Hukum-hukum yang berkaitan dengan orang yang meminum minuman yang
memabukkan:
Setelah kita mengetahui makna yang dimaksud dengan minuman yang
memabukkan, dan hukum-hukumnya dengan segala perbedaannya, dan juga dalil
beserta hikmahnya, maka sekarang kita akan membahas tentang hukum–hukum yang
berkaitan dengan orang yang meminum minuman yang memabukkan.
Hukum orang yang meminum minuman yang memabukkan ada dua:
1- Hukum Qadlai, yaitu hukum yang akibatnya langsung tampak ketika
di dunia.
2- Hukum Diyani, yaitu hukum yang tidak tampak akibatnya kecuali
nanti pada hari kiamat.
Pertama: hukum qadlai bagi orang yang meminum minuman yang memabukkan
adalah pelaku tersebut berhak untuk dikenakan had.
Kedua: hukum diyani bagi orang yang meminum minuman yang memabukkan
adalah ia berdosa karena perbuatannya tersebut.
Kita tidak akan memperpanjang pembahasan tentang hukum yang kedua,
yaitu tentang dosa, karena masalah dosa dikembalikan antara dia dan Tuhannya,
tidak berhubungan dengan keputusan hukum ketika di dunia, akan tetapi semuanya
itu dikembalikan kepada qadla dan hukum Allah SWT. meskipun begitu, semua
sepakat bahwa meminum minuman yang memabukkan dengan sengaja termasuk dosa
besar, dan pelakunya disiksa dengan siksaan yang berat pada hari kiamat, selama
dia tidak mendapatkan ampunan dari Allah SWT.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah menjanjikan kepada
siapa saja yang minum minuman yang memabukkan, maka akan memberinya minuman Thinah
Al Khabal.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu Thinah Al
Khabal?” beliau menjawab, “Keringat penghuni neraka, atau perasaan
(keringat) penghuni neraka.” Diriwayatkan oleh imam Muslim dari Jabir ra. Di
dalam kitab Al Asyribah, bab Bayanu Anna Kulla Muskirin Khamrun Wa Anna Kulla
Khamrin Haram: 2002.
Had (hukuman) bagi orang yang minum minuman yang memabukkan:
Had bagi orang yang minum khamr atau yang lainnya adalah empat
puluh cambukan, dengan syarat-syarat yang akan kami sebutkan nanti. Dan
dibolehkan bagi seorang pemimpin untuk menambah jumlah hukumannya hingga
mencapai delapan puluh cambukan, jika dia melihat hal itu lebih maslahat. dan
empat puluh cambukan tambahan tersebut dianggap sebagai ta’zir.
Dalil hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim
di dalam Al Hudud, bab Had Al Khamr: 1706, dari Anas ra. Bahwa Nabi saw. mendera
orang yang minum khamr dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak empat puluh
kali.”
Imam Muslim juga meriwayatkan (pada bab yang sama) dari Anas ra.
Bahwa Nabi saw. mendera orang yang minum khamr dengan pelepah kurma dan
terompah sebanyak empat puluh kali,dan (pada masa) Abu Bakar ra. juga
menderanya empat puluh kali, lalu pada masa Umar ra. Orang-orang tinggal di
dekat perkampungan dan desa-desa, Umar lalu bertanya, “Bagaimana pendapat
kalian tentang hukuman dera bagi orang yang peminum khamr?” Abdurahman bin Auf
menjawab, “Saya berpendapat bahwa seringan-ringannya hukuman adalah delapan
puluh kali dera.” Anas berkata, “Umar lalu melaksanakan hukuman dera sebanyak
delapan puluh kali.”
Ini adalah dalil bahwa menambah empat puluh kali dera adalah
sebagai ta’zir, bukan had. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Muslim di
dalam Al Asyribah, bab Had Al Khamr: 1707, bahwa Utsman ra. Memerintahkan untuk
mendera Al Walid bin Uqbah bin Abi Mui’th, lalu Abdullah bin Ja’far ra.
Menderanya, sementara Ali ra. Menghitungnya, sehingga ketika telah sampai pada
hitungan ke empat puluh, Utsman berkata, “berhentilah!” lalu beliau berkata,
“Nabi saw. mendera (peminum khamr) empat puluh kali, Abu Bakar juga menderanya
emat puluh kali, sedang Umar menderanya delapan puluh kali, semuanya adalah
sunah, dan inilah (mendera empat puluh kali) yang lebih aku sukai.” Karena
itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan itu adalah perbuatan yang lebih
berhati-hati dalam hal hukuman, siapa yang menambah dari yang seharusnya, maka
ia telah dzalim.
Para fuqaha berkata, “Adapun empat puluh kali dera yang dilakukan
oleh Nabi saw. adalah had (hukuman) dasar, dan berita yang menceritakan bahwa
Umar mendera sebanyak delapan puluh kali, itu adalah ijtihad beliau sebagaimana
ucapan Ali ra. Kepada Umar ra., “Kami berpendapat agar engkau mendera (peminum
khamr) delapan puluh kali, karena ketika ia minum khamar, maka ia akan mabuk, ketika
mabuk maka ia akan mengoceh, ketika mengoceh maka ia akan menuduh (orang lain
berzina).” Diriwayatkan oleh Malik di dalam Al Muwattha’, kitab Al Asyribah,
bab Al Had Fi Al Khamr.
Hukuman dera bagi orang yang menuduh orang lain berzina tanpa bukti
adalah delapan puluh kali dera, hukuman seperti ini adalah sebagai Ta’zir.
Oleh karena itu, menurut madzhab Al Syafi’i, yang lebih utama
adalah mendera peminum khamr sebanyak empat puluh kali, karena itulah yang
dicontohkan oleh Nabi saw.
Hukuman dera bagi peminum khamr tidak dilaksanakan ketika dia masih
dalam kondisi mabuk, karena orang yang mabuk tidak akan jera, akan tetapi
ditunggu sampai dia sadar dari mabuknya, baru kemudian dihukum dera, agar dia
jera dan tidak mengulanginya lagi.
Syarat-syarat ditetapkannya hukuman dera bagi peminum khamr:
Seseorang yang dituduh minum khamr tidak didera kecuali terpenuhi
salah satu dari dua hal berikut:
Pertama: bukti yang cukup
Yaitu, kesaksian dua orang yang adil. hukuman dera tidak dapat
dilaksanakan karena kesaksian satu orang laki-laki dan dua orang perempuan,
hukuman dera juga tidak dapat dilaksanakan hanya karena berdasar pengetahuan
hakim (misalnya hakim melihat dengan matanya sendiri dia meminum khamr, hal itu
tidak dapat dijadikan dasar bagi hakim tersebut untuk menjatuhkan hukuman dera.
Pentj-).
Hukuman dera dapat dilaksanakan berdasarkan kesaksian dua orang
saksi laki-laki yang adil.
Dalil hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam
Muslim, yaitu kisah Utsman ra. Yang mendera Al Walid bin Uqbah, setelah ada
kesaksian dua orang laki-laki.( Al Asyribah, bab Had Al Khamr: 1707).
Kedua: berdasarkan pengakuan
Hal itu seperti jika ia mengaku bahwa ia telah minum minuman yang
memabukkan atau khamr. Pengakuan dari pelaku adalah merupakan bukti.
Pengakuan secara mutlak dianggap cukup, seperti ketika seseorang
berkata, “Saya minum minuman yang memabukkan.” Demikian juga kesaksian secara
mutlak dianggap cukup, seperti ketika dua orang saksi berkata, “Sesungguhnya
dia (tertuduh) minum minuman yang memabukkan.”
Tidak disyaratkan bagi orang yang mengaku untuk mengatakan, “Saya
meminumnya dengan sadar dan tanpa paksaan,” demikian juga tidak disyaratkan
bagi dua orang saksi tersebut untuk mengatakan, “Dia meminumnya dengan sadar
dan tanpa paksaan.”
Karena pada asalnya ketika
dia minum minuman keras, dia tau bahwa minuman tersebut memabukkan, dan dia
tidak dipaksa. Apabila diketahui bahwa dia dipaksa untuk meminumnya dengan ancaman
atau dengan dituangkan langsung ke kerongkongannya, atau dia tidak tahu bahwa
yang diminum tersebut adalah khamr, maka dia tidak boleh dihukum dera.
Dalil hal tersebut adalah sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya
Allah menggugurkan dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa, dan
sesuatu yang dipaksakan kepadanya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah di dalam Al
Thalak, bab Thalak Al Mukrah Wa Al Nasi:2045, dari Ibnu Abbas ra.
Muntah dan bau minuman keras dari mulut seseorang tidak dianggap
sebagai bukti atau pengakuan, karena ada kemungkinan dia memiliki alasan
seperti salah atau karena dipaksa, sehingga tidak bisa dilakukan hukuman dera.
Rasulullah saw. bersabda, “Hindarilah had dari kaum muslimin
semampu kalian, jika ada jalan keluar baginya maka bebaskanlah dia, sesungguhnya
ketika seorang imam salah didalam memaafkan, maka hal itu lebih baik dari pada
salah dalam menghukum.” Diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam Al Hudud, bab Ma
Ja’a Fi Dar’I Al Hudud: 1424.
Orang yang berhak melaksanakan hukuman had
Hukuman had bagi peminum khamr atau had-dad yang lain hanya boleh
dilaksanakan oleh hakim.
Kalau seandainya hakim tidak mengetahui hal tersebut, atau menurut
hakim tidak cukup bukti yang kuat untuk menjatuhkan hudud, maka hukuman had
terebut tidak boleh dilakukan oleh orang lain, hal ini untuk menghindari
fitnah.
Peminum khamr atau pelaku kejahatan yang berhak mendapatkan hukuman
hudud tidak dibebani untuk mengakui perbuatannya didepan pengadilan. Tetapi
cukup baginya untuk bertobat dengan tobat nasuha antara dirinya dan Allah SWT.
Imam Al Bukhari meriwayatkan di dalam Al Muharibin, bab Idza Aqarra
Bi Al Had, Wa Lam Yubayin:6437, dan Imam Muslim di dalam Al Taubah, bab Qauluhu
Inna Al Hasanat Yudzhibna Al Sayyiat: 2764, dari Anas ra. Ia berkata, “Aku sedang
berada disisi Nabi saw. ketika datang seorang laki-laki berkata, “Wahai
Rasulullah! Sesungguhnya aku telah melanggar hukum had, maka tegakkanlah had
kepadaku,” Anas berkata, “Nabi saw. tidak bertanya tentangnya,” hingga datang
waktu salat, maka orang tersebut salat bersama Nabi saw. ketika beliau selesai salat, laki-laki
tersebut menemuinya sambil berkata, “Wahai Rasulullah! Aku telah melanggar had,
maka tegakkanlah atasku sesuai kitabullah,” Anas berkata, “Rasulullah saw.
bertanya, “Bukankah engkau ikut salat bersama kami?” ia menjawab, “Ya,” lalu
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosamu,” atau
“Allah telah mengampuni had (yang menimpa)mu.”
Di dalam hadits serupa yang diriwayatkan oleh imam Muslim: 2763,
Umar ra. Berkata kepada orang tersebut, “Sungguh Allah telah menutupi (aib)mu,
seandainya engkau juga menutupi (aib)mu,” Umar mengatakan hal tersebut dan
didengar oleh Nabi saw. dan beliau tidak mengingkarinya.
Hadits ini menunjukkan bahwa yang diinginkan oleh syariat adalah agar
seseorang menutupi aibnya sendiri, dan bertobat kepada Allah SWT.
No comments:
Post a Comment