Saturday, December 20, 2014

wasiat part 3

Rukun-rukun wasiat, dan syarat-syarat dari setiap rukun
Rukun wasiat ada empat. Yaitu: Orang yang berwasiat, orang yang diberi wasiat, harta yang diwasiatkan, dan sighat (bentuk ucapan akad) wasiat.
Dan setiap rukun dari rukun-rukun tersebut memiliki syarat-syarat tersendiri yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut:
Syarat-syarat orang yang berwasiat
Wasiat seseorang dianggap sah, apabila dia memenuhi syarat sebagai berikut:
a. berakal, ini adalah syarat yang harus dipenuhi, terutama di dalam hibah dan infak. Wasiat dari orang yang gila, idiot, orang pingsan, dan orang yang sengaja mabuk adalah tidak sah. Karena mereka tidak berakal yang merupakan syarat dibebaninya seseorang dengan hukum syariat, oleh karena itu mereka juga tidak memiliki hak untuk bertabarru’ (menyumbang).
b. baligh,
baligh adalah merupakan syarat dibebaninya seseorang akan hukum syariat, sehingga wasiat anak kecil meskipun dia sudah mumayyiz (sudah bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk) tidak sah, karena anak kecil tidak memiliki hak untuk bertabarru’.
c. tidak dipaksa
wasiat orang yang dipaksa tidak sah, karena wasiat adalah memberikan hak yang dimilikinya, sehingga harus didasari ridlo dari orang yang memberi dan tidak dipaksa.
d. merdeka
wasiat seorang budak tidak sah, baik itu budak murni, Mudabbar (budak yang langsung merdeka ketika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah bersepakat dengan tuannya untuk membayar jumlah tertentu dengan cara dicicil, dan jika sudah lunas, maka dia akan menjadi orang yang merdeka). Wasiat ini tidak sah, karena budak bukanlah pemilik harta, bahkan diri dan hartanya adalah milik tuannya.
Dan syariat membolehkan untuk mewariskan wasiat, sementara budak tidak mewariskan, sehingga tidak berhak untuk berwasiat.
Berdasarkan syarat-syarat orang yang berwasiat sebagaimana yang telah kami sebutkan diatas, maka wasiat orang-orang berikut ini sah:
1- orang kafir, karena dia memiliki hak untuk bertabarru’ (hak menginfakkan hartanya sesuai keinginannya)
2- orang yang hartanya ditahan sebab kedunguannya, karena dia adalah seorang mukallaf sehingga butuh akan pahala setelah kematiannya.

Syarat-syarat orang yang diberi wasiat
Orang yang diberi wasiat ada dua macam, Mua’yyan (tertentu), dan Ghairu Mua’yyan (tidak tertentu).
Dan setiap dari keduanya, memiliki syarat-syarat tersendiri.
Syarat-syarat Al Musha lahu Al Mua’yyan (orang yang diberi wasiat dan orangnya sudah ditentukan):
a) orang tersebut dimungkinkan untuk menerima hak kepemilikan saat kematian orang yang berwasiat, sehingga wasiat kepada mayit dan hewan tidak sah. Karena mayit bukan orang yang memiliki hak milik, demikian juga hewan (yaitu jika dia tidak menjelaskan secara rinci wasiat tersebut). akan tetapi jika dia merinci wasiatnya, seperti jika dia berwasiat untuk membelikan makanan hewan tersebut, maka wasiat seperti ini sah, dan harta yang diwasiatkan adalah milik orang yang mengurus hewan itu, dan dia wajib untuk melaksanakan wasiat itu, yaitu dengan membelanjakannya untuk makanan hewan tersebut sesuai dengan yang diwasiatkan, hal ini dilakukan demi menjaga tujuan dari orang yang berwasiat.
Berdasarkan hal ini pula, maka wasiat untuk janin yang masih ada di dalam kandungan ketika wasiat itu diucapkan, adalah sah, dan wajib dilaksanakan jika janin yang di dalam kandungan tersebut telah lahir dalam keadaan hidup dan selamat, hal itu jika bayi tersebut lahir kurang dari enam bulan setelah wasiat diucapkan, karena enam bulan adalah batas minimal masa kehamilan.
b) bukan untuk kemaksiatan, sehingga wasiat berupa budak muslim untuk diberikan kepada orang kafir tidak sah, demikian juga wasiat berupa mushaf untuk diberikan kepada orang kafir, sebagaimana tidak dibolehkannya berwasiat berupa senjata atau harta untuk diberikan kepada musuh, karena semua itu adalah wasiat dalam kemaksiatan.
c) orangnya sudah ditentukan, sehingga wasiat kepada salah satu dari kedua orang ini (tanpa ditentukan orangnya) tidak sah, karena orang yang diberi wasiat tidak diketahui. Dan ketidaktahuan ini menyebabkan harta yang diwasiatkan tersebut tidak boleh diberikan kepada orang yang diberi wasiat.
d) orang yang diberi wasiat itu ada ketika wasiat di tulis, sehingga wasiat untuk bayi yang belum ada, atau untuk masjid yang belum dibangun, adalah tidak sah.
Dan termasuk wasiat untuk pihak yang sudah ditentukan adalah wasiat untuk memakmurkan masjid, baik  membangun dan menghiasnya, atau untuk kebaikan masjid tersebut secara umum.
Dan hal yang serupa dengan masjid adalah wasiat untuk sekolah, penjagaan perbatasan, dan wasiat rumah sakit. Karena itu semua adalah ibadah yang hanya dilakukan oleh mukallaf. hukum berwasiat untuk hal-hal ini adalah seperti hukum wakaf .
Kalau lafal wasiat diucapkan secara mutlak, seperti ucapan, “Saya berwasiat untuk masjid ini,” tanpa menyebutkan yang dimaksud (apakah untuk membangun atau yang lainnya), maka wasiat seperti ini sah, dan harta wasiat tersebut digunakan untuk kemaslahatan masjid, karena itulah yang menjadi kebiasaan di tengah-tengah masyarakat.
Dari syarat-syarat yang telah kami sebutkan, maka menjadi jelas bahwa wasiat untuk seorang pembunuh adalah sah. karena wasiat adalah memberikan hak milik kepada orang lain dengan akad tertentu seperti hibah, demikian juga wasiat untuk Ahli waris adalah sah, jika ahli waris yang lain membolehkannya, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti.


Syarat-syarat Al Musha Lahu Ghairu Mua’yyan (orang yang diberi wasiat dan belum tertentu)
wasiat untuk orang yang belum tertentu, seperti wasiat untuk kelompok secara umum (misalnya wasiat untuk orang-orang fakir, para ulama, masjid, atau sekolah), maka disyaratkan agar wasiat tersebut bukan untuk kemaksiatan atau untuk sesuatu yang dimakruhkan. Sehingga wasiat untuk mendirikan rumah ibadah orang kafir, atau untuk membangun tempat-tempat hiburan yang menyebabkan manusia membuang-buang waktu ditempat tersebut atau menjadikan mereka lupa akan kewajiban mereka adalah tidak sah.
Di antara wasiat untuk hal-hal umum yang dibolehkan:
a. wasiat untuk sabilillah, kalau seandainya seseorang berkata, “Aku mewasiatkan sepertiga dari hartaku untuk sabilillah,” maka wasiat ini sah. Karena membelanjakan harta di jalan Allah adalah merupakan ibadah. Dan harta wasiat ini diberikan kepada orang yang berperang (jihad) seperti orang yang berhak untuk menerima zakat, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman Allah ta’ala, “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk sabilillah (jalan Allah), dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan,” (Al Taubah: 60).   
 b. wasiat untuk para ulama, kalau misalnya seseorang mewasiatkan seratus ribu dari hartanya untuk para ulama, maka wasiat ini sah. Karena ulama adalah orang yang memiliki hak kepemilikan, dan infak yang diberikan kepada mereka adalah merupakan ibadah menurut syariat. Akan tetapi wasiat ini hanya diberikan kepada ulama syariat islam, seperti ulama tafsir, hadits, fikih, ushul fikih, akidah, dan ilmu-ilmu agama yang lain. Karena kata “ulama” biasanya digunakan untuk orang-orang tersebut.
dan berdasarkan ‘Urf (kebiasaan) wasiat ini tidak boleh diberikan kepada ahli sastra, arsitek, dokter, atau ulama-ulama tentang ilmu keduniaan yang semisalnya (karena menurut kebiasaan, mereka tidak disebut dengan ulama). Akan tetapi jika ‘Urf (kebiasaan) tersebut berubah, sehingga kata “ulama” dipakai untuk semua orang, sehingga semua orang yang berpendidikan dalam bidang tertentu disebut ulama, maka pada saat itu wasiat boleh diberikan kepada semua orang yang berpendidikan dari segala bidang.
c. orang-orang fakir, termasuk di dalam kelompok ini adalah orang-orang miskin. Demikian juga jika seseorang berwasiat untuk diberikan kepada orang-orang miskin, maka wasiat ini juga mencakup orang-orang fakir. Dan cukup untuk memberikan wasiat tersebut kepada tiga orang dari golongan mereka, karena tiga adalah batas minimal dari bentuk jamak.   
d. Ahlul bait, kalau seseorang berwasiat untuk memberikan sepertiga dari hartanya untuk Ahlul bait (keluarga Rasulullah saw.), maka wasiat ini diberikan kepada orang yang termasuk Bani Hasyim, dan Bani Al Mutthalib. Dan boleh hanya diberikan kepada kepada tiga orang dari mereka.
e. keluarga dekat, termasuk di dalamnya adalah semua keluarga dekat orang yang berwasiat, baik dari pihak ayah ataupun pihak ibu, dan ahli waris tidak termasuk di dalamnya.
f. haji dan umrah, kalau seseorang berkata, “Saya mewasiatkan seratus ribu dari hartaku untuk haji dan umrah,” maka wasiat seperti ini sah, karena haji dan umrah adalah ibadah. Dan harta wasiat tersebut diberikan kepada orang yang berhaji, atau orang yang melakukan umrah.
Demikian juga jika seseorang berwasiat untuk dihajikan, maka wasiatnya tersebut sah, dan dia dihajikan dimulai dari negaranya, atau dimulai dari miqat (sesuai yang disyaratkan didalam wasiat), akan tetapi jika wasiat tersebut disebutkan secara mutlak dan tidak ditentukan tempatnya, maka dia dihajikan dan dimulai dari Miqat, karena pada umumnya orang berhaji dimulai dari Miqat, akan tetapi jika kebiasaan ini kemudian berubah, maka dia dihajikan dan dimulai dari Negara orang yang berwasiat (dilakukan sesuai dengan ‘Urf (kebiasaan) di tempat tersebut).

No comments:

Post a Comment