Syarat Al Musha Bihi (harta
yang diwasiatkan)
Harta yang diwasiatkan hukumnya
sah, apabila memenuhi syarat-syarat berikut,
a. harta yang diwasiatkan adalah
merupakan harta yang boleh dimanfaatkan, sehingga wasiat berupa harta yang
haram untuk dimanfaatkan, seperti alat musik atau alat perjudian, adalah tidak
sah.
b. harta yang diwasiatkan
tersebut mungkin untuk dipindahkan, sehingga
wasiat berupa hak Qisas adalah tidak sah. demikian juga wasiat berupa hak Syuf’ah
(hak pemilikan harta perserikatan yang telah dijual oleh salah satu pihak
kepada pihak yang lain yang tidak termasuk di dalam persekutuan itu, serta
tidak pula seizin anggota persekutuan dengan cara mengganti uang penjual ke
pihak pembeli. Pentj-), karena keduanya tidak bisa dipindahkan kepada orang
lain, dan orang yang menerima wasiat tersebut tidak mungkin untuk
memindahkannya.
Berdasarkan dua syarat tersebut,
maka wasiat di dalam hal-hal berikut adalah sah:
a. boleh berwasiat berupa harta
yang belum diketahui, seperti wasiat berupa janin yang masih di dalam perut
induknya, susu yang masih belum diperah, atau bulu yang ada di tubuh kambing.
Karena ahli waris dapat menggantikan orang yang memberikan warisan di dalam hal
tersebut, demikian juga orang yang diberi wasiat.
b. wasiat dengan sesuatu yang
belum ada ketika wasiat tersebut diucapkan adalah sah, seperti orang yang
wasiat berupa buah yang belum ada, atau janin yang belum ada. sebab wasiat ada
kemungkinan mengandung bujukan karena rasa sayang kepada orang lain dan untuk
memberikan kelapangan kepada mereka.
Berwasiat dengan sesuatu yang
belum ada adalah sah, sebagaimana wasiat dengan sesuatu yang belum diketahui
juga sah. Juga karena kepemilikan sesuatu yang belum ada, adalah sah dengan
cara ‘Aqdu Al Salam (akad jual beli dimana barang yang diperjualbelikan
masih belum ada dan akan diserahkan secara tangguh sementara pembayarannya
dilakukan secara tunai di muka. Namun spesifikasi dan harga barang pesanan
harus telah disepakati diawal akad. Pentj-), Al Musaaqah(pemilik kebun
yang menyerahkan kebunnya kepada orang lain untuk dipeliharanya, dan hasil yang
didapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut perjanjian antara
keduanya sewaktu akad),dan ijarah (akad atas manfaat dengan imbalan atau
tukaran dengan syarat-syarat tertentu), maka demikian juga wasiat.
c. wasiat dengan harta yang yang
belum jelas adalah sah (Seperti seseorang yang berkata, “Aku berwasiat dengan
salah satu dari dua pakaianku,”) karena di dalam wasiat, ada kemungkinan barang
yang diwasiatkan tersebut belum diketahui. sehingga ketidakjelasan barang yang
diwasiatkan tidak berpengaruh terhadap sahnya wasiat tersebut, dan ahli waris
(dari orang yang berwasiat tersebut) yang kemudian menentukan barang yang di
wasiatkan.
d. wasiat berupa hak untuk
memanfaatkan barang dalam jangka waktu tertentu, adalah sah. Karena hak
memanfaatkan barang adalah harta yang dapat diganti dengan yang lain, seperti
dzat barang itu sendiri. Demikian juga wasiat berupa barang tanpa hak untuk
memanfaatkan barang tersebut (secara langsung) adalah sah, karena orang yang
diberi wasiat dapat memanfaatkannya (meskipun secara tidak langsung), seperti
menyewakan, meminjamkan, atau yang semisalnya.
Oleh karena itu, wasiat berupa
barang tertentu kepada seseorang, dan wasiat berupa hak memanfaatkan barang
tersebut kepada orang lain adalah sah. Seperti seseorang yang mewasiatkan
rumahnya untuk Zaid, tetapi hak memanfaatkan rumah tersebut diwasiatkan untuk
Khalid.
e. boleh wasiat berupa sesuatu
yang najis tetapi boleh dimanfaatkan. seperti anjing pemburu, pupuk, dan khamr
untuk bahan cuka, karena hal-hal tersebut dikhususkan, dan boleh diwariskan.
Syarat-syarat Shighah (bentuk
ucapan dari wasiat)
a. wasiat tersebut diucapkan
dengan lafal sarih (jelas), atau kinayah (kiasan).
Lafal Sarih (jelas) adalah
seperti ucapan, “Aku berwasiat seribu untuknya,” atau ucapan, “Berilah seribu
untuknya setelah kematianku,” atau “Berikanlah hal itu setelah kematianku,”
atau “Hal itu menjadi miliknya setelah kematianku.”wasiat dengan lafal sarih
menjadi sah hanya dengan mengucapkannya. Sehingga bantahan seseorang (yang
berwasiat dengan lafal sarih)bahwa lafal yang dia ucapkan tersebut tidak
dimaksudkan untuk berwasiat, adalah tidak sah (tidak diterima).
Termasuk di dalam hal ini (lafal
sarih), adalah bahasa isyarat yang dapat dimengerti dari seorang yang bisu.
Wasiat dengan lafal Kinayah
(kiasan)harus disertai dengan niat (dari orang yang berwasiat), karena lafal kinayah
ada kemungkinan bahwa lafal tersebut dimaksudkan untuk selain wasiat, sehingga
maksud dari lafal tersebut dapat diketahui dari niat orang yang mengucapkannya.
Diantara contoh kinayah adalah ucapan, “Bukuku ini untuk Zaid.”
Tulisan (wasiat yang ditulis) orang
yang dapat berbicara juga termasuk kinayah, sehingga wasiat tersebut sah jika
disertai dengan niat (dari orang menulis wasiat tersebut), sebagaimana juga
dalam jual beli.
b. Qabul (ucapan menerima) dari
orang yang diberi wasiat, jika wasiat tersebut diberikan kepada pihak yang
sudah tertentu. akan tetapi jika wasiat tersebut diberikan untuk suatu kelompok
secara umum, seperti orang-orang fakir atau para ulama, maka tidak disyaratkan
adanya Qabul (ucapan menerima), karena hal itu tidak mungkin. Dan wasiat
tersebut wajib dilaksanakan setelah kematian orang yang berwasiat.
c. Qabul (ucapan menerima) dari
orang yang diberi wasiat diucapkan setelah kematian orang yang berwasiat.
ucapan menerima atau menolak dari orang yang diberi wasiat tidak dianggap, jika
hal itu diucapkan saat orang yang berwasiat masih hidup, karena dia (orang yang
beri wasiat) tidak memiliki hak sebelum kematian orang yang berwasiat, hal
menyerupai hak Syuf’ah sebelum terjadi jual beli.
Berdasarkan hal ini, maka
dibolehkan bagi orang yang diberi wasiat untuk menolak wasiat tersebut setelah
kematian orang yang berwasiat (meskipun ia pernah menerima wasiat itu disaat
orang yang berwasiat masih hidup). Demikian juga sebaliknya, dia boleh menerima
wasiat setelah kematian orang yang berwasiat, meskipun dia pernah menolaknya
disaat orang yang berwasiat masih hidup. Karena sikap menerima atau menolak
yang sah adalah jika dilakukan setelah kematian orang yang berwasiat,
sebagaimana yang telah kami jelaskan.
Berdasarkan hal ini pula, apabila
orang yang diberi wasiat meninggal sebelum kematian orang yang memberi wasiat,
maka wasiat tersebut menjadi batal, karena wasiat tidak dilaksanakan sebelum
kematian orang yang memberi wasiat.
Dan jika orang yang diberi wasiat
tersebut meninggal setelah meninggalnya orang yang berwasiat, akan tetapi
sebelum dia menerima wasiat tersebut, maka wasiat tersebut sah, dan ahli waris
orang yang diberi wasiat tersebut menggantikannya untuk menerima atau menolak
wasiat itu, karena ahli waris adalah merupakan cabang dari orang yang diberi
wasiat, sehingga mereka berhak untuk menggantikannya di dalam permasalahan
tersebut.
No comments:
Post a Comment