Wasiat yang diberikan kepada
ahli waris
a. hukum asal wasiat adalah
diberikan kepada selain ahli waris, karena tujuan dari wasiat adalah ibadah,
memperoleh pahala, dan mengganti sesuatu yang belum dia kerjakan saat masih
hidup. sementara ahli waris dia telah mengambil bagiannya dari harta
peninggalannya.
Akan tetapi orang yang berwasiat
terkadang menyelisihi hukum asal tersebut, sehingga dia berwasiat untuk ahli
warisnya sendiri. Lalu apakah hukum wasiat tersebut?
Menurut madzhab Syafi’I wasiat
seperti ini boleh, akan tetapi wasiat tersebut tidak diberikan kepada ahli
waris itu, kecuali jika ahli waris yang lain membolehkannya, maka wasiat
tersebut boleh dilaksanakan.
Hukum ini berdasarkan sabda
Rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah telah memberikan orang yang berhak akan haknya
masing-masing, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris.” Hadits ini
diriwayatkan oleh Al Tirmidzi di dalam kitab Al Washaya, bab Ma Ja’a La
Washiyata Liwaritsin: 2141, dan Abu Daud: 2870,semuanya meriwayatkan hadits
tersebut dari Abu Umamah ra.
Al Daraqutni (4/ 152)
meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Wasiat
kepada ahli waris tidak boleh, kecuali jika ahli waris yang lain
mengijinkannya.”
Mereka juga mengkiaskan wasiat
untuk ahli waris dengan wasiat untuk orang lain yang melebihi sepertiga dari
hartanya. Sebagaimana yang telah kami jelaskan, bahwa lebihan sepertiga dari
harta keseluruhan, hukumnya tergantung ijin dari ahli waris, demikian juga disini.
b. ucapan menerima atau menolak
wasiat oleh ahli waris tidak dianggap, selama orang yang berwasiat masih hidup.
Karena ahli waris tidak berhak untuk mendapatkan apapun dari harta peninggalan
selama orang yang berwasiat masih hidup. Sebagaimana orang yang diberi wasiat
juga tidak berhak mendapat apapun selama orang yang berwasiat masih hidup.
Bagi ahli waris yang menerima
wasiat ketika orang yang berwasiat masih hidup, boleh untuk menolak wasiat
tersebut (setelah orang yang berwasiat meninggal), dan bagi ahli waris yang
menolak wasiat ketika orang yang berwasiat masih hidup, maka dia boleh
menerimanya setelah orang berwasiat meninggal.
c. seseorang yang diberi wasiat
dianggap sebagai ahli waris saat kematian orang yang memberi wasiat, bukan saat
berwasiat. Kalau misalnya seseorang berwasiat untuk saudaranya, dan ketika itu
dia belum memiliki anak, kemudian dia memiliki anak sebelum dia meninggal, maka
wasiat tersebut sah dan harus dilaksanakan, karena kemudian menjadi jelas bahwa
wasiat tersebut bukan untuk ahli warisnya, karena adanya anak laki-laki dari
orang yang berwasiat saat dia meninggal, dan sebagaimana yang diketahui, anak
laki-laki menghalangi saudara laki-laki dari menerima warisan.
d. apabila sebagian dari ahli
waris mengijinkan wasiat yang diberikan kepada salah satu ahli waris, dan
sebagian ahli waris yang lain menolak wasiat tersebut setelah kematian orang
yang berwasiat, maka masing-masing memiliki hukum tersendiri. Yaitu wasiat yang
diambil dari bagian orang yang menolak dikembalikan, dan wasiat yang diambil
dari bagian ahli waris yang mengijinkan dilaksanakan. Hal itu dilakukan sesuai
dengan prosentase masing-masing dari harta peninggalan.
e. diantara hal yang serupa
dengan wasiat kepada ahli waris adalah wakaf atau hibah yang diberikan kepada
ahli waris, atau membebaskan hutang ahli waris kepada orang yang mewariskan,
semua hal tersebut (dapat dilaksanakan tetapi) membutuhkan ijin dari ahli waris
yang lain setelah kematian orang yang memberi warisan.
Membatalkan wasiat
Wasiat termasuk akad yang boleh
dilaksanakan (tetapi mungkin untuk dibatalkan), dan bukan termasuk akad yang
harus dilaksanakan (tidak boleh dibatalkan), seperti akad jual beli, atau akad
nikah. Berdasarkan hal ini, maka dibolehkan bagi orang yang berwasiat untuk
membatalkan wasiatnya, baik keseluruhan ataupun hanya sebagian dari wasiat
tersebut. dan orang yang berwasiat juga boleh mengubah wasiatnya dan memasukkan
syarat-syarat atau batasan-batasan terhadap wasiat itu, karena harta yang ia
wasiatkan tersebut masih menjadi hak miliknya selama dia masih hidup,sehingga
dia bebas untuk memperlakukan hartanya sesuai yang dia inginkan.
Bagaimana cara membatalkan
wasiat?
Membatalkan wasiat dapat
dilakukan dengan mengucapkan lafal yang menunjukkan hal tersebut, seperti
ucapan, “Aku mencabut wasiat itu,” atau “Aku membatalkan wasiat itu,” atau “Aku
menarik kembali wasiat itu,” atau “Aku menghapus wasiat itu,” atau Wasiat itu
untuk ahli warisku.”
Digunakannya harta wasiat oleh
orang yang berwasiat juga merupakan isyarat bahwa dia telah membatalkan dan
menarik kembali wasiatnya. Seperti jika ia menjual harta yang diwasiatkan, atau
menjadikannya mahar, atau menghibahkannya dan memberikannya kepada orang lain, atau
menggadaikan dan menyerahkannya kepada penggadai, semua perlakuan ini adalah
dimaksudkan untuk membatalkan atau menarik kembali wasiat. Hal itu dikarenakan
dia sudah tidak memiliki hak kepemilikan terhadap harta wasiat tersebut, dan juga
karena harta wasiat itu telah ditawarkan untuk diperjualbelikan dengan sesuatu
yang lain, seperti digadaikan. Berdasarkan hal ini, maka kami berpendapat,
1- kalau seseorang berwasiat
berupa gandum tertentu, kemudian dia mencampurnya dengan gandum yang lain, maka
hal ini dianggap sebagai pembatalan wasiat, karena tidak mungkin lagi untuk
menyerahkan harta yang diwasiatkan (gandum tertentu) setelah dicampur.
2- apabila seseorang wasiat
berupa satu Sha’ gandum dari kantong, kemudian dia mencampurnya dengan gandum
yang lebih bagus, maka hal ini dianggap sebagai pembatalan wasiat, karena
dengan mencampurnya berarti telah terjadi penambahan, yang tidak mungkin untuk
diserahkan semuanya, dan juga tidak mungkin untuk menyerahkannya tanpa tambahan
tersebut (tidak mungkin memisahkannya setelah terjadi penyampuran).
3. apabila seseorang wasiat
berupa satu Sha’ gandum dari kantong, kemudian dia mencampurnya dengan gandum
yang semisalnya, maka hal ini tidak dianggap sebagai pembatalan wasiat, karena
tidak terjadi perubahan pada gandum tersebut. demikian juga jika dia
mencampurnya dengan gandum yang lebih jelek kualitasnya, karena hal ini seperti
terjadinya cacat pada harta wasiat, sehingga tidak berpengaruh apa-apa terhadap
harta wasiat tersebut.
4- apabila seseorang wasiat
berupa gandum kemudian dia menggiling atau menaburnya, atau seseorang wasiat
berupa tepung lalu ia mengadoninya, atau seseorang wasiat berupa kapas kemudian
ia memintalnya, atau wasiat berupa benang yang sudah dipintal lalu ia
menenunnya, atau wasiat berupa kain lalu ia menjahitnya, atau ia wasiat berupa
lahan pekarangan lalu ia membangun atau menanaminya, maka semua hal tersebut
dianggap sebagai penarikan kembali harta wasiat, karena dua hal:
Pertama, nama harta yang
diwasiatkan telah hilang sebelum orang yang diberi wasiat tersebut memiliki hak
akan harta wasiat, hal ini seperti harta wasiat yang rusak.
Kedua, hal-hal seperti
diatas mengisyaratkan bahwa orang yang berwasiat telah berpaling dari
wasiatnya.
No comments:
Post a Comment