Narkotika dan macam-macamnya
Makna Al Takhdir(pembiusan)
Al Takhdir atau Al Khadar berasal dari kata Al Khidr yang
berarti penutup seperti rumah dan yang semisalnya.
Yang dimaksud dengan Al Takhdir disini adalah suatu keadaan
tertutupnya akal dan pikiran seseorang, berupa rasa malas, berat, atau lesu.
Al Mukhaddirat (narkotika) adalah semua yang menyebabkan tertutupnya akal
seseorang, baik itu obat bius, opium, ganja, dan yang semisalnya.
Hukum narkotika:
Haram hukumnya mengkonsumsi narkotika dengan segala jenisnya, dan
bagaimanapun cara mengkonsumsinya. karena zat-zat tersebut berbahaya bagi akal,
dan tubuh, dan mengakibatkan penyakit-penyakit serta efek negatif yang
bermacam-macam, yang sudah bukan rahasia lagi. Hukum narkotika (dari sisi
keharamannya) masuk kedalam hukum minuman yang memabukkan, yang telah kami
jelaskan.
Abu Daud meriwayatkan di dalam Al Asyribah, bab Al Nahyu ‘An Al
Muskir: 3686,juz:6, hal: 309, dari Ummu Salamah ra. Ia berkata, “Rasulullah
saw. melarang (mengkonsumsi) semua yang memabukkan dan melemahkan.”
Hukuman orang yang mengkonsumsi narkotika:
Hukuman bagi orang yang mengkonsumsi narkotika adalah Ta’zir. Jenis
dan berat hukuman Ta’zir tersebut diserahkan kepada ijtihad hakim muslim yang
adil, baik berupa hukuman penjara, pukulan, teguran, atau yang semisalnya.
Dengan syarat jika hukumannya berupa pukulan, maka tidak boleh mencapai jumlah
minimal dari hukum had.
Pengecualian-pengecualian:
Ada keadaan tertentu yang dikecualikan dari keumuman hukum khamr
dan narkotika, yaitu sebagai berikut:
Keadaan pertama: dalam kondisi darurat
Seseorang yang tercekik karena kehausan, dan tidak ada sesuatu yang
dapat diminum di sekitarnya kecuali khamr atau yang semisalnya, maka boleh
baginya untuk meminum sedikit dari khamr tersebut agar terhidar dari kematian.
Allah ta’ala berfirman, “Tetapi barang siapa terpaksa bukan
karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu
Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Al Maidah:145).
Keadaan kedua: untuk berobat
Jika dokter mengobati orang sakit dengan menggunakan obat-obatan
yang dicampur dengan sesuatu yang memabukkan, sehingga dengan mencampurnya maka
hilanglah sifat memabukkan yang ada pada zat tersebut, dan tidak ada obat lain
sebagai gantinya, maka boleh mengobati orang sakit dengan obat tersebut karena
darurat dan karena kebutuhan yang mendesak.
Adapun jika zat memabukkan yang dicampur dengan obat-obat lain
tersebut, tidak hilang sifat-sifatnya (sifat memabukkan), maka tidak boleh
berobat dengannya, meskipun dianjurkan oleh dokter.
Suatu zat yang memabukkan
dan murni (tidak dicampur dengan zat lain), tidak mungkin menjadi obat
yang tidak ada gantinya untuk penyakit apapun. Bahkan zat berbahaya yang
terkandung di dalamnya, lebih berakibat buruk, dibanding manfaat yang ia sangka
ada di dalam zat itu.
Ibnu Majah meriwayatkan di dalam Al Thib, bab Al Nahyu An Yatadawa
Bi Al Khamr: 3500, dari Al Thariq bin Suwaid Al Khadrami ra. Ia berkata, “Aku
berkata, “Wahai Rasulullah, di negeri kami banyak perasan anggur, apakah boleh
kami meminumnya?” Rasulullah menjawab, “Tidak,” aku lalu berkata, “Bolehkah
kami memakainya untuk mengobati orang sakit?,” Rasulullah menjawab,
“Sesungguhnya perasan anggur bukanlah penyembuh (obat), tetapi penyakit.” Imam
Ahmad juga meriwayatkan hadits ini didalam musnadnya (juz:4, hal: 311, atau
juz:5, hal: 293).
Imam Al Bukhari meriwayatkan sebagi ulasan dari Ibnu Mas’ud ra.,
bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan
penyembuhmu (obat), didalam sesuatu yang diharamkan atasmu.” (Al Asribah, bab
Syarab Al Khalwa Wa Al ‘Asal).
Keadaan ketiga: operasi
Seorang dokter terpaksa menggunakan obat bius untuk melakukan
operasi bagi pasien, karena pasien tidak akan mampu untuk menahan rasa sakit
karena operasi tanpa dibius. Maka tidak mengapa apabila dalam kondisi yang
demikian untuk menggunakan obat bius, baik dengan cara disuntik, diminum, atau
ditelan.
Wallahu
ta’ala a’lam
No comments:
Post a Comment