Sunday, December 21, 2014

MAKANAN DAN MINUMAN PART 3

Hukum-hukum yang berkaitan dengan orang yang meminum minuman yang memabukkan:
Setelah kita mengetahui makna yang dimaksud dengan minuman yang memabukkan, dan hukum-hukumnya dengan segala perbedaannya, dan juga dalil beserta hikmahnya, maka sekarang kita akan membahas tentang hukum–hukum yang berkaitan dengan orang yang meminum minuman yang memabukkan.
Hukum orang yang meminum minuman yang memabukkan ada dua:
1- Hukum Qadlai, yaitu hukum yang akibatnya langsung tampak ketika di dunia.
2- Hukum Diyani, yaitu hukum yang tidak tampak akibatnya kecuali nanti pada hari kiamat.
Pertama: hukum qadlai bagi orang yang meminum minuman yang memabukkan adalah pelaku tersebut berhak untuk dikenakan had.
Kedua: hukum diyani bagi orang yang meminum minuman yang memabukkan adalah ia berdosa karena perbuatannya tersebut.
Kita tidak akan memperpanjang pembahasan tentang hukum yang kedua, yaitu tentang dosa, karena masalah dosa dikembalikan antara dia dan Tuhannya, tidak berhubungan dengan keputusan hukum ketika di dunia, akan tetapi semuanya itu dikembalikan kepada qadla dan hukum Allah SWT. meskipun begitu, semua sepakat bahwa meminum minuman yang memabukkan dengan sengaja termasuk dosa besar, dan pelakunya disiksa dengan siksaan yang berat pada hari kiamat, selama dia tidak mendapatkan ampunan dari Allah SWT.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah menjanjikan kepada siapa saja yang minum minuman yang memabukkan, maka akan memberinya minuman Thinah Al Khabal.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu Thinah Al Khabal?” beliau menjawab, “Keringat penghuni neraka, atau perasaan (keringat) penghuni neraka.” Diriwayatkan oleh imam Muslim dari Jabir ra. Di dalam kitab Al Asyribah, bab Bayanu Anna Kulla Muskirin Khamrun Wa Anna Kulla Khamrin Haram: 2002.
Had (hukuman) bagi orang yang minum minuman yang memabukkan:
Had bagi orang yang minum khamr atau yang lainnya adalah empat puluh cambukan, dengan syarat-syarat yang akan kami sebutkan nanti. Dan dibolehkan bagi seorang pemimpin untuk menambah jumlah hukumannya hingga mencapai delapan puluh cambukan, jika dia melihat hal itu lebih maslahat. dan empat puluh cambukan tambahan tersebut dianggap sebagai ta’zir.
Dalil hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim di dalam Al Hudud, bab Had Al Khamr: 1706, dari Anas ra. Bahwa Nabi saw. mendera orang yang minum khamr dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak empat puluh kali.”
Imam Muslim juga meriwayatkan (pada bab yang sama) dari Anas ra. Bahwa Nabi saw. mendera orang yang minum khamr dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak empat puluh kali,dan (pada masa) Abu Bakar ra. juga menderanya empat puluh kali, lalu pada masa Umar ra. Orang-orang tinggal di dekat perkampungan dan desa-desa, Umar lalu bertanya, “Bagaimana pendapat kalian tentang hukuman dera bagi orang yang peminum khamr?” Abdurahman bin Auf menjawab, “Saya berpendapat bahwa seringan-ringannya hukuman adalah delapan puluh kali dera.” Anas berkata, “Umar lalu melaksanakan hukuman dera sebanyak delapan puluh kali.”
Ini adalah dalil bahwa menambah empat puluh kali dera adalah sebagai ta’zir, bukan had. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Muslim di dalam Al Asyribah, bab Had Al Khamr: 1707, bahwa Utsman ra. Memerintahkan untuk mendera Al Walid bin Uqbah bin Abi Mui’th, lalu Abdullah bin Ja’far ra. Menderanya, sementara Ali ra. Menghitungnya, sehingga ketika telah sampai pada hitungan ke empat puluh, Utsman berkata, “berhentilah!” lalu beliau berkata, “Nabi saw. mendera (peminum khamr) empat puluh kali, Abu Bakar juga menderanya emat puluh kali, sedang Umar menderanya delapan puluh kali, semuanya adalah sunah, dan inilah (mendera empat puluh kali) yang lebih aku sukai.” Karena itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan itu adalah perbuatan yang lebih berhati-hati dalam hal hukuman, siapa yang menambah dari yang seharusnya, maka ia telah dzalim.
Para fuqaha berkata, “Adapun empat puluh kali dera yang dilakukan oleh Nabi saw. adalah had (hukuman) dasar, dan berita yang menceritakan bahwa Umar mendera sebanyak delapan puluh kali, itu adalah ijtihad beliau sebagaimana ucapan Ali ra. Kepada Umar ra., “Kami berpendapat agar engkau mendera (peminum khamr) delapan puluh kali, karena ketika ia minum khamar, maka ia akan mabuk, ketika mabuk maka ia akan mengoceh, ketika mengoceh maka ia akan menuduh (orang lain berzina).” Diriwayatkan oleh Malik di dalam Al Muwattha’, kitab Al Asyribah, bab Al Had Fi Al Khamr.
Hukuman dera bagi orang yang menuduh orang lain berzina tanpa bukti adalah delapan puluh kali dera, hukuman seperti ini adalah sebagai Ta’zir.
Oleh karena itu, menurut madzhab Al Syafi’i, yang lebih utama adalah mendera peminum khamr sebanyak empat puluh kali, karena itulah yang dicontohkan oleh Nabi saw.
Hukuman dera bagi peminum khamr tidak dilaksanakan ketika dia masih dalam kondisi mabuk, karena orang yang mabuk tidak akan jera, akan tetapi ditunggu sampai dia sadar dari mabuknya, baru kemudian dihukum dera, agar dia jera dan tidak mengulanginya lagi.
Syarat-syarat ditetapkannya hukuman dera bagi peminum khamr:
Seseorang yang dituduh minum khamr tidak didera kecuali terpenuhi salah satu dari dua hal berikut:
Pertama: bukti yang cukup
Yaitu, kesaksian dua orang yang adil. hukuman dera tidak dapat dilaksanakan karena kesaksian satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, hukuman dera juga tidak dapat dilaksanakan hanya karena berdasar pengetahuan hakim (misalnya hakim melihat dengan matanya sendiri dia meminum khamr, hal itu tidak dapat dijadikan dasar bagi hakim tersebut untuk menjatuhkan hukuman dera. Pentj-).
Hukuman dera dapat dilaksanakan berdasarkan kesaksian dua orang saksi laki-laki yang adil.
Dalil hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim, yaitu kisah Utsman ra. Yang mendera Al Walid bin Uqbah, setelah ada kesaksian dua orang laki-laki.( Al Asyribah, bab Had Al Khamr: 1707).
Kedua: berdasarkan pengakuan
Hal itu seperti jika ia mengaku bahwa ia telah minum minuman yang memabukkan atau khamr. Pengakuan dari pelaku adalah merupakan bukti.
Pengakuan secara mutlak dianggap cukup, seperti ketika seseorang berkata, “Saya minum minuman yang memabukkan.” Demikian juga kesaksian secara mutlak dianggap cukup, seperti ketika dua orang saksi berkata, “Sesungguhnya dia (tertuduh) minum minuman yang memabukkan.”
Tidak disyaratkan bagi orang yang mengaku untuk mengatakan, “Saya meminumnya dengan sadar dan tanpa paksaan,” demikian juga tidak disyaratkan bagi dua orang saksi tersebut untuk mengatakan, “Dia meminumnya dengan sadar dan tanpa paksaan.”
 Karena pada asalnya ketika dia minum minuman keras, dia tau bahwa minuman tersebut memabukkan, dan dia tidak dipaksa. Apabila diketahui bahwa dia dipaksa untuk meminumnya dengan ancaman atau dengan dituangkan langsung ke kerongkongannya, atau dia tidak tahu bahwa yang diminum tersebut adalah khamr, maka dia tidak boleh dihukum dera.
Dalil hal tersebut adalah sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah menggugurkan dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa, dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah di dalam Al Thalak, bab Thalak Al Mukrah Wa Al Nasi:2045, dari Ibnu Abbas ra.
Muntah dan bau minuman keras dari mulut seseorang tidak dianggap sebagai bukti atau pengakuan, karena ada kemungkinan dia memiliki alasan seperti salah atau karena dipaksa, sehingga tidak bisa dilakukan hukuman dera.
Rasulullah saw. bersabda, “Hindarilah had dari kaum muslimin semampu kalian, jika ada jalan keluar baginya maka bebaskanlah dia, sesungguhnya ketika seorang imam salah didalam memaafkan, maka hal itu lebih baik dari pada salah dalam menghukum.” Diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam Al Hudud, bab Ma Ja’a Fi Dar’I Al Hudud: 1424.
Orang yang berhak melaksanakan hukuman had
Hukuman had bagi peminum khamr atau had-dad yang lain hanya boleh dilaksanakan oleh hakim.
Kalau seandainya hakim tidak mengetahui hal tersebut, atau menurut hakim tidak cukup bukti yang kuat untuk menjatuhkan hudud, maka hukuman had terebut tidak boleh dilakukan oleh orang lain, hal ini untuk menghindari fitnah.
Peminum khamr atau pelaku kejahatan yang berhak mendapatkan hukuman hudud tidak dibebani untuk mengakui perbuatannya didepan pengadilan. Tetapi cukup baginya untuk bertobat dengan tobat nasuha antara dirinya dan Allah SWT.
Imam Al Bukhari meriwayatkan di dalam Al Muharibin, bab Idza Aqarra Bi Al Had, Wa Lam Yubayin:6437, dan Imam Muslim di dalam Al Taubah, bab Qauluhu Inna Al Hasanat Yudzhibna Al Sayyiat: 2764, dari Anas ra. Ia berkata, “Aku sedang berada disisi Nabi saw. ketika datang seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku telah melanggar hukum had, maka tegakkanlah had kepadaku,” Anas berkata, “Nabi saw. tidak bertanya tentangnya,” hingga datang waktu salat, maka orang tersebut salat bersama Nabi saw.  ketika beliau selesai salat, laki-laki tersebut menemuinya sambil berkata, “Wahai Rasulullah! Aku telah melanggar had, maka tegakkanlah atasku sesuai kitabullah,” Anas berkata, “Rasulullah saw. bertanya, “Bukankah engkau ikut salat bersama kami?” ia menjawab, “Ya,” lalu Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosamu,” atau “Allah telah mengampuni had (yang menimpa)mu.”
Di dalam hadits serupa yang diriwayatkan oleh imam Muslim: 2763, Umar ra. Berkata kepada orang tersebut, “Sungguh Allah telah menutupi (aib)mu, seandainya engkau juga menutupi (aib)mu,” Umar mengatakan hal tersebut dan didengar oleh Nabi saw. dan beliau tidak mengingkarinya.

Hadits ini menunjukkan bahwa yang diinginkan oleh syariat adalah agar seseorang menutupi aibnya sendiri, dan bertobat kepada Allah SWT. 

No comments:

Post a Comment