Tuesday, December 23, 2014

wasiat part 6

Wasiat yang diberikan kepada ahli waris
a. hukum asal wasiat adalah diberikan kepada selain ahli waris, karena tujuan dari wasiat adalah ibadah, memperoleh pahala, dan mengganti sesuatu yang belum dia kerjakan saat masih hidup. sementara ahli waris dia telah mengambil bagiannya dari harta peninggalannya.
Akan tetapi orang yang berwasiat terkadang menyelisihi hukum asal tersebut, sehingga dia berwasiat untuk ahli warisnya sendiri. Lalu apakah hukum wasiat tersebut?
Menurut madzhab Syafi’I wasiat seperti ini boleh, akan tetapi wasiat tersebut tidak diberikan kepada ahli waris itu, kecuali jika ahli waris yang lain membolehkannya, maka wasiat tersebut boleh dilaksanakan.
Hukum ini berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah telah memberikan orang yang berhak akan haknya masing-masing, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al Tirmidzi di dalam kitab Al Washaya, bab Ma Ja’a La Washiyata Liwaritsin: 2141, dan Abu Daud: 2870,semuanya meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Umamah ra.
Al Daraqutni (4/ 152) meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Wasiat kepada ahli waris tidak boleh, kecuali jika ahli waris yang lain mengijinkannya.”
Mereka juga mengkiaskan wasiat untuk ahli waris dengan wasiat untuk orang lain yang melebihi sepertiga dari hartanya. Sebagaimana yang telah kami jelaskan, bahwa lebihan sepertiga dari harta keseluruhan, hukumnya tergantung ijin dari ahli waris, demikian juga disini.
b. ucapan menerima atau menolak wasiat oleh ahli waris tidak dianggap, selama orang yang berwasiat masih hidup. Karena ahli waris tidak berhak untuk mendapatkan apapun dari harta peninggalan selama orang yang berwasiat masih hidup. Sebagaimana orang yang diberi wasiat juga tidak berhak mendapat apapun selama orang yang berwasiat masih hidup.
Bagi ahli waris yang menerima wasiat ketika orang yang berwasiat masih hidup, boleh untuk menolak wasiat tersebut (setelah orang yang berwasiat meninggal), dan bagi ahli waris yang menolak wasiat ketika orang yang berwasiat masih hidup, maka dia boleh menerimanya setelah orang berwasiat meninggal.
c. seseorang yang diberi wasiat dianggap sebagai ahli waris saat kematian orang yang memberi wasiat, bukan saat berwasiat. Kalau misalnya seseorang berwasiat untuk saudaranya, dan ketika itu dia belum memiliki anak, kemudian dia memiliki anak sebelum dia meninggal, maka wasiat tersebut sah dan harus dilaksanakan, karena kemudian menjadi jelas bahwa wasiat tersebut bukan untuk ahli warisnya, karena adanya anak laki-laki dari orang yang berwasiat saat dia meninggal, dan sebagaimana yang diketahui, anak laki-laki menghalangi saudara laki-laki dari menerima warisan.
d. apabila sebagian dari ahli waris mengijinkan wasiat yang diberikan kepada salah satu ahli waris, dan sebagian ahli waris yang lain menolak wasiat tersebut setelah kematian orang yang berwasiat, maka masing-masing memiliki hukum tersendiri. Yaitu wasiat yang diambil dari bagian orang yang menolak dikembalikan, dan wasiat yang diambil dari bagian ahli waris yang mengijinkan dilaksanakan. Hal itu dilakukan sesuai dengan prosentase masing-masing dari harta peninggalan.
e. diantara hal yang serupa dengan wasiat kepada ahli waris adalah wakaf atau hibah yang diberikan kepada ahli waris, atau membebaskan hutang ahli waris kepada orang yang mewariskan, semua hal tersebut (dapat dilaksanakan tetapi) membutuhkan ijin dari ahli waris yang lain setelah kematian orang yang memberi warisan.

Membatalkan wasiat
Wasiat termasuk akad yang boleh dilaksanakan (tetapi mungkin untuk dibatalkan), dan bukan termasuk akad yang harus dilaksanakan (tidak boleh dibatalkan), seperti akad jual beli, atau akad nikah. Berdasarkan hal ini, maka dibolehkan bagi orang yang berwasiat untuk membatalkan wasiatnya, baik keseluruhan ataupun hanya sebagian dari wasiat tersebut. dan orang yang berwasiat juga boleh mengubah wasiatnya dan memasukkan syarat-syarat atau batasan-batasan terhadap wasiat itu, karena harta yang ia wasiatkan tersebut masih menjadi hak miliknya selama dia masih hidup,sehingga dia bebas untuk memperlakukan hartanya sesuai yang dia inginkan.
Bagaimana cara membatalkan wasiat?
Membatalkan wasiat dapat dilakukan dengan mengucapkan lafal yang menunjukkan hal tersebut, seperti ucapan, “Aku mencabut wasiat itu,” atau “Aku membatalkan wasiat itu,” atau “Aku menarik kembali wasiat itu,” atau “Aku menghapus wasiat itu,” atau Wasiat itu untuk ahli warisku.”
Digunakannya harta wasiat oleh orang yang berwasiat juga merupakan isyarat bahwa dia telah membatalkan dan menarik kembali wasiatnya. Seperti jika ia menjual harta yang diwasiatkan, atau menjadikannya mahar, atau menghibahkannya dan memberikannya kepada orang lain, atau menggadaikan dan menyerahkannya kepada penggadai, semua perlakuan ini adalah dimaksudkan untuk membatalkan atau menarik kembali wasiat. Hal itu dikarenakan dia sudah tidak memiliki hak kepemilikan terhadap harta wasiat tersebut, dan juga karena harta wasiat itu telah ditawarkan untuk diperjualbelikan dengan sesuatu yang lain, seperti digadaikan. Berdasarkan hal ini, maka kami berpendapat,
1- kalau seseorang berwasiat berupa gandum tertentu, kemudian dia mencampurnya dengan gandum yang lain, maka hal ini dianggap sebagai pembatalan wasiat, karena tidak mungkin lagi untuk menyerahkan harta yang diwasiatkan (gandum tertentu) setelah dicampur.
2- apabila seseorang wasiat berupa satu Sha’ gandum dari kantong, kemudian dia mencampurnya dengan gandum yang lebih bagus, maka hal ini dianggap sebagai pembatalan wasiat, karena dengan mencampurnya berarti telah terjadi penambahan, yang tidak mungkin untuk diserahkan semuanya, dan juga tidak mungkin untuk menyerahkannya tanpa tambahan tersebut (tidak mungkin memisahkannya setelah terjadi penyampuran).
3. apabila seseorang wasiat berupa satu Sha’ gandum dari kantong, kemudian dia mencampurnya dengan gandum yang semisalnya, maka hal ini tidak dianggap sebagai pembatalan wasiat, karena tidak terjadi perubahan pada gandum tersebut. demikian juga jika dia mencampurnya dengan gandum yang lebih jelek kualitasnya, karena hal ini seperti terjadinya cacat pada harta wasiat, sehingga tidak berpengaruh apa-apa terhadap harta wasiat tersebut.
4- apabila seseorang wasiat berupa gandum kemudian dia menggiling atau menaburnya, atau seseorang wasiat berupa tepung lalu ia mengadoninya, atau seseorang wasiat berupa kapas kemudian ia memintalnya, atau wasiat berupa benang yang sudah dipintal lalu ia menenunnya, atau wasiat berupa kain lalu ia menjahitnya, atau ia wasiat berupa lahan pekarangan lalu ia membangun atau menanaminya, maka semua hal tersebut dianggap sebagai penarikan kembali harta wasiat, karena dua hal:
Pertama, nama harta yang diwasiatkan telah hilang sebelum orang yang diberi wasiat tersebut memiliki hak akan harta wasiat, hal ini seperti harta wasiat yang rusak.

Kedua, hal-hal seperti diatas mengisyaratkan bahwa orang yang berwasiat telah berpaling dari wasiatnya.

No comments:

Post a Comment