabat, dari Salman bin Amir Al Dlabby ra. Ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Pada anak laki-laki ada kewajiban mengaqiqahinya, maka alirkanlah darah baginya (menyembelih aqiqah), dan hilangkanlah kotoran darinya.” Hadits ini diriwayatkan oleh imam Al Bukhari di dalam Al Aqiqah, bab Imathah Al Adza ‘An Al Shabi Fi Al Aqiqah :5154.
Para ulama berpendapat bahwa Aqiqah tidak wajib karena Aqiqah adalah mengalirkan darah sembelihan bukan karena jinayah (pidana) atau nazar, sehingga tidak wajib seperti Udlhiyah (kurban).
Dalil yang menunjukkan bahwa Aqiqah tidak wajib adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud terdahulu, “Barangsiapa dikaruniai seorang anak, lalu dia ingin menyembelih (Aqiqah) untuknya, maka sembelihlah.”   
Waktu pelaksanaan Aqiqah
Aqiqah boleh dilaksanakan ketika si bayi telah keluar dari rahim sang ibu. dan kalau hewan tersebut disembelih ketika si bayi belum keluar dengan sempurna, maka hal itu tidak dianggap sebagai Aqiqah. tetapi hanya sembelihan biasa, dan tidak dihukumi sebagai Aqiqah yang disunahkan.
Waktu pelaksanaan Aqiqah adalah sampai si anak tersebut baligh. adapun setelah baligh, maka gugurlah tanggung jawab tersebut dari sang ayah, dan yang lebih baik saat itu adalah ia mengaqiqahi dirinya sendiri sebagai ganti yang telah lalu.
Akan tetapi disunahkan untuk melaksanakan Aqiqah pada hari ketujuh setelah kelahiran sang bayi.
Sebagaimana dijelaskan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud didalam kitab Al Adlahi, bab Maa Ja’a Fi Al Aqiqah :1522, dari Samrah ra. Ia berkataa, “Rasulullah saw. bersabda, “Seorang anak tergadai dengan Aqiqahnya, (Aqiqah) disembelih pada hari ke tujuh (setelah kelahiran bayi), diberi nama, dan dicukur rambutnya.”
Makna tergadai dengan Aqiqahnya adalah kesempurnaan pertumbuhan dan penjagaan sang bayi tergadai dengan sembelihannya (Aqiqahnya).
Makna yang lain adalah ia tidak dapat memberikan syafaat untuk kedua orang tuanya pada hari kiamat, jika kedua orang tua tersebut tidak menyembelih Aqiqah untuknya.
Hikmah disyariatkannya Aqiqah
Aqiqah memiliki rahasia, maslahat, dan faedah yang banyak, diantaranya:
1- Menyampaikan kabar gembira akan ni’mat Allah  azza wa jalla, karena Allah telah memudahkan proses persalinannya, dan telah memberikan rizki berupa anak bagi kedua orang tuanya. Anak sangat dicintai oleh kedua orang tuanya, maka sepatutnya orang tua bersyukur kepada Dzat yang telah memberikan nikmat tersebut.
Allah ta’ala berfirman, “Jika kamu bersyukur, Dia meridlai kesyukuranmu itu.” (Al Zumar:7).
Allah juga berfirman, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (Ibrahim: 7).
Juga firman Allah ta’ala, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Al Kahfi:46).
Dan Allah juga berfirman, “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa wanita-wanita, anak-anak,” (Ali Imran:14).
2- Beramah tamah dengan mengumumkan nasab sang anak dan menyebarkannya, karena hal tersebut harus disebarkan agar tidak ada pembicaraan yang tidak disukai. dan Aqiqah adalah merupakan cara yang tepat untuk melaksanakan hal tersebut.
3- Menumbuhkan sifat dermawan pada diri manusia, dan menjauhi sifat kikir yang ada pada diri manusia.
Allah berfirman, “Manusia itu pada hakikatnya kikir.” (Al Nisa:128). Allah juga berfirman, “Dan siapa yang dijaga dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al Hasyr:9).
4- Melunakkan hati keluarga, kaum kerabat, teman-teman, dan orang-orang fakir dengan mengumpulkan mereka dalam jamuan makan, dan dengan bertemu mereka maka akan tumbuhlah rasa cinta, suka, dan ramah. Islam adalah agama yang ramah, penuh cinta, dan menjunjung persatuan

wasiat part 2

Hukum wasiat
Pada awal permulaan islam, wasiat kepada kedua orang tua dan keluarga dekat hukumnya wajib, dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al Baqarah: 180).
Akan tetapi kewajiban ini kemudian dinasakh (dihapus), dengan ayat mawarits (ayat-ayat tentang hukum waris), dan juga dihapus dengan hadits Nabi saw., sehingga wasiat hukumnya sunah, diberikan untuk kebaikan, hanya sepertiga atau kurang, dan diberikan kepada selain ahli waris.
Abu Dawud di dalam Al Washaya, bab Ma Ja’a Fi Naskhi Al Washiyah Li Alwalidain Wa Al Aqrabin: 2869, dan Al Tirmidzi di dalam Al Washaya bab ke dua: 2118, dari Abdullah bin Abbas ra. Berkata, “jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik,” dulu wasiat adalah seperti itu, sehingga dihapus dengan ayat Al Mawarits (ayat-ayat tentang hukum warisan).”
Amr bin Kharijah ra. Meriwayatkan bahwa Nabi saw. berkhutbah di atas untanya, sementara aku berada di bawah leher untanya, dan unta tersebut memamah makanannya  sementara air liurnya bertetesan diantara dua pundakku. aku mendengar beliau berkata, “Sesungguhnya Allah telah memberikan semua orang yang berhak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris, anak (hasil zina) adalah milik ibunya, dan bagi orang yang berzina adalah batu (rajam).” Hadits ini diriwayatkan oleh Al Tirmidzi di dalam Al Washaya, bab Ma Ja’a La Washiyata Liwaritsin: 2122, dan Al Nasai di dalam Al Washaya, bab Ibthal Al Washiyah Lilwarits: 6/247.
Abu Umamah Al Bahili ra. Berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memberikan semua orang yang berhak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud, di dalam Al Washaya, bab Ma Ja’a Fi Al Washiyah Li Al Warits: 2870.

Hukum-hukum wasiat yang lain
Kami telah menjelaskan bahwa wasiat hukumnya sunah dalam hal kebaikan, dan untuk selain ahli waris. akan tetapi dalam kondisi tertentu terkadang hukum wasiat bisa berubah menjadi:
A. wajib
Hukum wasiat menjadi wajib apabila seseorang berkewajiban untuk memenuhi hak syar’i kepada Allah, seperti zakat dan haji, dan dia takut jika tidak berwasiat, maka hak Allah tersebut terlalaikan. Demikian juga jika hak tersebut adalah hak orang lain, seperti titipan atau hutang. sehingga apabila dia tidak berwasiat maka dikhawatirkan tidak ada orang yang mengetahui hal ini.
b. haram
wasiat hukumnya haram apabila seseorang berwasiat dengan sesuatu yang diharamkan syariat. Seperti wasiat berupa khamr, atau berwasiat untuk hal–hal yang dapat merusak akhlak masyarakat. Selain haram, wasiat seperti ini tidak sah dan tidak boleh dilaksanakan.
Termasuk wasiat yang diharamkan adalah wasiat dengan tujuan ingin menzalimi ahli waris dan menghalangi mereka dari mengambil hak mereka yang telah di tentukan secara syar’i.
Allah SWT. melarang wasiat untuk menzalimi orang lain. Allah berfirman, “Dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris) demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.” (Al Nisa: 12).
Abu Hurairah ra. Meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya ada seorang laki-laki dan wanita yang beramal dengan ketaatan kepada Allah selama enam puluh tahun, kemudian kematian menghampiri mereka berdua, lalu mereka menyulitkan (para pewaris)dalam berwasiat, sehingga neraka wajib bagi mereka,” kemudian Abu Hurairah ra. Membaca ayat, “Setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris)demikianlah ketentuan Allah,” sampai firman-Nya, “Dan itulah kemenangan yang agung.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam Al Washaya, bab Ma Ja’a Fi Karahiyati Al Idlrar Bi Al Washiyah: 2867, dan Al Tirmidzi di dalam Al Washaya, bab Al Idlrar Fi Al Washiyah: 2118.
c. mubah
yaitu wasiat untuk teman atau orang kaya, yang tidak berilmu atau salih. Akan tetapi jika dia berniat untuk kebaikan dan menyambung silaturahim, maka wasiat tersebut hukumnya sunah, karena hal tersebut merupakan wasiat dalam ketaatan.
d. makruh

wasiat hukumnya makruh, yaitu apabila orang yang berwasiat hanya memiliki harta yang sedikit, dan memiliki ahli waris yang miskin dan membutuhkan bantuan. Sebagaimana makruhnya wasiat untuk orang fasik dan ahli maksiat, jika diyakini bahwa wasiat tersebut akan membantu mereka berdua dalam bermaksiat.

sembelihan part 2

Syarat sah menyembelih
Yaitu hal-hal yang harus dipenuhi ketika menyembelih, agar dapat dihukumi bahwa hewan tersebut disembelih secara ayar’i.
Syarat-syarat ini terbagi menjadi tiga macam:
a. Syarat-syarat yang berhubungan dengan orang yang menyembelih.
b. Syarat-syarat yang berhubungan dengan binatang yang disembelih.
c. Syarat-syarat yang berhubungan dengan alat yang digunakan untuk menyembelih.

1- Syarat-syarat orang yang menyembelih:
Syarat-syarat yang berhubungan dengan orang yang menyembelih adalah sebagai berikut:
Syarat pertama: orang yang menyembelih adalah seorang muslim atau Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani).
Kalau orang yang menyembelih bukan orang islam atau Ahli Kitab, seperti orang yang murtad, penyembah berhala, atheis, atau Majusi, maka sembelihannya tidak halal.
Dalil halalnya sembelihan orang muslim adalah firman Allah ta’ala, “Kecuali yang sempat kamu sembelih.” (Al Maidah:3).konteks  Ayat ini ditujukan kepada kaum muslimin.
 Adapun dalil halalnya sembelihan Ahli Kitab adalah firman Allah ta’ala, “Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu,” (Al Maidah:5). Maksud dari makanan pada ayat ini adalah sembelihan mereka.
Adapun dalil haramnya sembelihan orang-orang kafir selain Ahli Kitab adalah sebuah riwayat yang menceritakan bahwa Nabi saw. “Memerintahkan untuk menawarkan islam kepada Majusi Hajar, siapa saja diantara mereka yang masuk islam maka diterima, dan siapa saja yang menolak untuk masuk islam, maka wajib untuk membayar jizyah, tidak dimakan sembelihan mereka, dan tidak dinikahi wanita mereka.”  Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, juz:9, hal:285, ia berkata, “Hadits ini Mursal, dan dikuatkan oleh ijmak mayoritas umat.
(Hadits Mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh tabi’i langsung dari Nabi saw tanpa menyebutkan nama Shahabi yang ia meriwayatkan hadits tersebut darinya).
Kalau hukum bagi orang-orang majusi adalah seperti yang disebutkan hadits ini, maka lebih-lebih bagi orang-orang murtad, penyembah berhala, dan orang-orang Atheis, karena mereka adalah orang-orang yang lebih kufur.
Syarat kedua:  seorang Ahli Kitab murni, artinya baik dia atau salah satu dari bapak-bapaknya tidak menjadi seorang Ahli Kitab setelah terjadi penyelewengan didalam agama tersebut, atau setelah di nasakh (dihapus).
Adapun orang Atheis yang menjadi seorang Nashrani pada saat sekarang, maka tidak halal sembelihannya. Demikian juga seorang Nashrani atau Yahudi yang diketahui bahwa salah satu dari kakeknya dulu adalah seorang penyembah berhala yang kemudian menjadi seorang nashrani setelah terjadi penyelewengan didalam agama tersebut atau setelah diutusnya Nabi Muhammad saw., maka sembelihannya tidak halal.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwaytkan oleh Syahr bin Hausyab, bahwa Nabi saw. melarang untuk memakan sembelihan orang-orang nasrani dari bangsa Arab, mereka adalah suku Bahra’, Tanukh, dan Taghlab.
Sebab dilarangnya memakan sembelihan mereka adalah karena mereka masuk kedalam agama Kristen setelah terjadi penyelewengan didalam agama tersebut.
Syarat ketiga: menyembelih hanya untuk Allah dan atas nama-Nya, bukan untuk selain-Nya.
Kalau seseorang  menyembelih atas nama berhala, orang muslim, atau nabi sekalipun, maka sembelihannya tidak halal.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala ketika menjelaskan hal-hal yang diharamkan, “Dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah.” Yakni, hewan yang disembelih bukan atas nama Allah atau menyebutkan selain nama Allah ketika menyembelihnya.
Apabila ketiga syarat ini terpenuhi  maka halal sembelihannya. tanpa ada perbedaan apakah orang yang menyembelih tersebut laki-laki atau wanita, orang dewasa atau anak-anak, bahkan tidak ada perbedaan antara yang sudah baligh atau belum, atau antara orang yang mabuk dan orang gila, atau yang lainnya, selama dia mampu untuk menyembelih, dan selama tujuan menyembelih terdapat pada orang tersebut, meskipun secara umum.
2- syarat-syarat yang berhubungan dengan hewan yang disembelih
Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
Syarat pertama: hewan tersebut masih hidup ketika akan disembelih. Dikatakan masih hidup, apabila hewan tersebut tidak dalam kondisi sekarat karena sakit atau luka, dan bergerak-gerak seperti hewan yang disembelih.
Apabila hewan tersebut sudah tidak hidup ketika disembelih, maka sembelihan tersebut tidak halal, kecuali jika hewan tersebut mati karena Dzakat Al Dlarurah (mati karena luka ketika diburu, dan tidak sempat disembelih) sebagaimana yang telah kami jelaskan terdahulu.
Dan darah yang mengalir ketika hewan tersebut disembelih, bukanlah bukti kalau hewan tersebut masih hidup.
Syarat kedua: memotong tenggorokan dan kerongkongan.
Kalau masih ada yang tersisa dari keduanya walau sedikit (belum terpotong secara sempurna), maka sembelihan tersebut tidak halal.
Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Al Bukhari didalam kitab Al Syarikah, bab Qismah Al Ghanam: 2356, dan imam Muslim didalam kitab Al Adlahi, bab Jawazu Al Dzabhi Bikulli Maa Anhara Al Dam :1968, dari Rafi’ bin Khadij ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “(Hewan yang disembelih dengan) alat yang dapat mengalirkan darah, dan disembelih atas nama Allah, maka makanlah. Kecuali gigi dan kuku.”
Hadits ini menjelaskan bahwa syarat menyembelih adalah dengan mengalirkan darah, dan hal itu dapat terjadi dengan memotong tenggorokan dan kerongkongan , hewan biasanya akan mati apabila keduanya dipotong, dan akan tetap hidup selama keduanya masih masih utuh.
Syarat ketiga: bersegara dan sekali potong
Kalau seseorang memotong dengan perlahan-lahan, sehingga hewan tersebut sekarat sebelum tenggorokan dan kerongkongannya terpotong dengan sempurna, maka penyembelihan tersebut tidak sah, dan sembelihannya tidak halal.
Kalau seseorang menyembelih dengan perlahan-lahan, dan berlama-lama ketika memotong, sehingga ketika dia selesai menyembelih hewan tersebut sudah tidak bergerak, maka hal itu adalah bukti bahwa hewan tersebut telah mati sebelum disembelih dengan sempurna. Oleh karena itu, sembelihan itu tidak dianggap dan tidak halal dimakan.
Adanya kehidupan pada hewan yang disembelih dapat diketahui dengan kuatnya gerakan hewan tersebut setelah disembelih.
3- syarat-syarat yang berhubungan dengan alat untuk menyembelih
Syarat-syarat dari alat yang digunakan untuk menyembelih adalah sebagai berikut:
Syarat pertama: alat tersebut dapat melukai karena ketajamannya, baik itu berupa besi, tembaga, timah atau peluru, bambu, kaca, batu, dan yang lainnya.
Dan tidak boleh menyembelih hewan dengan menggunakan alat yang dapat membunuh karena beratnya, seperti batu yang tidak tajam.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Al Bukhari terdahulu, “(Hewan yang disembelih dengan) alat yang dapat mengalirkan darah, dan disembelih atas nama Allah, maka makanlah.
Alat yang dapat melukai karena tajamnya itulah yang dapat mengalirkan darah, adapun sesuatu yang dapat membunuh dengan cara dilempar karena berat, maka hal tersebut bukan alat yang biasa digunakan untuk mengalirkan darah.
Syarat kedua: alat yang digunakan untuk menyembelih bukan gigi atau kuku.
Hewan yang disembelih dengan menggunakan salah satu dari dua hal tersebut tidak halal, meskipun gigi atau kuku dapat melukai karena ketajamannya, dan dapat mengalirkan darah.
Hal itu karena menyembelih dengan menggunakan gigi atau kuku dilarang oleh Rasulullah saw., yaitu hadits Rafi’ bin Khadij ra. Yang terdahulu. “kecuali gigi dan kuku.”
Semua jenis tulang dihukumi seperti hukum gigi dan kuku, baik itu tulang manusia atau yang lainnya.
Hikmah dari larangan ini adalah sebagaimana ucapan para ulama adalah Al Ta’abbud Al Makhd (murni ibadah), kita tahu bahwa hukum menyembelih adalah karena berdasarkan ibadah murni, bukan berdasarkan sebab atau maslahat tertentu. Maka yang lebih utama untuk mengetahui sebab pelarangan tersebut adalah sesuai dengan ucapan para ulama, yaitu karena murni ibadah. Wallahu a’lam.

Wednesday, December 17, 2014

wasiat part 1

WASIAT
Pengertian wasiat
Al Washiyah secara bahasa bermakna Al Ishal (menyampaikan). Al Washiyah dan Al Isha’ secara bahasa memiliki makna yang sama.
Al Washiyah adalah isim maf’ul yang bermakna Al Mushaa Bihi (yang diwasiatkan), sebagaimana firman Allah ta’ala, “(Setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat,” (Al Nisa: 12). Al Washiyah juga terkadang sebagai Masdar yang bermakna Al Isha’ sebagaimana firman Allah azza wa jalla, “Apabila salah seorang (di antara) kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) di saksikan,”(Al Maidah: 106).
Wasiat secara istilah adalah sumbangan yang diberikan setelah kematian orang yang menyumbang. Sumbangan ini disebut wasiat, karena orang yang berwasiat telah menyambung kebaikan setelahnya dengan kebaikan dunianya (dengan wasiat tersebut).
Perbedaan antara wasiat dan pemberian yang lain:
Dari pengertian diatas, maka menjadi jelas perbedaan antara wasiat dan pemberian-pemberian yang lain. wasiat diberikan setelah orang yang berwasiat tersebut meninggal, sementara pemberian pada akad yang lain seperti hibah misalnya, maka hal itu diberikan ketika orang yang memberikannya tersebut masih hidup.
Dalil disyariatkannya wasiat
Dalil yang menunjukkan disyariatkannya wasiat adalah dalil dari Al Quran, Al Sunnah, perbuatan para sahabat, dan ijma’ para ulama.
Adapun dalil dari Al Quran adalah firman Allah ta’ala, “Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al Baqarah: 180).
Maksud dari  “Cara yang baik” adalah dengan cara yang adil, yang tidak menzalimi ahli waris.
 Dan firman-Nya, “Setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya, atau (dan setelah dibayar) utangnya,” (Al Nisa: 11).
Juga firman Allah ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang (di antara) kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu,” (Al Maidah: 106).
Adapun dalil wasiat dari Al Sunah adalah sebagai berikut:
Imam Al Bukhari meriwayatkan di dalam kitab Al Washaya, bab Al Washaya wa Qaulu Al Nabi “Washiyatu Al Rajuli Maktubatun ‘Indah: 2587, dan imam Muslim di awal kitab Al Washiyah: 1627, dari Abdullah bin Umar ra. Bahwa Rasulullah saw. berkata, “Tidak selayaknya bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu untuk diwasiatkan, bermalam dua malam kecuali wasiat tersebut tertulis di sisinya.”
Maksudnya adalah (demi kehati-hatian), maka sebaiknya wasiatnya tersebut tertulis di sisinya, karena dia tidak tahu kapan kematian akan mendatanginya, sehingga ia terhalang dari keinginannya (berwasiat).
Ibnu Majah meriwayatkan di dalam Al Washaya, bab Al Hatssu ‘Ala Al Washiyah: 2700, dari Anas ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang terhalang adalah orang yang terhalang dari berwasiat.”
Rasulullah saw. juga bersabda, “Barang siapa yang meninggal dalam keadaan berwasiat, maka dia meninggal di atas jalan yang benar dan sunnah, dia meninggal di atas ketakwaan dan syahadah, dan dia meninggal dalam keadaan diampuni.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah di dalam Al Washaya, bab Al Hatsu ‘Ala Al Washiyah: 2701.
Adapun para shahabat, maka mereka mewasiatkan sebagian dari harta mereka sebagai ibadah kepada Allah ta’ala.
Abdu Al Razzaq menceritakan dengan sanad yang sahih, bahwa Anas ra. Berkata, “Para sahabat menulis pada permulaan wasiat mereka, “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, ini adalah yang diwasiatkan oleh fulan bin fulan, hendaklah ia bersaksi tidak ada Tuhan (dengan sebenar-benarnya penyembahan) kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bersaksi bahwa Muhammad saw. adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya, dan sesungguhnya hari kiamat itu pasti datang dan tidak ada keraguan di dalamnya, dan Allah akan menbangkitkan semua yang di dalam kubur,” lalu berwasiat kepada keluarga yang ditinggalkannya untuk bertakwa kepada Allah dan berdamai sesama mereka, mentaati Allah dan Rasul-Nya jika mereka adalah orang yang beriman. dan berwasiat kepada mereka dengan apa yang diwasiatkan oleh nabi Ibrahim dan nabi Ya’qub kepada anak-anak mereka, “Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (Al Baqarah: 132).
Adapun dalil ijmak adalah karena seluruh fuqaha sejak dari zaman sahabat telah bersepakat (ijmak) akan bolehnya berwasiat, dan tidak ada satu riwayatpun dari mereka yang melarang wasiat.

Sedekah yang diberikan ketika masih hidup lebih utama daripada wasiat
Sedekah yang diberikan saat masih hidup, lebih utama, lebih banyak pahala, dan lebih besar balasannya daripada sedekah yang diberikan setelah ia mati (yaitu wasiat), karena sedekah yang diberikan ketika masih hidup, lebih dahulu mendapatkan balasan dan pahala, dan lebih menunjukkan akan kejujuran dan keimanannya, menunjukkan akan kesukaannya kepada kebaikan dan kedermawanan, serta kecintaannya kepada keduanya.
Allah berfirman, “Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (Al Maidah: 48), juga firman-Nya, “Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang diantara kamu.” (Al Munafiqun: 10).
Imam Al Bukhari meriwayatkan di dalam Al Zakah, bab Ayu Shadaqah Afdlal: 1353, dan imam Muslim di dalam Al Zakah, bab Anna Afdlala Al Shadaqah Shadaqah Al Shahih Al Syakhih: 1032, dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. ia bertanya, “Wahai Rasulullah, shadaqah apakah yang paling besar pahalanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Kamu bersedekah ketika kamu dalam keadaan sehat dan kikir, kamu takut menjadi fakir, dan berangan-angan akan kekayaan. Maka janganlah kamu menunda-nundanya, hingga apabila nyawamu sudah di tenggorokan, lalu kamu berkata, “Untuk fulan sekian, untuk fulan sekian,” (dia berwasiat dan bersedekah menjelang kematiannya), padahal hartanya (ketika itu) telah menjadi milik fulan (yaitu telah menjadi milik ahli waris).”
Al Tarmidzi meriwayatkan di dalam Al Washaya, bab Ma Ja’a Fi Al Rajuli Yatashaddaqu Au Yu’tiqu ‘Inda Al Maut:2124, dari Abu Al Darda’ ia berkata, “Saya mendengaar Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan seseorang yang membebaskan budak menjelang kematiannya (sekarat), adalah seperti orang yang memberikan hadiah ketika telah kenyang.”

Hikmah disyariatkannya wasiat
Sesuai dengan kaidah syar’iyah, seharusnya wasiat tidak boleh dilakukan. Karena wasiat diberikan pada saat orang yang berwasiat tersebut sudah tidak memiliki hak terhadap hartanya, karena kematian menghilangkan hak kepemilikan. Akan tetapi syariat membolehkan wasiat, karena wasiat mengandung kebaikan bagi orang yang berwasiat, keluarga dekat, dan bagi masyarakat.
Adapun kebaikan bagi orang yang berwasiat adalah dia memperoleh balasan dan pahala dari wasiat yang ia lakukan, dan dia juga akan dikenang sebagai orang baik setelah kematiannya.
Kebaikan wasiat bagi keluarga dekatnya adalah karena pada umumnya wasiat diberikan kepada keluarga dekat yang tidak berhak mendapat warisan sesuai dengan hukum waris, akan tetapi mereka berhak mendapatkan wasiat berupa harta dengan jumlah tertentu, dan mereka kebanyakan adalah orang yang sangat membutuhkan.
Adapun kebaikan wasiat bagi masyarakat adalah Karena wasiat merupakan satu pintu dari pintu-pintu infak untuk kebaikan umum, seperti masjid, sekolahan, perpustakaan, rumah sakit, dan lain sebagainya, termasuk juga wasiat yang diberikan kepada orang-orang fakir, anak-anak yatim, dan para ulama.
Berdasarkan hal ini, maka wasiat adalah merupakan aturan solidaritas kemasyarakatan di dalam perundang-undangan islam, dan tidak samar lagi bahwa wasiat memiliki kebaikan dan manfaat yang banyak.