Wednesday, December 17, 2014

wasiat part 1

WASIAT
Pengertian wasiat
Al Washiyah secara bahasa bermakna Al Ishal (menyampaikan). Al Washiyah dan Al Isha’ secara bahasa memiliki makna yang sama.
Al Washiyah adalah isim maf’ul yang bermakna Al Mushaa Bihi (yang diwasiatkan), sebagaimana firman Allah ta’ala, “(Setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat,” (Al Nisa: 12). Al Washiyah juga terkadang sebagai Masdar yang bermakna Al Isha’ sebagaimana firman Allah azza wa jalla, “Apabila salah seorang (di antara) kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) di saksikan,”(Al Maidah: 106).
Wasiat secara istilah adalah sumbangan yang diberikan setelah kematian orang yang menyumbang. Sumbangan ini disebut wasiat, karena orang yang berwasiat telah menyambung kebaikan setelahnya dengan kebaikan dunianya (dengan wasiat tersebut).
Perbedaan antara wasiat dan pemberian yang lain:
Dari pengertian diatas, maka menjadi jelas perbedaan antara wasiat dan pemberian-pemberian yang lain. wasiat diberikan setelah orang yang berwasiat tersebut meninggal, sementara pemberian pada akad yang lain seperti hibah misalnya, maka hal itu diberikan ketika orang yang memberikannya tersebut masih hidup.
Dalil disyariatkannya wasiat
Dalil yang menunjukkan disyariatkannya wasiat adalah dalil dari Al Quran, Al Sunnah, perbuatan para sahabat, dan ijma’ para ulama.
Adapun dalil dari Al Quran adalah firman Allah ta’ala, “Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al Baqarah: 180).
Maksud dari  “Cara yang baik” adalah dengan cara yang adil, yang tidak menzalimi ahli waris.
 Dan firman-Nya, “Setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya, atau (dan setelah dibayar) utangnya,” (Al Nisa: 11).
Juga firman Allah ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang (di antara) kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu,” (Al Maidah: 106).
Adapun dalil wasiat dari Al Sunah adalah sebagai berikut:
Imam Al Bukhari meriwayatkan di dalam kitab Al Washaya, bab Al Washaya wa Qaulu Al Nabi “Washiyatu Al Rajuli Maktubatun ‘Indah: 2587, dan imam Muslim di awal kitab Al Washiyah: 1627, dari Abdullah bin Umar ra. Bahwa Rasulullah saw. berkata, “Tidak selayaknya bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu untuk diwasiatkan, bermalam dua malam kecuali wasiat tersebut tertulis di sisinya.”
Maksudnya adalah (demi kehati-hatian), maka sebaiknya wasiatnya tersebut tertulis di sisinya, karena dia tidak tahu kapan kematian akan mendatanginya, sehingga ia terhalang dari keinginannya (berwasiat).
Ibnu Majah meriwayatkan di dalam Al Washaya, bab Al Hatssu ‘Ala Al Washiyah: 2700, dari Anas ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang terhalang adalah orang yang terhalang dari berwasiat.”
Rasulullah saw. juga bersabda, “Barang siapa yang meninggal dalam keadaan berwasiat, maka dia meninggal di atas jalan yang benar dan sunnah, dia meninggal di atas ketakwaan dan syahadah, dan dia meninggal dalam keadaan diampuni.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah di dalam Al Washaya, bab Al Hatsu ‘Ala Al Washiyah: 2701.
Adapun para shahabat, maka mereka mewasiatkan sebagian dari harta mereka sebagai ibadah kepada Allah ta’ala.
Abdu Al Razzaq menceritakan dengan sanad yang sahih, bahwa Anas ra. Berkata, “Para sahabat menulis pada permulaan wasiat mereka, “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, ini adalah yang diwasiatkan oleh fulan bin fulan, hendaklah ia bersaksi tidak ada Tuhan (dengan sebenar-benarnya penyembahan) kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bersaksi bahwa Muhammad saw. adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya, dan sesungguhnya hari kiamat itu pasti datang dan tidak ada keraguan di dalamnya, dan Allah akan menbangkitkan semua yang di dalam kubur,” lalu berwasiat kepada keluarga yang ditinggalkannya untuk bertakwa kepada Allah dan berdamai sesama mereka, mentaati Allah dan Rasul-Nya jika mereka adalah orang yang beriman. dan berwasiat kepada mereka dengan apa yang diwasiatkan oleh nabi Ibrahim dan nabi Ya’qub kepada anak-anak mereka, “Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (Al Baqarah: 132).
Adapun dalil ijmak adalah karena seluruh fuqaha sejak dari zaman sahabat telah bersepakat (ijmak) akan bolehnya berwasiat, dan tidak ada satu riwayatpun dari mereka yang melarang wasiat.

Sedekah yang diberikan ketika masih hidup lebih utama daripada wasiat
Sedekah yang diberikan saat masih hidup, lebih utama, lebih banyak pahala, dan lebih besar balasannya daripada sedekah yang diberikan setelah ia mati (yaitu wasiat), karena sedekah yang diberikan ketika masih hidup, lebih dahulu mendapatkan balasan dan pahala, dan lebih menunjukkan akan kejujuran dan keimanannya, menunjukkan akan kesukaannya kepada kebaikan dan kedermawanan, serta kecintaannya kepada keduanya.
Allah berfirman, “Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (Al Maidah: 48), juga firman-Nya, “Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang diantara kamu.” (Al Munafiqun: 10).
Imam Al Bukhari meriwayatkan di dalam Al Zakah, bab Ayu Shadaqah Afdlal: 1353, dan imam Muslim di dalam Al Zakah, bab Anna Afdlala Al Shadaqah Shadaqah Al Shahih Al Syakhih: 1032, dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. ia bertanya, “Wahai Rasulullah, shadaqah apakah yang paling besar pahalanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Kamu bersedekah ketika kamu dalam keadaan sehat dan kikir, kamu takut menjadi fakir, dan berangan-angan akan kekayaan. Maka janganlah kamu menunda-nundanya, hingga apabila nyawamu sudah di tenggorokan, lalu kamu berkata, “Untuk fulan sekian, untuk fulan sekian,” (dia berwasiat dan bersedekah menjelang kematiannya), padahal hartanya (ketika itu) telah menjadi milik fulan (yaitu telah menjadi milik ahli waris).”
Al Tarmidzi meriwayatkan di dalam Al Washaya, bab Ma Ja’a Fi Al Rajuli Yatashaddaqu Au Yu’tiqu ‘Inda Al Maut:2124, dari Abu Al Darda’ ia berkata, “Saya mendengaar Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan seseorang yang membebaskan budak menjelang kematiannya (sekarat), adalah seperti orang yang memberikan hadiah ketika telah kenyang.”

Hikmah disyariatkannya wasiat
Sesuai dengan kaidah syar’iyah, seharusnya wasiat tidak boleh dilakukan. Karena wasiat diberikan pada saat orang yang berwasiat tersebut sudah tidak memiliki hak terhadap hartanya, karena kematian menghilangkan hak kepemilikan. Akan tetapi syariat membolehkan wasiat, karena wasiat mengandung kebaikan bagi orang yang berwasiat, keluarga dekat, dan bagi masyarakat.
Adapun kebaikan bagi orang yang berwasiat adalah dia memperoleh balasan dan pahala dari wasiat yang ia lakukan, dan dia juga akan dikenang sebagai orang baik setelah kematiannya.
Kebaikan wasiat bagi keluarga dekatnya adalah karena pada umumnya wasiat diberikan kepada keluarga dekat yang tidak berhak mendapat warisan sesuai dengan hukum waris, akan tetapi mereka berhak mendapatkan wasiat berupa harta dengan jumlah tertentu, dan mereka kebanyakan adalah orang yang sangat membutuhkan.
Adapun kebaikan wasiat bagi masyarakat adalah Karena wasiat merupakan satu pintu dari pintu-pintu infak untuk kebaikan umum, seperti masjid, sekolahan, perpustakaan, rumah sakit, dan lain sebagainya, termasuk juga wasiat yang diberikan kepada orang-orang fakir, anak-anak yatim, dan para ulama.
Berdasarkan hal ini, maka wasiat adalah merupakan aturan solidaritas kemasyarakatan di dalam perundang-undangan islam, dan tidak samar lagi bahwa wasiat memiliki kebaikan dan manfaat yang banyak.

No comments:

Post a Comment