7- kafarat nazar
Nazar yang wajib untuk membayarnya adalah apabila nazar tersebut
berupa Nazar Al Lajaj, yaitu nazar yang terjadi karena permusuhan, seperti
seseorang berkata dengan maksud untuk tidak berbicara dengan salah seorang,
ketika terjadi perselisihan diantara keduanya.
Ia berkata, “Jika saya berbicara dengan dia, maka demi Allah wajib
bagi saya untuk berhaji,”
Hukum nazar yang seperti ini adalah apabila hal itu benar-benar
terjadi (ia berbicara dengan orang tersebut setelah bernazar untuk tidak
berbicara lagi dengannya), maka wajib bagi orang yang bernazar untuk
melaksanakan nazarnya, yaitu berhaji misalnya. Atau membayar kafarat sumpah,
dia boleh memilih diantara keduanya.
Kafarat sumpah adalah memerdekakan seorang budak yang mukmin, atau
memberi makan sepuluh orang miskin, atau
memberi pakaian kepada mereka. Jika dia tidak mendapatkan hal tersebut, maka
wajib berpuasa tiga hari dan tidak harus dilakukan secara berurutan, dalilnya
adalah seperti dalil kafarat sumpah yang telah lalu.
Adapun jenis nazar yang lain, maka wajib bagi orang yang bernazar
untuk mewujudkan nazarnya, dan tidak boleh diganti dengan yang lain.
Dalil Nazar Al Lajaj adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam
Muslim di dalam Al Nazar, bab Kafarat Al Nazar: 1645, dari Uqbah bin Amir ra.
Dari Rasulullah saw. bersabda, “Kafarat nazar adalah (seperti) kafarat sumpah.”
8- kafarat zihar
Zihar secara bahasa diambil dari kata Al Zuhr.
Secara istilah Zihar adalah seorang suami yang mengumpamakan
istrinya dalam hal keharaman (untuk di gauli) seperti salah satu dari
mahramnya, misalnya ibu, atau saudara perempuannya.
Seperti ucapan seorang suami kepada istrinya, “Kamu itu seperti
punggung ibuku.”
Orang arab jahiliyah menganggap zihar sebagai salah satu cara untuk
mencerai istri. Akan tetapi di dalam syariat islam, zihar memiliki hukum
tersendiri tidak sama dengan hukum thalak.
Yang akan kami jelaskan disini adalah mengenai kafarat zihar,
adapun hukum-hukum zihar yang lain, maka akan anda temukan pada pembahasan
tentang zihar, pada bab Thalak.
Hal-hal yang mewajibkan kafarat zihar
Apabila seorang suami mengucapkan kata-kata zihar, yaitu
menyerupakan istrinya dengan salah satu dari mahramnya, maka perlu diperhatikan
hal-hal berikut:
Jika dia mengucapkan kata thalak setelah zihar, maka hukumnya
adalah hukum Thalak. Dan zihar yang Ia ucapkan tidak berpengaruh apa-apa.
Adapun jika zihar yang diucapkan tersebut tidak diikuti dengan kata
Thalak, tetapi dia tidak ingin memutuskan ikatan pernikahannya, maka dia
dianggap telah mencabut kata-katanya, dan telah melanggarnya. Sehingga wajib
untuk membayar kafarat yang harus segera ia bayarkan.
Kafarat Zihar:
a. Memerdekakan budak yang mukmin, yang bebas dari cacat yang dapat
mencegahnya dari bekerja.
b. Berpuasa dua bulan berturut-turut, hal ini dilakukan jika dia
tidak menemukan budak seperti zaman kita sekarang, atau dia dapat menemukan
budak, tetapi tidak mampu membelinya.
c. Memberi makan enam puluh orang miskin, hal ini dilakukan jika
dia tidak mampu berpuasa , atau tidak kuat untuk berpuasa selama dua bulan
berturut-turut karena sudah tua atau sakit.
Tiga hal ini dilakukan berurutan sesuai dengan yang telah kami
sebutkan, kita tidak dapat beralih dari satu kepada yang lain kecuali jika kita
tidak mampu untuk melaksanakan kafarat yang sebelumnya.
Maksud dari kewajiban untuk membayar kafarat Zihar dengan segera
adalah dia tidak boleh menggauli istrinya yang dizihar tersebut, sebelum membayar
kafarat berupa salah satu dari tiga hal yang telah disebutkan diatas.
Dalil wajibnya membayar kafarat Zihar
Dalil kafarat zihar adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud
di dalam Kitab Al Thalak, bab Fi Al Zihar, dan Ibnu Majah di dalam Kitab Al
Thalak, bab Al Zihar, bahwa istri Aus bin Al Shamit ra. Datang kepada Nabi saw.
untuk mengadukan suaminya yang telah menziharnya. Lalu Rasulullah saw. berkata,
“Saya tidak melihatmu, kecuali kamu telah dicerai olehnya,” lalu wanita
tersebut berkata, “Wahai Rasulullah! Saya memiliki anak darinya (suami yang
menzihar), jika anak-anak tersebut hidup bersamaku, maka mereka kelaparan. Dan
jika aku meninggalkan mereka bersama ayahnya, maka mereka tidak ada yang
memperhatikan,” wanita tersebut terus berbicara kepada Nabi saw. tetapi jawaban
beliau tidak lebih dari ucapan, “Saya tidak melihatmu, kecuali kamu telah
dicerai olehnya,” maka Allah SWT. menurunkan ayat-ayat awal dari surat Al
Mujadalah:
“Sungguh Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan
kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan
Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar, Maha Melihat. Orang-orang di antara kamu yang menzihar istrinya
(menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibunya,
ibu-ibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkannya. Dan sesungguhnya mereka
benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan
sesungguhnya Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun. Dan mereka yang menzihar
istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (mereka
diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepadamu , dan Allah Mahateliti apa yang kamu
kerjakan. Maka barang siapa tidak dapat (memerdekakan hamba sahaya), maka (dia
wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Tetapi
barang siapa tidak mampu, maka (wajib) member makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. itulah hukum-hukum
Allah, dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat azab yang sangat
pedih.” (Al Mujadalah: 1-4).
9- kafarat orang yang membunuh
Wajib bagi orang yang membunuh satu nyawa yang diharamkan, untuk
membayar kafarat. baik itu membunuh yang disengaja, seperti yang disengaja,
atau membunuh karena keliru. Juga sama saja hukumnya baik ahli waris orang yang
dibunuh membebaskannya dari membayar diyat ataupun tidak, atau orang yang
membunuh tersebut orang yang waras, anak kecil, atau orang gila.
Kafarat ini adalah:
1) Membebaskan seorang budak yang mukmin, dan bebas dari cacat yang
mempengaruhi kerjanya.
2) Jika tidak mampu untuk membebaskan budak, karena sudah tidak ada
budak atau karena tidak mampu membeli budak, maka dia wajib berpuasa dua bulan
berturut-turut.
Dan jika dia tidak mampu untuk berpuasa, maka tidak wajib baginya
untuk memberi makan orang miskin karena tidak ada dalil yang menjelaskannya.
Tetapi dia masih menanggung kafarat tersebut sehingga dia mampu untuk
melaksanakannya.
Dalil wajibnya membayar kafarat karena membunuh:
Dalil kafarat ini adalah firman Allah ta’ala, “Dan tidak patut
bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja). Barang siapa membunuh seorang yang beriman
Karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (si
terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka (hendaklah
si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika dia (si terbunuh)
dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka
(hendaklah si pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa tidak
mendapatkan (hamba sahaya) maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui dan
Mahabijaksana.” (Al Nisa: 92).
Kalau membayar kafarat hukumnya wajib bagi seseorang yang membunuh
karena keliru (tidak sengaja), maka lebih-lebih bagi orang yang membunuh karena
sengaja atau seperti disengaja.
Abu
Daud meriwayatkan di dalam Kitab Al ‘Itq, bab Tsawab Al ‘Itq: 3964, dari
Watsilah bin Al Asqa’ ra. Ia berkata, “Kami datang kepada Rasulullah saw.
menanyakan perihal sahabat kami yang divonis masuk neraka karena membunuh,
beliau kemudian bersabda, “Bebaskanlah budak untuknya, maka Allah akan
membebaskan dengan setiap anggota badan budak tersebut satu anggota badannya
dari neraka.”
No comments:
Post a Comment