Sunday, December 21, 2014

wasiat part 4

Syarat Al Musha Bihi (harta yang diwasiatkan)
Harta yang diwasiatkan hukumnya sah, apabila memenuhi syarat-syarat berikut,
a. harta yang diwasiatkan adalah merupakan harta yang boleh dimanfaatkan, sehingga wasiat berupa harta yang haram untuk dimanfaatkan, seperti alat musik atau alat perjudian, adalah tidak sah.
b. harta yang diwasiatkan tersebut mungkin untuk dipindahkan,  sehingga wasiat berupa hak Qisas adalah tidak sah. demikian juga wasiat berupa hak Syuf’ah (hak pemilikan harta perserikatan yang telah dijual oleh salah satu pihak kepada pihak yang lain yang tidak termasuk di dalam persekutuan itu, serta tidak pula seizin anggota persekutuan dengan cara mengganti uang penjual ke pihak pembeli. Pentj-), karena keduanya tidak bisa dipindahkan kepada orang lain, dan orang yang menerima wasiat tersebut tidak mungkin untuk memindahkannya.
Berdasarkan dua syarat tersebut, maka wasiat di dalam hal-hal berikut adalah sah:
a. boleh berwasiat berupa harta yang belum diketahui, seperti wasiat berupa janin yang masih di dalam perut induknya, susu yang masih belum diperah, atau bulu yang ada di tubuh kambing. Karena ahli waris dapat menggantikan orang yang memberikan warisan di dalam hal tersebut, demikian juga orang yang diberi wasiat.
b. wasiat dengan sesuatu yang belum ada ketika wasiat tersebut diucapkan adalah sah, seperti orang yang wasiat berupa buah yang belum ada, atau janin yang belum ada. sebab wasiat ada kemungkinan mengandung bujukan karena rasa sayang kepada orang lain dan untuk memberikan kelapangan kepada mereka.
Berwasiat dengan sesuatu yang belum ada adalah sah, sebagaimana wasiat dengan sesuatu yang belum diketahui juga sah. Juga karena kepemilikan sesuatu yang belum ada, adalah sah dengan cara ‘Aqdu Al Salam (akad jual beli dimana barang yang diperjualbelikan masih belum ada dan akan diserahkan secara tangguh sementara pembayarannya dilakukan secara tunai di muka. Namun spesifikasi dan harga barang pesanan harus telah disepakati diawal akad. Pentj-), Al Musaaqah(pemilik kebun yang menyerahkan kebunnya kepada orang lain untuk dipeliharanya, dan hasil yang didapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut perjanjian antara keduanya sewaktu akad),dan ijarah (akad atas manfaat dengan imbalan atau tukaran dengan syarat-syarat tertentu), maka demikian juga wasiat.
c. wasiat dengan harta yang yang belum jelas adalah sah (Seperti seseorang yang berkata, “Aku berwasiat dengan salah satu dari dua pakaianku,”) karena di dalam wasiat, ada kemungkinan barang yang diwasiatkan tersebut belum diketahui. sehingga ketidakjelasan barang yang diwasiatkan tidak berpengaruh terhadap sahnya wasiat tersebut, dan ahli waris (dari orang yang berwasiat tersebut) yang kemudian menentukan barang yang di wasiatkan.
d. wasiat berupa hak untuk memanfaatkan barang dalam jangka waktu tertentu, adalah sah. Karena hak memanfaatkan barang adalah harta yang dapat diganti dengan yang lain, seperti dzat barang itu sendiri. Demikian juga wasiat berupa barang tanpa hak untuk memanfaatkan barang tersebut (secara langsung) adalah sah, karena orang yang diberi wasiat dapat memanfaatkannya (meskipun secara tidak langsung), seperti menyewakan, meminjamkan, atau yang semisalnya.
Oleh karena itu, wasiat berupa barang tertentu kepada seseorang, dan wasiat berupa hak memanfaatkan barang tersebut kepada orang lain adalah sah. Seperti seseorang yang mewasiatkan rumahnya untuk Zaid, tetapi hak memanfaatkan rumah tersebut diwasiatkan untuk Khalid.
e. boleh wasiat berupa sesuatu yang najis tetapi boleh dimanfaatkan. seperti anjing pemburu, pupuk, dan khamr untuk bahan cuka, karena hal-hal tersebut dikhususkan, dan boleh diwariskan.

Syarat-syarat Shighah (bentuk ucapan dari wasiat)
a. wasiat tersebut diucapkan dengan lafal sarih (jelas), atau kinayah (kiasan).
Lafal Sarih (jelas) adalah seperti ucapan, “Aku berwasiat seribu untuknya,” atau ucapan, “Berilah seribu untuknya setelah kematianku,” atau “Berikanlah hal itu setelah kematianku,” atau “Hal itu menjadi miliknya setelah kematianku.”wasiat dengan lafal sarih menjadi sah hanya dengan mengucapkannya. Sehingga bantahan seseorang (yang berwasiat dengan lafal sarih)bahwa lafal yang dia ucapkan tersebut tidak dimaksudkan untuk berwasiat, adalah tidak sah (tidak diterima).
Termasuk di dalam hal ini (lafal sarih), adalah bahasa isyarat yang dapat dimengerti dari seorang yang bisu.
Wasiat dengan lafal Kinayah (kiasan)harus disertai dengan niat (dari orang yang berwasiat), karena lafal kinayah ada kemungkinan bahwa lafal tersebut dimaksudkan untuk selain wasiat, sehingga maksud dari lafal tersebut dapat diketahui dari niat orang yang mengucapkannya. Diantara contoh kinayah adalah ucapan, “Bukuku ini untuk Zaid.”
Tulisan (wasiat yang ditulis) orang yang dapat berbicara juga termasuk kinayah, sehingga wasiat tersebut sah jika disertai dengan niat (dari orang menulis wasiat tersebut), sebagaimana juga dalam jual beli.
b. Qabul (ucapan menerima) dari orang yang diberi wasiat, jika wasiat tersebut diberikan kepada pihak yang sudah tertentu. akan tetapi jika wasiat tersebut diberikan untuk suatu kelompok secara umum, seperti orang-orang fakir atau para ulama, maka tidak disyaratkan adanya Qabul (ucapan menerima), karena hal itu tidak mungkin. Dan wasiat tersebut wajib dilaksanakan setelah kematian orang yang berwasiat.
c. Qabul (ucapan menerima) dari orang yang diberi wasiat diucapkan setelah kematian orang yang berwasiat. ucapan menerima atau menolak dari orang yang diberi wasiat tidak dianggap, jika hal itu diucapkan saat orang yang berwasiat masih hidup, karena dia (orang yang beri wasiat) tidak memiliki hak sebelum kematian orang yang berwasiat, hal menyerupai hak Syuf’ah sebelum terjadi jual beli.
Berdasarkan hal ini, maka dibolehkan bagi orang yang diberi wasiat untuk menolak wasiat tersebut setelah kematian orang yang berwasiat (meskipun ia pernah menerima wasiat itu disaat orang yang berwasiat masih hidup). Demikian juga sebaliknya, dia boleh menerima wasiat setelah kematian orang yang berwasiat, meskipun dia pernah menolaknya disaat orang yang berwasiat masih hidup. Karena sikap menerima atau menolak yang sah adalah jika dilakukan setelah kematian orang yang berwasiat, sebagaimana yang telah kami jelaskan.
Berdasarkan hal ini pula, apabila orang yang diberi wasiat meninggal sebelum kematian orang yang memberi wasiat, maka wasiat tersebut menjadi batal, karena wasiat tidak dilaksanakan sebelum kematian orang yang memberi wasiat.

Dan jika orang yang diberi wasiat tersebut meninggal setelah meninggalnya orang yang berwasiat, akan tetapi sebelum dia menerima wasiat tersebut, maka wasiat tersebut sah, dan ahli waris orang yang diberi wasiat tersebut menggantikannya untuk menerima atau menolak wasiat itu, karena ahli waris adalah merupakan cabang dari orang yang diberi wasiat, sehingga mereka berhak untuk menggantikannya di dalam permasalahan tersebut.

No comments:

Post a Comment